NovelToon NovelToon
Satu Cinta, Dua Jalan

Satu Cinta, Dua Jalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Cinta Terlarang / Cinta Paksa / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34

Uap hangat perlahan memenuhi kamar mandi. Aroma sabun yang lembut menyatu dengan suara gemericik air.

Yudha membantu Puri duduk di bangku kecil yang telah ia siapkan sebelumnya.

Ia membuka keran, memastikan air tak terlalu panas untuk kulit Puri yang mulai sensitif.

Dengan hati-hati, Yudha mengguyur air ke bahu istrinya.

Tangannya bergerak pelan, penuh perhatian. Tak ada yang terburu-buru.

Hanya keheningan, sesekali diiringi tawa kecil saat air menyiprat ke wajah mereka.

Puri memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan suaminya.

“Mas masih sabar aja ya, ngurusin aku yang begini,” ucapnya lirih.

Yudha menghentikan gerak tangannya sejenak. Ia menatap Puri dari samping, lalu mengecup keningnya.

“Kalau aku boleh milih seribu kali hidup, aku tetap mau ngurusin kamu. Dalam keadaan apa pun.”

Puri tersenyum, menahan haru. Air bukan cuma membasuh tubuh mereka saat itu, tapi juga luka, ketakutan, dan rasa lelah yang mereka simpan dalam diam.

Yudha mengambil sabun, mengusap perlahan lengan dan punggung istrinya. Mereka tidak banyak bicara.

Tapi dalam keheningan itu, cinta mereka bicara paling keras.

Setelah beberapa saat, Yudha membungkus tubuh Puri dengan handuk tebal dan menggendongnya kembali ke kamar.

Ia tahu, waktu yang mereka punya mungkin tidak panjang. Tapi selama masih bisa menggenggam, ia akan terus menjaga.

Setelah memakaikan pakaian bersih untuk Puri dan membaringkannya di tempat tidur, Yudha duduk di sisi ranjang.

Lampu kamar temaram, hanya cahaya lembut dari lampu meja yang menyinari wajah Puri yang mulai lelah.

Ia menatap istrinya lama, seolah menimbang-nimbang. Lalu, dengan suara yang pelan tapi tegas, ia bertanya:

“Pur, aku boleh tanya?”

Puri menoleh, menatap mata suaminya yang tampak ragu namun tulus.

“Apakah kamu… sudah mencintai aku? Atau… masih ada Karan di hati kamu?”

Puri terdiam. Udara terasa berat. Matanya memandang langit-langit sejenak, lalu kembali ke wajah Yudha.

Ia menghela napas, pelan. “Mas...”

Tangannya menggenggam tangan Yudha.

“Aku tidak bisa bilang perasaanku ke Karan hilang begitu saja. Dia bagian dari masa lalu yang pernah aku jaga.”

Yudha menunduk, mencoba menyembunyikan sorot kecewa yang tak bisa ia tahan.

“Tapi…” lanjut Puri, suaranya mulai bergetar, “...yang ada di sini sekarang, yang ada di sisiku saat aku jatuh, saat aku rapuh... itu Mas Yudha. Kamu yang aku pilih, bukan karena aku ingin lupa Karan, tapi karena aku ingin mencintai lagi... dan itu aku temukan di Mas Yudha.”

Yudha menatap Puri, matanya mulai basah.

“Aku nggak minta dilupakan sepenuhnya,” ucapnya pelan, “aku cuma ingin jadi rumah buat kamu.”

Puri tersenyum, mengangguk. “Dan kamu sudah jadi rumah. Rumah yang nggak pernah aku punya sebelumnya.”

Yudha memeluknya. Erat. Tak ada kata lagi yang perlu diucap. Mereka berdua tahu, cinta tidak selalu tentang melupakan masa lalu. Tapi tentang siapa yang bersedia bertahan di hari ini.

Kemudian, Yudha mengajak Puri untuk makan malam. Ia tersenyum memandangi wajah istrinya yang duduk di hadapannya.

“Mas Yudha, kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Puri, heran namun tersipu.

Yudha menatap Puri dengan lembut, senyumannya semakin lebar.

"Aku cuma merasa beruntung bisa duduk di sini bersama kamu," jawabnya dengan tulus.

Puri merasa pipinya memerah mendengar kata-kata itu.

Ia memang sudah lama mengenal Yudha, namun kadang-kadang, ungkapan sederhana seperti itu tetap bisa membuat hatinya berdebar.

"Mas Yudha...," Puri mencoba menyembunyikan senyum malu di balik tangannya, "kamu selalu tahu cara membuat aku merasa istimewa."

Yudha tertawa kecil, matanya penuh cinta. "Karena kamu memang istimewa, Puri. Tidak ada satu pun yang bisa menggantikan mu."

