Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 LUKA YANG BELUM SEMBUH.
"Aku nggak ngerti kenapa kamu begini, Cin," suara Araf terdengar pelan, hampir seperti bisikan yang tertelan oleh suara malam. Ia berdiri di depan toko, di bawah lampu jalan yang berkedip-kedip, masih menatap ke arah Cintia yang kini menjauh, punggungnya semakin tertelan oleh kegelapan.
Cintia tidak menjawab. Langkahnya tetap, tegas, seperti tidak ada lagi alasan untuk berbalik. Namun, di dalam dadanya, ada perang yang tidak bisa ia kendalikan. Perang antara kebencian yang sudah lama ia simpan dengan dorongan kecil untuk percaya bahwa mungkin saja ada orang yang benar-benar peduli padanya.
Araf mengepalkan tangannya. Ia tidak ingin menyerah, tetapi ia juga tidak tahu harus berkata apa lagi. Semua usahanya untuk mendekati Cintia selalu berakhir seperti ini: tembok besar yang tak terlihat, dingin dan keras, memisahkan mereka. Namun malam ini, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu di mata Cintia tadi—sesuatu yang lebih dari sekadar kemarahan atau kebencian. Ada kesedihan yang begitu dalam.
“Aku cuma mau bantu kamu, Cin…” gumamnya pelan, meski ia tahu Cintia sudah terlalu jauh untuk mendengar.
---
Cintia terus berjalan, melewati gang-gang sempit Tamansari yang gelap. Udara malam terasa lembap, dan bau tanah basah memenuhi hidungnya. Tapi semuanya terasa kosong, seperti dirinya. Ia menggigit bibirnya hingga hampir berdarah, menahan emosi yang sejak tadi bergolak.
Sesampainya di rumah kecilnya, Cintia langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Matanya menatap langit-langit, tetapi pikirannya melayang jauh ke masa lalu—masa yang selalu menghantuinya. Ia mencoba menutup matanya, berharap bisa tertidur, tetapi bayangan itu kembali hadir. Suara bentakan ayahnya, tangannya yang kasar, dan rasa sakit yang dulu ia rasakan di setiap sudut tubuhnya. Semua itu kembali menghantamnya seperti gelombang besar yang tidak dapat ia hindari.
---
"Aku kan sudah bilang jangan keluar rumah malam-malam! Mau jadi apa kamu, hah?!"
Suara itu menggema di kepalanya. Suara ayahnya. Wajah lelaki itu muncul di dalam mimpi buruknya, dengan mata merah penuh amarah dan tangan yang terangkat tinggi.
Cintia kecil hanya bisa meringkuk di sudut kamar, air matanya mengalir tanpa henti. Ia tidak berani menjawab. Setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan membuat semuanya lebih buruk.
"Jawab, Cintia! Jangan diam saja!" bentak ayahnya, tangannya melayang keras ke pipi gadis kecil itu.
Cintia terbangun dengan napas terengah-engah. Badannya basah oleh keringat dingin, meskipun malam itu udara Tamansari cukup sejuk. Ia duduk di tepi kasur, memegang dadanya yang bergemuruh.
“Mimpi sialan…” desisnya pelan, suaranya pecah.
Ia berdiri dan berjalan ke dapur kecilnya. Tangannya gemetar saat ia mengambil segelas air dan meminumnya. Tapi rasa panas di dadanya tidak hilang. Semua itu terasa terlalu nyata, terlalu menyakitkan. Kenangan itu seperti luka yang terus terbuka, menganga tanpa pernah benar-benar sembuh.
Cintia menatap ke luar jendela, melihat bulan yang redup di balik awan. Ia menggigit bibirnya lagi, mencoba menahan isak yang ingin keluar. Ia tidak pernah menangis di depan orang lain, bahkan di depan dirinya sendiri. Tapi malam ini rasanya terlalu berat. Ia merasa seperti kembali menjadi Cintia kecil yang tidak punya siapa-siapa. Cintia kecil yang hanya bisa meringkuk di sudut, berharap semuanya akan segera berakhir.
---
Pagi harinya, Cintia bekerja seperti biasa di toko Bu Rini. Ia menahan kantuk akibat malam yang tidak tenang, tetapi ia tetap memasang wajah datar seperti biasanya. Bu Rini, seperti biasa, sibuk mengobrol dengan para pelanggan yang datang.
"Eh, kamu tahu nggak, Cin?" tanya Bu Rini sambil menata barang di rak. "Si Raf itu kan sering banget ke sini, ya. Kayaknya dia suka sama kamu, deh."
Cintia hanya melirik sekilas, lalu kembali merapikan meja kasir. "Dia cuma pelanggan, Bu. Jangan mikir yang aneh-aneh."
Bu Rini tertawa kecil. "Ah, kamu ini. Mana mungkin dia cuma pelanggan biasa. Lihat aja gimana caranya dia ngeliatin kamu. Aku ini udah tua, Cin, tapi mataku masih tajam, lho."
