Demi bisa mendekati cinta sejatinya yang bereinkarnasi menjadi gadis SMA. Albert Stuart rela bertransmigrasi ke tubuh remaja SMA yang nakal juga playboy yang bernama Darrel Washington.
Namun usaha mendekati gadis itu terhalang masa lalu Darrel yang memiliki banyak pacar. Gadis itu bernama Nilam Renjana (Nilam), gadis berparas cantik dan beraroma melati juga rempah. Albert kerap mendapati Nilam diikuti dua sosok aneh yang menjadi penjaga juga penghalang baginya.
Siapakah Nilam yang sebenarnya, siapa yang menjaga Nilam dengan begitu ketat?
Apakah di kehidupannya yang sekarang Albert bisa bersatu dengan Cinta sejatinya. ikuti kisah Darrel dan Nilam Renjana terus ya...
Novel ini mengandung unsur mitos, komedi dan obrolan dewasa (Dimohon untuk bijak dalam membaca)
Cerita di novel ini hanya fiksi jika ada kesamaan nama dan tempat, murni dari kreativitas penulis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Benang Merah Takdir
...Happy Reading 🩷🫶...
Siang, buku dan pertanyaan, "Bagaimana harimu, Nilam?"
Buku setebal enam ratus halaman ada di tangan Nilam, huruf yang ia tatap menari-nari dengan ceria, semua kata di awali huruf L selalu ia baca dengan Love, meskipun kata seharusnya di baca Lord, Labu, atau apapun itu.
Sudut bibirnya membuat garis lengkung senyuman, matanya memancarkan binar bahagia.
Karena apa?
Karena orang sombong dan angkuh seperti Darrel akhirnya menyatakan suka padanya. Sikap penolakannya pada Darrel tadi di lapangan upacara berbanding terbalik dengan perasaannya saat ini yang sedang berbunga-bunga.
Kini tatapannya tersita oleh enam ekor burung yang hinggap di pagar perpustakaan, burung itu seakan sedang berbicara bahasa kalbu, mereka mengangguk dan berkicau dengan celoteh yang lucu.
"Kalau cuma lihat burung berkicau kenapa harus ke perpustakaan?" tanya Darrel di belakang telinga Nilam.
Sontak Nilam memasang muka judes, "bukan urusan kamu ya!" ketus Nilam.
Darrel membalik buku yang ada di depan Nilam, "kalo mau baca buku pastikan buku tidak dalam posisi terbalik," ucapnya dengan nada menggoda.
Pipi Nilam seketika memerah menahan malu.
"Bagaimana harimu, Nilam. Apa kamu masih sering bermimpi tentangku?" Pertanyaan Darrel membuat pipi Nilam semakin memerah
"Ambilkan buku Sense and Sensibility by June Austin," titahnya pada Nilam.
Respon pertama Nilam adalah mengernyitkan kening lalu berbisik, "Aku bukan budak kamu!" desisnya.
"Aku sudah menjadikanmu kekasihku," Darrel merangkul bahu Nilam.
Dengan sedikit kasar Nilam menghempaskan tangan Darrel, "urus saja kekasihmu yang lain, jangan coba-coba mendekatiku."
"Meski kamu tidak suka aku kagumi, tetap saja aku tidak tahu bagaimana caranya untuk pergi menjauhimu. Dalam suratan gen-gen pendahuluku, aku belajar mencintaimu dengan cinta dan kerinduan yang purba, rasa ini mengalir menggelegar menyuarakan kerinduan," ucap Darrel penuh dramatisasi.
"Jika kau bertanya dari mana rasa ini tumbuh, dari nuansa manismu diujung senyuman dan dari mata yang selalu memancarkan semua arti kehidupan," imbuhnya lagi.
Nilam memutar bola matanya dengan jengah, "kamu sarapan bayi yak? Lebay tau gak sih!" Sambil menggeser duduknya menjauhi Darrel.
"Kenapa hanya kamu yang menolakku, kamu ingin lihat semua pesan yang tidak pernah Darrel hapus di benda ini, semua meminta aku jadi kekasihnya, Nilam" Darrel menyodorkan ponsel yang tadi ia sebut benda pipih.
Nilam menopang dagunya dengan tangan kanan, lalu memicingkan matanya menatap Darrel dengan seksama. "Rel, tidak semua orang memiliki minat yang sama pada daun kering."
"Dan yang aku yakini, semakin banyak aku mengetahui perasaan orang lain, semakin sulit aku menilai lelaki mana yang benar-benar mencintaiku," imbuh Nilam lagi.
