Ratu Esme Coventina Vasilica dieksekusi oleh suaminya sendiri, Raja Stefan Vasilica karena dituduh membunuh anak raja.
Anak raja yang berasal dari selir Jenna itu akan jadi putra mahkota dan akan duduk di tahta selanjutnya. Keputusan itu diambil karena Ratu Esme dinyatakan oleh tabib tidak akan bisa mengandung selamanya alias mandul.
Karena dianggap membunuh keturunan raja, Esme yang merupakan seorang ratu tetap tidak lepas dari hukuman.
Namun ketika ekseskusi akan dimulai, sebuah senyum licik dari Jenna membuat Esme merasa bahwa semua ini tidak lah benar. Dia sendiri tidak pernah merasa membunuh anak dari suaminya itu.
" Jika aku diberi kesempatan untuk hidup kembali, maka akan ku balas semua rasa sakit dan penghinaan ini."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reyarui, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Queen 33
Di luar Esme sudah tertidur selama dua hari lamanya. Namun di dalam mimpi Esme tidak merasakan itu sama sekali.
Dia yang melihat semua kehidupan yang pernah dilaluinya itu seolah tak ingin keluar dari sana. Terlebih ketika menyaksikan dirinya sendiri telah mati dieksekusi oleh sang suami.
Hati Esme sangat hancur, bagaimana bisa orang yang sudah ada bersamanya sejak kecil sama sekali tidak memercayainya. Bagaimana pria yang ia jadikan sandaran itu sama sekali tidak memihaknya. Ia berpaling dengan cepat hanya karena ada anak. Padahal janjinya sebelumnya, anak itu akan jadi anak mereka.
Esme terduduk di sisi tanah kuburnya sendiri. Ia mengusap batu nisan yang tertulis di atas pusara. Makam seorang ratu tidak diletakkan di pemakaman istana karena dianggap sebagai pengkhianat. Alhasil makan Esme diletakan di luar, tepatnya di sebuah hutan.
Hiks hiks hiks
Tangis Esme semakin kuat, dadanya semakin sesak saat ini. Nafasnya tersengal, rasa sakit sungguh begitu luar biasa dirasakan sekarang.
"Esme bangun."
Sebuah suara menggema, Esme mencoba mencari namun tidak ada satu pun orang di sana.
"Aku tidak tidur. Kenapa aku di suruh bangun? Ah ya aku ini sedang bermimpi. Haah, aku tidak ingin bangun. Dunia nyata begitu kejam. Sangat menakutkan. Aku lebih senang begini. Aku lebih senang duduk di sini, tak ada yang jahat padaku. Tak ada yang akan menyakiti ku dan tak akan ada yang membunuhku."
Esme tahu dirinya berada di alam tidur, tapi tiba-tiba dia tak ingin bangun dan melihat dunia nyata. Rasa sakit dan trauma yang ia rasakan sangat nyata sekarang.
"Esme, bangun. Di sini banyak yang sayang padamu. Aku janji akan melindungi mu, jadi jangan takut. Bangunlah Es. Bangun."
Suara itu terus hadir, namum Esme masih bergeming. Tapi suara itu tak juga berhenti. Suara itu terus memanggil namanya hingga akhirnya Esme merasa kesal dan enggan.
"Siapa yang sangat berisik memanggilku. Tidak di alam nyata tidak di alam mimpi, suka sekali mereka mengganggu."
Esme mengerjapkan mata secara perlahan. Dia menyadari bahwa saat ini tangannya dipegang oleh seseorang. Dia tidak tahu kalau sudah terbaring selama satu minggu, sehingga dirinya terkejut mengapa lehernya sangat kaku ketika hendak menoleh.
"Ba-ginda,"ucap Esme terbata. Dia terkejut bahwa ternyata tangan yang memegangnya adalah tangan milik Loyd.
"Tabiiiiib!"
Tabib istana langung berlari menghampiri, dia memeriksa Esme dengan seksama. Dengan nafas lega sang tabib mengatakan bahwa Esme sudah sadar dengan sempurna.
"Lady sudah sehat dan tidak ada satu hal yang mengganggunya."
"Ah syukurlah."
Esme mengedarkan pandangannya, rupanya dalam kamar itu tak hanya ada satu orang melainkan banyak orang untuk kategori sebuah kamar pribadi.
"Paul, kau tidak mati kan?"
Orang yang pertama dia cari adalah Paul. Dan dia bernafas lega karena melihat Paul berdiri di sana tanpa ada luka sedikitpun. Setidaknya itu lah yang dia lihat.
