Buku kedua dari Moonlight After Sunset, bercerita tentang Senja, seorang gadis yang terlilit takdir membingungkan. Untuk mengetahui rahasia takdir yang mengikatnya, Senja harus membuang identitas lamanya sebagai Bulan dan mulai menjalani petualangan baru di hidupnya sebagai putri utama Duke Ari. Dalam series ini, Senja aka Bulan akan berpetualang melawan sihir hitam sembari mencari tahu identitas aslinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riana Syarif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecewa
"Hanya ada satu kata untuk menggambarkan ini semua, yaitu Dendam."
****
Sudah lama Senja tidak kembali ke rumahnya, tidak ini bukan rumahnya melainkan neraka yang diciptakan untuknya. Neraka yang bahkan siap merenggut apapun yang ia miliki di dalamnya, bahkan kasih sayang yang ia cari tak kunjung ditemukan.
CINTA
Apa itu cinta? Bahkan kata itu sudah lama ia lupakan, tidak tahu seberapa sakit hatinya, seberapa lelah tubuhnya, ia harus terus berusaha keras untuk bisa bertahan di sana.
Sudah lama juga Senja melupakan itu semua, ia tidak ingin hancur untuk setiap bagian dalam tubuh dan jiwanya. Maka dari itu, pertunangannya dengan pangeran kelima adalah jawaban pasti untuk keluar dari neraka ini.
Namun..., namun apa yang terjadi? Bukannya mendapatkan kebebasan, ia malah dibuang oleh cintanya, ditusuk oleh adiknya dan dikhianati oleh pelayannya.
Senja mempercayai mereka, tidak ia berusaha untuk percaya bahwa semua ini hanyalah kebohongan yang dibuat untuk menipunya. Ia tahu itu, tapi entah mengapa rasanya sangat sakit dan sakit, hanya itu yang bisa ia bawa sampai ia mati.
Kematian yang bahkan tidak seorangpun mengetahuinya, kematian yang hanya menyisakan luka dan rasa dingin dihatinya, dan karena alasan itulah, aku datang dan membalasnya.
"Dendam ini akan ku simpan sampai mati!"
Hanya itu satu-satunya cara yang bisa menguatkan batin Senja aka Bulan untuk kembali lagi ke mansion ini.
Baik dulu maupun sekarang, baginya mansion ini tidak lebih dari media balas dendamnya. Ia akan mengeruk habis apa saja yang ada disana dan menghancurkan mereka dengan tangannya sendiri.
"Hah."
Tidak banyak kata yang bisa ia ungkapkan untuk tempat itu. Semuanya kacau dan menyedihkan, bahkan para pelayan saja melayaninya seperti sampah. Akan lebih baik jika mereka mengabaikan dan tidak membuat ulah untuknya.
"Lihat ini, ia bahkan menuliskan jika setiap hari harus memakan makanan busuk untuk mengisi perutnya. Menyedihkan sekali," gerutunya yang saat ini sedang berada di dalam kamar rahasia Senja.
Sudah satu jam lebih ia berada di sana sejak kepulangannya ke mansion ini. Meski tidak ada seorang pun yang menyambutnya, namun itu lebih baik daripada harus melihat wajah menjijikan para pelayan itu.
"Semakin aku membaca buku tua ini, semakin kesal diri ku terhadap tempat sampah ini."
Senja yang kesal memutuskan untuk pergi meninggalkan ruang rahasia tersebut. Ia lebih memilih menenangkan dirinya di atas balkon sambil menikmati pemandangan paviliun miliknya.
Paviliun ini tidak semewah milik ketiga saudarinya yang lain. Keuntungan dari Paviliun ini hanya arah mata angin yang sesuai sehingga membuat tempat ini menjadi dingin meskipun tidak tersedianya kipas angin atau apapun itu.
Meski kini perabotannya sudah bertambah namun tidak sebanyak milik Sarah maupun Arina, tapi tidak masalah ia juga tidak terlalu peduli.
"Tempat ini terlihat lebih seperti berada di pedesaan padahal ia terletak di tengah-tengah kemewahan mansion Duke."
Senja tertawa internal melihat keadaan paviliunnya. Meskipun halamannya sudah dirapikan karena kemarahan Senja yang terakhir kali, namun ini terlihat lebih baik daripada pertema kali ia mendatanginya.
"Nona, semua persiapan sudah selesai."
Eza datang setelah menyelesaikan urusannya. Ia diperintahkan untuk melapor pada Duke dan mengawasi area sekitaran paviliun milik Permaisuri.
"Ada apa? Kenapa wajahmu begitu?"
Eza terlihat bingung, ia ingin menyampaikan apa yang baru saja ia lihat namun entah mengapa rasanya sulit sekali.
"Uhm..., Nona, itu, itu."