"Apa kamu tidak menyadarinya? Aku telah meninggal jejak energi di dalam ruang diammu. Kamu seringkali mengingat wajahku di saat senyumanmu mengembang, kamu telah lama menyimpan namaku di dalam hatimu, Nilam. Darrel... Darrel I miss you—"
"Stop! nggak lucu tauk gak sih!" Nilam menyibak rambutnya dengan gelisah, dan telapak tangan bergerak mengipasi wajahnya. Apa yang dikatakan Darrel adalah kenyataan yang selama ini ia pendam.
Nilam berdiri lalu beranjak keluar dari perpustakaan. Darrel tersenyum tipis, lalu memasukkan kedua tangannya dalam saku dan melangkah dengan pasti mengikuti kemana gadisnya itu pergi.
Hingga kaki Darrel berpijak di kantin, konsentrasinya buyar...
Enam orang rekannya yang meninggal karena tawuran ada di sana. Wajah mereka pucat dengan kantung mata yang menghitam, tatapan mereka sinis dan tajam menatap Darrel. Dengan wajah kikuk dan perasaan campur aduk, ia duduk di depan keenam rekannya.
"Ada apa?" tanya Darrel
"Kami mau nagih janji lu, Rel."
"Elo janji mau kasih santunan ke nyokap gue Rel." tagih Vino.
"Kucing gue terlantar, kapan lu mau cariin orang buat adopsi dia" cecar Tian.
"Meski kita bertiga sering ngaduin kelakuan anak Banzhat ke Lo, tapi lo nggak bisa menyalahkan kami semua karena keputusan tawuran itu ada di Lo, Rel! Gue mau nama gue di bersihkan dari tuduhan biang kerok dari semua ini" protes Luthfi
Darrel menundukkan wajahnya. "Ya udah, dimana alamat kalian. Aku lupa ingatan setelah kejadian itu," keluh Darrel.
Keenam arwah itu saling bertukar pandangan. "Kenapa sama Nilam Lo gak lupa, Lo bohong kan?!" desis Tino, manik mata Tino yang kini hitam semua menyorot Darrel dengan tatapan geram.
Darrel mengangkat kedua bahunya seakan tidak ingin berbagi cerita.
"Lo bisa minta minta tolong Wildan buat anter ke rumah gue," ucap Faris.
Pertemuan mereka selesai setelah menemukan kesepakatan dan solusi. Darrel kehilangan Nilam, lagi.
💎💎💎
Bisikan malam, ucapan selamat malam dan rindu.
"Selamat datang di restoran kami" sapa Nilam pada para pengunjung yang memasuki pintu kaca restoran siap saji asal Korea.
Namun mata Nilam seketika memutar malas saat yang masuk adalah Darrel dan Wildan.
"Nil, Lo kerja di sini?" sambut Wildan.
"Pesanannya apa mas?" Nilam berusaha bekerja sesuai SOP, tanpa berniat menjawab pertanyaan Wildan yang terkenal Cepu di sekolah.
"Combo lima, Oksusucha dua gelas, Nil." jawab Wildan.
"Terima kasih pesanan, di tunggu ya mas," ucap Nilam.
"Berapa upah bekerja di sini?" tanya Darrel pada Wildan.
"Gue rasa sih dia cuma oartime di sini, secara ijazah SMA aja dia gak punya. Sekitar satu juta something lah ya... " Wildan mengangguk dengan menarik bibinya ke bawah.
Darrel mengangguk pelan. Tatapan matanya terus mengekori kemana Nilam bergerak.
"Sejak kapan Lo naksir anak itu? Dia itu gadis yang freak, menurut cerita Rose, Nilam anak Wewe gombel," ucap Wildan terlihat yakin.
"Jangan bikin gosip yang gak benar!" tegur Darrel. "Kalau kamu sudah selesai makan, cepat pergilah!" ucapnya lagi lebih tegas. Sebenarnya Darrel sudah muak dengan semua obrolan Wildan.
"Owh jadi gegara cewe itu, Lo ngusir gue. Dimana janji Genk kita Rel? Cewe nomer ke sekian, setelah ikatan persahabatan kita Rel, ingat itu!" Wildan mulai terpancing emosi karena sejak tadi Darrel lebih banyak diam dan terus memaksanya mencari tahu kegiatan Nilam.
"Aku sedang tidak ingin berdebat, Wil. Terserah kamulah."
"Oke gue pulang, Lo berubah Rel!"
Tapi Wildan tidak juga beranjak dari kursinya, hingga Darrel mengeluarkan uang lima lembar berwarna merah.
