NovelToon NovelToon
WIDARPA

WIDARPA

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Horror Thriller-Horror / Anak Yatim Piatu / Pengasuh
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Karangkuna

Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.

Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.

Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

WIDARPA 07

Renjana berdiri di depan cermin kecil yang tergantung di samping lemari kayu, matanya menilai dirinya dengan seksama. Pagi itu, ia mengenakan kemeja putih yang rapi, dengan celana cokelat tua yang cukup nyaman untuk aktivitas seharian. Pakaian yang sederhana, namun memberi kesan profesional, cocok dengan tugas yang akan dihadapi di panti asuhan. Rambutnya yang sedikit tergerai terikat rapi di belakang, memberikan kesan tegas, meski masih ada sedikit kekhawatiran yang terbayang di wajahnya.

Dia menarik napas dalam-dalam, memeriksa setiap detail penampilannya, dari ujung sepatu yang tertata rapih hingga kemeja yang tergulung rapi di pergelangan tangan. Suasana pagi yang tenang membuatnya sedikit lebih tenang juga, meskipun ada perasaan campur aduk yang sulit ia atasi. Hari ini adalah hari pertama bekerja di panti asuhan, tempat yang diharapkan dapat memberinya kesempatan baru setelah semua yang telah terjadi.

Renjana menyentuh dadanya, merasakan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat. Di dalam dirinya, ada harapan sekaligus keraguan. Dia memandang diri di cermin dengan tatapan yang dalam, seakan mencoba memberi dorongan pada dirinya sendiri untuk menghadapi hari ini dengan penuh semangat. Wajahnya yang semula cemas kini mulai terlihat lebih tenang, meski masih ada bayang-bayang masa lalu yang mengikutinya.

Setelah beberapa detik, dia menganggukkan kepalanya pelan, seolah memberikan izin pada dirinya sendiri untuk melangkah maju. Tak lupa diambilnya tas dan map cokelat yang berisi surat lamarannya. Dengan langkah mantap, Renjana berbalik dan berjalan keluar dari kamarnya. Sebelum menutup pintu, dia menatap sekeliling, merasa untuk pertama kalinya dia akan benar-benar memulai sesuatu yang baru.

Renjana melangkah dengan tenang menuju rumah Pak Benos, yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal Nek Ayun. Udara pagi yang segar menyambutnya, dan matahari yang baru saja terbit memberi cahaya lembut pada lingkungan sekitar. Sesampainya di depan rumah Pak Benos, Renjana melihat Nek Ayun sedang berbincang dengan istri Pak Benos di halaman depan. Kedua wanita itu tampak akrab, berbicara sambil sesekali tertawa ringan.

Renjana menghampiri mereka dengan langkah mantap, wajahnya dihiasi senyuman cerah, meskipun sedikit gugup karena hari pertama bekerja di panti asuhan. "Selamat pagi, Nek," sapanya dengan suara yang ramah. Senyumannya semakin lebar saat melihat kedua wanita itu, yang segera menghentikan obrolan mereka dan menoleh.

Nek Ayun tersenyum hangat dan mengangguk, "Kenalkan, ini istri Pak Benos, namanya Bu Sari. Ini Renjana, yang baru datang kemarin dari Kota Besar."

Bu Sari, wanita berusia sekitar 50-an dengan rambut yang sudah mulai memutih, tersenyum lebar menyambutnya. "Selamat datang, kami sudah dengar banyak tentangmu. Semoga semuanya berjalan lancar," katanya dengan ramah, suaranya hangat dan penuh perhatian.

Pak Benos memanaskan mesin angkotnya dengan cekatan, suara mesin yang mulai berdengung mengisi keheningan pagi. Setelah memastikan semuanya siap, ia melangkah menuju kursi depan dan  Renjana masuk ke kursi belakang.

Renjana berpamitan dengan sopan pada Nek Ayun dan istri Pak Benos, mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan mereka. Kedua wanita itu membalas dengan senyuman hangat, dan Bu Sari menambahkan, "Semoga perjalananmu lancar."

Setelah Renjana naik ke kursi belakang, mereka berangkat. Dari jendela angkot, Renjana sempat melihat dua orang putri Pak Benos berdiri di depan pintu rumah mereka. Kedua anak kecil itu tersenyum dan melambai dengan ceria pada ayah mereka yang mulai menjalankan mobil. Pemandangan itu membuat Renjana tersenyum gemas. Salah satu dari mereka, yang paling kecil, menarik perhatiannya. Dengan rambut pendek dan pita merah yang terikat rapi di kepalanya, anak itu melambai dengan bersemangat. Pita merah yang melingkar di kepalanya juga memiliki lis putih yang cantik, tampak seperti aksesori sederhana namun membuat anak itu tampak begitu ceria.

Renjana memperhatikan anak kecil itu dengan perhatian, melihat bagaimana ia menggenggam gelang dari pita merah itu di pergelangan tangannya. Melihat kepolosan dan kegembiraan anak-anak itu membuat Renjana merasa sedikit terhibur. Seperti ada ketenangan yang muncul dalam dirinya. Sungguh, dunia anak-anak memiliki keindahan dalam kesederhanaannya. Angkot melaju meninggalkan kawasan permukiman itu.

