NovelToon NovelToon
Hantu Nenek Bisu

Hantu Nenek Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Mata Batin / TKP / Hantu
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18: Tali Persahabatan Lama

Matahari sore menggantung malas di atas langit Desa Karangjati. Setelah semalam diselimuti kabut gaib dan bisik-bisik teror, hari itu terasa lebih tenang, meskipun hawa aneh masih menyelimuti setiap sudut desa. Namun, di antara rasa was-was itu, satu pertemuan kecil memunculkan kehangatan yang hampir terlupakan.

Di bawah pohon asem tua dekat lapangan kecil tempat anak-anak biasa bermain bola, tiga pemuda duduk melingkar. Ada Pedot dengan celana pendek batik dan kaos kusamnya, Udin yang setia dengan sarung dan peci miringnya, serta satu sosok baru—Aji.

Aji duduk dengan tenang, mengenakan baju koko putih bersih dan celana panjang abu-abu. Wajahnya teduh, bersih, dan matanya tajam namun ramah. Bekas kehidupan pondok masih terlihat jelas dari tutur katanya yang sopan dan pembawaannya yang tenang.

Udin: “Yo wis suwe, Ji… kowe gak pulang-pulang. Tak kira wis lupa karo kampung!”

(Sudah lama, Ji... kamu gak pulang-pulang. Kukira udah lupa sama kampung!)

Aji: (tersenyum) “Lha aku piye to, Din. Urusan pondok kuwi ora bisa ditinggal. Tapi… saiki aku wes rampung mondok. Waktune bali ngurusi tanah kelairan.”

(Ya gimana, Din. Urusan pondok itu gak bisa ditinggal. Tapi… sekarang aku sudah selesai mondok. Waktunya kembali urus kampung halaman.)

Pedot: “Nggak usah gaya koyo ustaz wae kowe! Tapi… aku seneng, Ji. Kancaku sing dulu tukang ngintil barongan, saiki wis jadi orang alim.”

(Jangan sok ustaz gitu, ah! Tapi… aku seneng, Ji. Temanku yang dulu suka ikut main barongan, sekarang sudah jadi orang alim.)

Ketiganya tertawa. Suara mereka mengusir sejenak kekhawatiran warga yang terus membicarakan pusaka yang diburu, nenek bisu, dan serangan makhluk halus yang makin sering terjadi sejak malam penguncian.

Kenangan Masa Kecil

Mereka larut dalam nostalgia. Tentang masa kecil mereka yang dihabiskan mengejar layangan, memancing di kali, atau sekadar mencuri mangga Pak Kromo. Aji, meski sekarang lebih pendiam dan alim, tetap menunjukkan sisi akrabnya yang dulu.

Aji: “Kowe loro isih kaya dulu ae. Pedot, lemes-ne ora ilang-ilang. Udin, cerewetne tambah parah.”

(Kalian berdua masih seperti dulu. Pedot, lemesnya gak hilang-hilang. Udin, cerewetnya makin parah.)

Udin: “Yowes lah, Ji. Wong sing penting saiki kowe wes bali. Soale… desa iki butuh wong sing iso nahan badai iki.”

(Ya sudahlah, Ji. Yang penting sekarang kamu udah pulang. Soalnya… desa ini butuh orang yang bisa nahan badai ini.)

Aji terdiam sejenak. Pandangannya mengarah ke arah bukit tempat angin sering berhembus dingin. Ia tahu, badai yang dimaksud bukan hanya badai biasa, tapi gelombang gaib yang makin kuat sejak pusaka peninggalan Pak Wiryo diperebutkan oleh kekuatan dari luar.

Tanda-Tanda di Langit

Sore itu, langit mendadak gelap. Awan menggumpal pekat seperti malam akan datang lebih cepat. Udin menoleh ke Aji.

Udin: “Iki pertanda maneh, to Ji?”

(Ini pertanda lagi, ya Ji?)

Aji bangkit perlahan, wajahnya serius.

Aji: “Bisa jadi. Tapi angin belum membawa bisikannya. Belum waktunya muncul besar-besaran. Tapi aku yakin, kita akan diuji lebih dari ini.”

Mereka bertiga berdiri bersama, memandangi langit. Angin meniup pelan dedaunan, dan di kejauhan, terdengar kokok ayam jantan—padahal hari belum senja.

Pertemuan dengan Mbah Tejo

Malamnya, Aji mengunjungi rumah Mbah Tejo. Sang dukun tua menyambutnya dengan senyum lelah tapi hangat.

Mbah Tejo: “Wah… sing dari kecil suka ngintilin aku nyari daun sirih, saiki wes dadi wong alim…”

(Wah... yang dari kecil suka ikut aku cari daun sirih, sekarang sudah jadi orang alim...)

Aji: (menyalami Mbah Tejo) “Ilmu njenengan banyak membantu aku, Mbah. Tapi aku ora bisa pake sembarangan. Harus digandeng karo syariat.”

(Ilmu Anda banyak membantu aku, Mbah. Tapi aku gak bisa pakai sembarangan. Harus digandeng dengan syariat.)

Mbah Tejo tertawa kecil.

Mbah Tejo: “Kowe bakal butuh semua itu, Ji. Sebab… dukun dari desa sebrang wis mulai masuk ke tanah ini. Dia bukan sekadar cari pusaka. Tapi pengen ngusai batas antara alam.”

Tanda yang Ditemukan

Aji diberi sebongkah batu kecil berwarna merah darah oleh Mbah Tejo. Batu itu ditemukan di bekas tanah milik Pak Wiryo. Ketika Aji memegangnya, tangannya bergetar.

Aji: “Ini… bukan batu biasa. Ini… penanda. Kaya segel gaib.”

Mbah Tejo: “Benar. Dulu, itu yang jadi 'kunci'. Dan sekarang, seseorang ingin membukanya kembali…”

Aji: “Kalau segel ini kebuka... apa yang dikurung bisa keluar?”

Mbah Tejo: “Bukan hanya itu, Ji. Tapi dendam yang diwariskan… bisa hidup kembali.”

1
Sokkheng 168898
Nggak sabar nunggu kelanjutannya.
BX_blue
Penuh kejutan, ngga bisa ditebak!
iwax asin
selamat datang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!