Mereka terdiam sejenak, menikmati suasana makan malam yang hangat dan penuh kebahagiaan.

Meskipun sepele, momen seperti ini, di mana keduanya saling berbagi perhatian, selalu membuat perasaan mereka semakin dekat.

Usai makan malam, Puri berdiri dan membawa piring kotor ke dapur.

Pyarrr!

Yudha refleks menoleh, dan matanya membelalak melihat istrinya tergeletak di lantai. Puri pingsan.

Panik, Yudha segera menghampiri. Wajahnya pucat, tangannya gemetar. Ia memanggil nama istrinya, namun tak ada respons.

Tanpa membuang waktu, Yudha langsung mengangkat tubuh Puri dan membawanya ke rumah sakit.

Rasa cemas menyelimuti hatinya, apalagi mengingat kondisi kandungan Puri.

Ia takut terjadi sesuatu pada istri dan calon buah hatinya.

Yudha perlahan naik ke atas ranjang, hati-hati agar tak mengganggu selang infus yang masih menempel di tangan istrinya.

Ia membaringkan tubuhnya di samping Puri, lalu memeluknya erat seolah ingin memastikan bahwa perempuan yang dicintainya itu benar-benar masih ada di sana, nyata, hidup.

Pelukannya hangat, namun penuh gemetar. Ia menyembunyikan wajahnya di leher Puri, dan untuk beberapa saat tak berkata apa-apa, hanya membiarkan air matanya jatuh di bahu perempuan itu.

“Jangan menakuti aku seperti itu lagi…” bisiknya akhirnya, suaranya serak penuh luka.

“Aku belum siap… kalau kamu meninggalkan aku.”

Puri terdiam, matanya ikut berkaca-kaca. Ia membalas pelukan itu semampunya, meski tubuhnya masih lemah.

“Aku juga nggak mau ninggalin kamu, Mas… Aku cuma kecapekan…”

Yudha mengangguk pelan, masih menenggelamkan wajahnya dalam pelukan.

“Mulai sekarang, kamu istirahat. Aku yang urus semuanya. Kamu dan calon bayi kita… adalah hidupku.”

Keheningan menyelimuti mereka, tapi tak ada yang terasa kosong.

Dalam pelukan itu, ada janji tanpa kata—untuk tetap bersama, melewati apa pun, seberat apa pun.

****

Keesokan paginya, sinar matahari menyusup lembut melalui tirai kamar rumah sakit.

Puri terbangun dengan perasaan sedikit lebih segar, meski tubuhnya masih lemah. Di sampingnya, Yudha tertidur duduk di kursi, tangan mereka masih saling menggenggam.

Beberapa ketukan di pintu membangunkan Yudha. Seorang dokter masuk sambil membawa berkas dan tersenyum hangat.

“Pagi, Bu Puri, Pak Yudha,” sapa dokter itu.

“Kami sudah memeriksa hasil observasi semalaman. Kondisi Ibu sudah cukup stabil. Kalau tidak ada keluhan, Ibu sudah boleh pulang hari ini.”

Yudha langsung berdiri, wajahnya cerah seketika.

“Serius, Dok? Syukurlah…”

Dokter mengangguk. “Tapi ingat, Ibu harus benar-benar istirahat total. Jangan stres, jangan terlalu banyak bergerak. Dan tetap kontrol sesuai jadwal.”

Puri mengangguk pelan. “Terima kasih, Dok… Saya akan lebih hati-hati.”

Setelah dokter pergi, Yudha membantu Puri duduk perlahan.

Ia menyiapkan baju pulang, mengemasi barang-barang, dan memastikan semua kebutuhan Puri sudah siap.

Sesampainya di mobil, Yudha memandangi Puri sebelum menyalakan mesin.

“Mulai hari ini, kamu istirahat total. Aku yang masak, aku yang cuci piring, aku yang urus semuanya. Nggak ada kompromi.”

Puri tersenyum kecil. “Iya, Pak Suami Siaga…”

Mereka saling menatap sebentar, lalu tertawa pelan. Meski kemarin penuh rasa takut, pagi ini terasa seperti awal baru dengan cinta yang makin kuat dan harapan baru.

1
kalea rizuky
hamil deh
kalea rizuky
bagus awalnya tp karena MC nya berhijab tp berzina maaf Q skip karena gk bermoral kecuali dia di perkosa
kalea rizuky
tuh dnger emak nya karan g stuju ma loe
kalea rizuky
berjilbab tp berzina pur pur didikan ibumu jos
kalea rizuky
pasti ortu karan gk setuju pur. pur bodoh qm blom nikah uda ilang perawan
kalea rizuky
puri kenal karan jd murahan
kalea rizuky
harusnya di pesenin lah taksi online Yuda gk tanggung jawab bgt
kalea rizuky
masih menyimak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!