"Wah Lady, kau sangat keterlaluan. Padahal kau memegang tanganku, aku pula yang ada di sisi mu selama satu minggu ini. Tapi saat membuka mata, Paul yang kau tanyai lebih dulu."
"Apa? Satu minggu, aku? Bukankah aku hanya tidur satu malam, kenapa bisa jadi satu minggu?"
Esme terkejut bukan main. Saat ini semua orang diminta pergi dari kamar Esme dan hanya menyisakan Loyd dan Paul. Sebelumnya Daria membantu Esme unyuk duduk dan bersadar lebih dulu baru dia keluar dari kamar.
Paul menjelaskan tentang apa yang terjadi kepada Esme. Tak hanya Pual, Loyd pun juga menambahkan. Mereka berdua mengatakan bahwa Esme terkena sihir hitam.
Terang saja Esme terkejut bukan main. Ia pikir kehidupan pertamanya yang hadir sebagai mimpi hanya lah bagaian dari kenangan yang kembali dihadirkan. Dia tidak menduga bahwa semua itu adalah ulah dari sihir hitam. Walaupun mungkin tidak semuanya.
"Apa Anda yakin bahwa itu adalah sihir hitam, Baginda? Bagaimana menurutmu Paul, apa benar aku terkena sihir hitam?"
"Iya Lady, penyihir dari menara sihir sudah memastikan itu. Bahkan leher mu yang sama sekali tidak terluka bisa mengeluarkan darah. Hanya saja kita juga masih tidak tahu bagaimana dia bisa sampai mengenai mu."
Esme terdiam sejenak. Dia memikirkan apa yang dialami oleh dirinya ini. Sihir hitam mungkin memang bisa langsung dikirimkan. Namun tetap saja harus melalui perantara atau bisa disebut sebuah objek.
Esme memikirkan tentang perjalanan selama 20 hari ini dari Coventina ke Ravenloft. Selama itu juga dia mencoba mengingat dimana saja dia singgah dan siapa saja yang ditemuinya.
"Ada apa Es, apa kau sedang memikirkan sesuatu?"
"Ah ya, kau benar Paul. Aku sedang mengingat dimana saja kita singgah. Jika benar itu sihir hitam, maka akan ada objek sihirnya. Dan pasti ada sari bagian diriku yang diambil."
Plak
Paul menepuk kedua telapak tangannya. Apa yang diucapkan Esme benar sekali. Dan mengapa dia tidak berpikir hingga ke sana. Itu adalah petunjuk yang nyata.
Paul kemudian berlari untuk meminta pena dan kertas. Ia mulai menuliskan tempat-tempat yang mereka singgahi.
Meskipun tidak hanya satu atau dua tempat yang mereka singgahi, tapi Paul ingat. Sehingga dia bisa lancar dalam menuliskannya.
"Waah kau sungguh luar biasa, Lady. Baru juga bangun dari tidur panjangmu namun kau bisa memecahkan hal tersebut. Baiklah, apa kiranya ada orang yang kau curigai."
Esme berdiam, dia mencoba memutar otaknya untuk mengingat. Namun tiba-tiba kepalanya terasa berdenyut.
Eughhhh
"Lady, kau tak apa? Sudah, hentikan. Jangan dipaksa. Kau baru saja bangun, sebaiknya kau istirahat. Count, keluarlah, panggil Nona Daria. Aku akan keluar setelah Nona Daria datang."
"Baik Baginda."
Paul langsung berlari keluar dari kamar, tak lama Daria pun datang.
"Istirahatlah Lady, aku akan menemui mu nanti,"
"Terimakasih Baginda Kaisar."
Esme menghela nafasnya panjang. Dan ketika Loyd meninggalkan kamar, Daria langsung memeluk Esme. Wanita muda itu tergugu.
"Apa Anda tahu, kalau saya begitu takut, saya sungguh takut Anda tidak bangun lagi, Lady."
"Maafkan aku Daria, aku sudah membuatmu takut."
Puk puk puk
Esme menepuk bahu Daria. Dia tahu wanita itu sungguh sangat tulus terhadapnya. Baik di kehidupan yang dulu maupun sekarang.
Sembari memeluk Daria, Esme mencoba mengingat. Bukan soal dimana ada bagian dirinya yang diambil. Tapi dia mengingat tentang ukiran gagang pedang yang menghunus tubuh Paul.
"Aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi dimana kiranya?"
TBC
sekarang daku malah tidak sabar nungguin kebenaran tentang dirinya yang mandul, dan si jenong hamil mungut kecebong seorang budak /Sly//Smirk/