"Akhirnya Lo ngerti juga, sorry Lo gak berubah hanya gue lihat lo lagi jatuh cinta, bro" Wildan menyemir lebar.
Nilam datang dengan membawa nampan isi pesanan, "lho Wildan mana?" tanyanya dengan mata melihat ke sekeliling.
"Kenapa kamu gak nyariin aku, apa aku harus menghilang dulu biar kamu peduli padaku?" wajah Darrel terlihat kesal.
"Iya, hilang gih!" canda Nilam.
Namun, Darrel benar-benar menghilang dari tatapan Nilam.
Nilam terpaku saat Darrel menghilang di depan matanya, kecemasan merenggut ketenangannya, perlahan namun pasti kesedihan hadir meremas bunga-bunga di hatinya yang bermekaran sejak pernyataan rasa suka Darrel padanya tadi pagi.
Airmata mengembun di pelupuk mata Nilam, tubuhnya kini bergetar, beban akan takut kehilangan orang yang ia sukai lebih berat dari bobot tubuhnya sendiri. Nilam terduduk di kursi dengan kaki yang bergetar.
"Nil, pulang yuk!" tegur Mariana yang sudah siap dengan tas di punggungnya.
Suara Mariana seakan menariknya kembali pada dunia nyata, ia melirik jam di pergelangan tangannya, lalu matanya membelalak sempurna.
"Apa sejak tadi aku melamun? Tapi kenapa begitu nyata," bisik Nilam.
Perjalanan ke rumahnya kini lebih cepat dari biasanya, Mariana tanpa mengucapkan say goodbye langsung tancap gas meninggal Nilam di depan halaman rumahnya.
Kaki Nilam melangkah pelan, ia merasakan bulu kuduknya berdiri, Nilam menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sesuatu yang tidak dia harapkan, tiba-tiba di depan wajahnya sudah berdiri tubuh tegap menjulang milik Darrel.
"Darrel!" pekik Nilam.
"Kenapa kamu pulang, aku masih merindukanmu... "bisik Darrel dengan lembut.
Seketika Nilam menangis, perasaan takut kehilangan yang sejak tadi meremas jantungnya terobati oleh kata rindu dari sang pujaan hati, seakan kata-kata itu menyingkirkan tangan besar yang meremas jantungnya.
Nilam memukuli dada Darrel dengan tangan yang lemah sambil terisak. "Jangan menghilang lagi, aku takut."
Darrel tersenyum lebar, "Kamu takut aku pergi selamanya atau takut aku mahkluk astral yang bisa menghilang?" tanya Darrel dengan tatapan menggoda.
"Aku gak peduli kamu jin, setan, Dracula asal jangan genderuwo karena bau mereka sangat gak enak. Tapi aku takut kehilangan orang yang aku sukai, Rel," lirih Nilam.
"Kalau aku Vampire apa kamu mau?" Nilam menganggukkan kepalanya sambil meremas ujung baju flannel Darrel.
"Artinya, kamu suka aku juga kan?" tanya Darrel menyakinkan hatinya. Nilam mengangguk lemah.
Darrel memeluk Nilam dan mengajaknya melayang tinggi ke udara.
"Rel, kepalaku kok tiba-tiba pusing ya?" tanya Nilam karena belum menyadari mereka sudah tidak menginjak tanah.
"Jangan melihat ke bawah, Nilam. Lihatlah mataku dan dengarkan baik-baik ucapanku," ucap Darrel lalu memastikan tatapan Nilam tertuju padanya. "... Kamu harus percaya, bahwa diantara aku dan kamu ada benang merah yang mengikat takdir kita, sejauh apapun jarak yang aku tempuh untuk menemuimu, akan aku lakukan. Berapa kali pun kamu berganti wujud dan nama, aku tetap bisa mengenali kamu, cinta sejatiku."
"Rel, kenapa bulan dekat sekali dengan kita?" tanya Nilam diantara setengah kesadarannya.
"Karena kita telah jauh meninggalkan bumi." bisik Darrel.
Nilam mengernyitkan keningnya, matanya menunduk ke bawah, tiba-tiba mulut Nilam terbuka dengan bola matanya melebar. "Rel, ini mimpi kan? Akhir-akhir ini aku sering halusinasi," panik Nilam, berharap semua ini hanya mimpi.
Namun kecupan lembut dari bibir Darrel yang dingin di atas bibirnya, membuat Nilam mengedipkan matanya dengan cepat berkali-kali.
'Ini bukan mimpi Nilam." bisiknya dalam hati.
...🦇🦇🦇🦇🦇...
B e r s a m b u n g...
aku yang polos ini... pengen ngintip dikit 🙈🤭