Cintia tidak menjawab. Ia hanya menghela napas pelan, berusaha mengabaikan pembicaraan itu. Tapi jauh di dalam hatinya, kata-kata Bu Rini membuatnya merasa tidak nyaman. Ia tahu Araf memang perhatian padanya, tapi ia tidak ingin membiarkan dirinya terlalu dekat dengan siapa pun. Ia tidak ingin tergantung pada siapa pun. Ia sudah cukup terluka.
---
Siang itu, seperti biasa, Araf datang ke toko. Ia membeli beberapa barang, tetapi jelas sekali bahwa tujuan utamanya bukan itu. Ia berdiri di depan meja kasir, menatap Cintia dengan mata yang penuh perhatian.
"Cin, aku mau ngobrol sama kamu sebentar. Bisa?" tanyanya pelan.
Cintia mengangkat alisnya. "Ngobrol apaan? Kalau soal belanja, ngomong aja di sini."
"Ini bukan soal belanja, Cin. Aku cuma mau tahu… kenapa kamu selalu menjauh dariku?" Araf menatapnya dalam-dalam, berharap ada jawaban jujur yang keluar dari mulutnya.
Cintia terdiam sejenak. Ia merasa hatinya mulai bergetar, tetapi ia buru-buru menguasai dirinya. "Aku nggak menjauh. Aku cuma nggak suka terlalu dekat sama orang. Itu aja."
"Kenapa? Apa aku pernah bikin kamu nggak nyaman?" Araf bertanya lagi, suaranya terdengar tulus.
Cintia mendengus pelan. "Nggak ada hubungannya sama kamu, Raf. Ini soal aku. Jadi lebih baik kamu nggak usah pusing."
"Tapi aku peduli, Cin," kata Araf tegas. "Aku peduli sama kamu, dan aku cuma mau kamu tahu itu."
Cintia menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. Ia merasa lelah. Lelah terus berusaha menjaga jarak, lelah dengan semua kenangan buruk yang terus menghantuinya, dan lelah dengan perasaan yang mulai tumbuh di hatinya untuk Araf. Tapi ia tidak bisa membiarkan dirinya lemah. Ia tidak mau menjadi lemah.
"Kenapa kamu peduli?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik.
Araf tersenyum tipis. "Karena aku tahu rasanya kehilangan orang yang kita sayang. Aku tahu rasanya hidup sendirian. Dan aku nggak mau kamu terus merasa seperti itu."
Cintia tertawa kecil, tetapi tawanya terdengar pahit. "Kamu nggak tahu apa-apa tentang aku, Raf. Jadi berhenti berpura-pura seolah kamu paham."
"Kalau aku nggak paham, biarin aku belajar. Aku mau tahu, Cin. Aku mau ngerti," jawab Araf dengan nada serius.
Cintia terdiam. Kata-kata Araf membuat hatinya bergetar. Tapi ia tidak tahu apakah ia bisa membiarkan dirinya membuka diri. Ia terlalu takut. Terlalu banyak luka yang belum sembuh.
---
Malam harinya, di rumahnya yang gelap, Cintia duduk sendirian di atas kasur. Ia memikirkan kata-kata Araf. Bagian dari dirinya ingin percaya pada lelaki itu, tetapi bagian lain dari dirinya berteriak bahwa itu adalah sebuah kesalahan. Ia tidak bisa percaya pada siapa pun. Tidak setelah semua yang ia alami.
Tapi ia juga merasa lelah. Lelah hidup dalam kebencian, lelah merasa sendirian. Ia menatap foto kecil di meja samping tempat tidurnya—foto dirinya saat kecil bersama ibunya. Ibunya yang selalu melindunginya, tetapi tidak pernah cukup kuat untuk menghentikan kekerasan yang mereka alami.
“Mama…” bisiknya pelan, air matanya mengalir tanpa ia sadari.
Ia menggenggam foto itu erat-erat, seperti berharap bisa kembali ke masa lalu, ke saat-saat ia masih merasa aman. Tapi ia tahu itu tidak mungkin. Masa lalunya adalah sesuatu yang tidak bisa ia ubah. Yang bisa ia lakukan hanyalah bertahan, meskipun ia tidak tahu sampai kapan.
---
Keesokan harinya, Araf kembali ke toko. Tapi kali ini, ia tidak membeli apa pun. Ia hanya berdiri di depan pintu, menunggu sampai Cintia selesai membereskan meja kasir.
"Cin," panggilnya pelan.
Cintia menoleh, tetapi tidak berkata apa-apa.
"Aku tahu aku mungkin nggak akan pernah ngerti apa yang kamu rasain. Tapi aku cuma mau kamu tahu, aku di sini. Kalau kamu butuh seseorang buat dengerin, aku selalu ada," kata Araf dengan nada lembut.
tetel semangat ya Cintia
jadi Mak yg merasa takut tauuu
ambil hikmah dari kejadian dlu. it yg membuat km bertahan smpe skg
sebenarnya Cintia mimpi mu adakah gambaran yg terjadi kelak,rasa luka yg membawa dendam dan rasa dendam yg akan membawa celaka
apa sakit thor
mampir juga ya di cerita aku