Pak Benos fokus pada jalanan didepan sesekali mengajak Renjana berbincang. "Di sini, kebanyakan orang bekerja di bidang perikanan. Banyak kapal nelayan yang berlayar setiap pagi, dan hasilnya dipasarkan ke banyak tempat."

 

Pak Benos melanjutkan ceritanya, membagikan kisah-kisah tentang tradisi kota, pasar ikan yang selalu ramai dengan pedagang dan pembeli, serta acara-acara komunitas yang sering digelar. "Jika kamu ingin tahu lebih banyak tentang kota ini, jangan ragu untuk bertanya. Kami semua di sini saling berbagi," ujarnya dengan penuh semangat.

Renjana tersenyum, merasa lebih diterima dan lebih tenang dengan setiap kata yang keluar dari mulut Pak Benos. Ia menyadari bahwa, meskipun hidup di kota kecil ini penuh tantangan, ada banyak hal indah yang bisa ditemukan di setiap sudutnya.

Pak Benos melanjutkan ceritanya dengan nada yang lebih serius, seakan mengenang masa-masa yang sudah berlalu. "Sejak panti asuhan itu dibuka, banyak orang dari Kota Besar yang datang malam-malam, mengantarkan bayi-bayi ke sana," kata Pak Benos dengan suara yang pelan. "Kadang-kadang, orang tua mereka tidak bisa atau tidak mau merawat anak-anak itu. Ada yang alasan ekonomi, ada juga yang hanya tidak ingin bertanggung jawab."

Renjana terkejut mendengar itu, merasa hati kecilnya tergugah. "Mereka meninggalkan anak-anak begitu saja?" tanyanya, suara penuh tanda tanya dan sedikit sedih.

Pak Benos mengangguk perlahan, matanya mengarah ke jalanan yang mulai sepi. "Iya, banyak yang seperti itu. Tapi, panti asuhan itu menjadi tempat yang aman bagi mereka. Para orangtua itu berpikiran bahwa di sana, anak-anak mereka akan mendapatkan perawatan dan kasih sayang yang tidak bisa mereka dapatkan dari orang tuanya." Ia berhenti sejenak, seolah memberi ruang bagi Renjana untuk menyerap informasi tersebut.

Pak Benos melanjutkan ceritanya dengan nada lebih rendah, seakan ada perasaan yang tak terucapkan di balik pengalamannya. "Terkadang, aku melihat beberapa orang berpakaian rapi, tampak seperti keluarga yang baik-baik," katanya sambil mengendalikan angkot. "Mereka datang malam-malam, membawa bayi yang masih sangat kecil. Biasanya mereka juga membawa tas besar, yang sepertinya berisi uang untuk panti asuhan itu. Kadang-kadang, mereka hanya menyerahkan anak mereka begitu saja, seperti mengantarkan barang yang tak terpakai lagi."

Renjana menatap Pak Benos dengan wajah penuh tanda tanya, terkejut dengan cerita tersebut. "Maksudnya, mereka... membayar panti untuk merawat anak-anak itu?" tanyanya, mencoba memahami lebih dalam.

Pak Benos mengangguk perlahan, matanya tetap fokus ke jalan yang mulai ramai. "Ya, begitu. Seperti mereka merasa sudah tidak bisa merawat anak-anak itu, jadi mereka membayar agar anak-anak itu bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik di panti. Tapi ada yang aneh juga, Renjana. Beberapa dari mereka tampak seperti tidak merasa berat hati saat meninggalkan anak-anak mereka. Mereka hanya menyerahkan anak-anak itu tanpa banyak bicara, seakan itu keputusan yang sudah dipikirkan matang-matang."

Renjana merasakan ketegangan yang muncul. "Itu... sangat menyedihkan," ujar Renjana pelan, berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya.

Pak Benos menatap ke arah depan dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Memang, Renjana. Rasanya seperti ada yang tersembunyi di balik itu semua. Beberapa orang yang datang begitu saja, menyerahkan anak-anak mereka tanpa ada penyesalan. Tapi tentu saja, ada juga yang benar-benar tidak mampu dan berharap anak-anak itu bisa mendapatkan hidup yang lebih baik. Aku harap di panti itu, anak-anak itu dirawat dengan penuh perhatian. Semoga tidak seperti rumor yang beredar," ucap Pak Benos ketika mengucapkan kalimat terakhir dengan pelan nyaris seperti berbisik.

Renajan menangkap kata terakhir yang diucapkan pria itu dan menjadi penasaran.

"Rumor apa, Pak?" tanyanya ingin tahu, namun Pak Benos mengalihkan pembicaraan dengan bertanya pada Renajan bagaimana rasanya tinggal di Kota Besar.

Renjana bertanya-tanya apa ada sesuatu tentang panti itu?

Rumor apakah itu?

1
Nicky Firma
awal yang bagus, ditunggu part selanjutnya
Karangkuna: terima kasih /Smile/
total 1 replies
Senja
bagus. lanjut thor
Karangkuna: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!