"Katakan saja," potong Senja tidak sabaran dengan sikap kaku bawahannya itu.
"Ma..., maafkan saya Nona, saat ini paviliun Permaisuri sedang ditempati oleh Selir Reliza."
"Hah, hahaha...!!"
Wajah Senja memerah dengan tangan yang terkepal erat. Matanya menajam dengan niat membunuh yang kental. Auranya keluar secara berlebihan sehingga tanpa sadar menekan Eza untuk sujud di tempatnya.
"Berani sekali dia!"
Senja berteriak dengan ganas sambil melangkah pergi. Eza yang panik berusaha keras untuk menghentikan emosi nona nya itu.
"Nona, ugh... Nona, tunggu dulu."
Senja yang mendengar namanya dipanggil, lantas berbalik dan melihat Eza dengan sudut matanya. Eza yang mendapatkan tekanan mana kini harus mendapatkan tekanan batin dari tatapan mematikan nona nya itu.
Namun ia harus kuat menahannya, jika tidak maka nona nya lah yang akan mengalami kerugian besar nantinya.
"... Nona, Duke belum memutuskan, Selir Reliza melakukan itu secara sepihak sedangkan Duke sedang di luar kota."
Eza berusaha untuk memberitahukan informasi ini dengan batin yang tersiksa. Meski begitu, langkah kaki nona nya tidak berhenti, ia terus saja melangkah pergi menjauhi kamarnya.
Eza yang sudah kehilangan tekanan mana menjadi sangat pucat. Wajahnya kaku dengan kaki yang beku seperti tertimpa es, tidak hanya tubuhnya yang kacau, bahkan kini jiwanya pun menjadi linglung.
Jelas Eza tahu jika nona nya itu sangatlah kuat, namun ia tidak tahu jika nona nya itu sekuat ini. Alasannya hanya satu, ia bahkan tidak bisa mengukur frekuensi kekuatan nona nya.
Eza tidak pernah merasakan kekuatan besar dalam tubuh nona nya, kecuali hanya kumpulan mana liar kecil yang bisa hancur jika intinya di pecahkan.
"Apa nona menyembunyikan kekuatannya? Tidak, tidak, tidak. Jika memang begitu, pasti ada saat dimana energi itu bakal bocor atau..."
Eza tidak bisa menyimpulkan hal lain kecuali satu hal, yaitu energi yang tersegel. Namun jika itu benar siapa yang telah menyegel energi nona nya selama ini? Apakah itu karena artefak atau sebuah mantra yang terjalin kuat di tubuhnya?
Pertanyaan demi pertanyaan hanya bisa ditelan pahit oleh Eza. Ia sayangnya tidak memiliki kekuatan untuk menanyakan itu pada nona nya saat ini. Jujur saja ia takut bahwa nanti nona nya akan menjadi gila dan menghajarnya dengan keras.
"Lebih baik aku menyusul Nona!"
Eza berlari keluar dari paviliun, untung saja saat ini nona nya masih bisa terkejar, meski jaraknya agak jauh namun dengan berlari kuat, ia pasti bisa menyusul.
****
"Letakan itu di sana."
Selir Reliza menunjuk area lukisan yang sedang di pindahkan oleh bawahannya. Ia secara sengaja memasuki Paviliun Permaisuri saat Duke sedang tidak ada di mansion.
Mungkin saja Duke akan marah saat ia kembali dan melihat ini semua, Namun Selir Reliza tidak peduli, ia bahkan sudah mengatur berbagai hal yang ada di dalam Paviliun tersebut.
"Jika Tuan kembali, maka aku tinggal mengatakan bahwa Ibu Mertua Arina yang meminta ini semua. Pasti, pasti Tuan akan setuju."
Senyum licik pun muncul di bibir wanita itu. Ia tertawa secara internal melihat apa yang sedang di bangun di hadapannya itu. Dengan ini, kekuasaannya di kediaman Duke akan bertambah dua kali lipat.
"Aku sangat bersyukur mengenai kasus itu."
Selir Reliza mendengus tajam saat mengingat Sarah yang harus dikeluarkan dari Akademi secara paksa. Ia senang karena putri satu-satunya akan mendapatkan apa yang selama ini seharusnya ia dapatkan.
"Pindahkan itu semua, dan bakar seluruh sisanya."
Ia dengan jijik memandang ke arah lukisan Permaisuri dan Duke yang tengah duduk bersama dengan Senja, putri mereka. Ia kesal bukan hanya karena posisinya telah direbut, namun juga karena kedudukan putrinya harus tersingkir karena bocah tidak tahu diri itu.
"Seharusnya, Arina lah yang akan menjadi Permaisuri bukan Selir pangeran."
Mengingat Arina, putrinya yang harus menjalani nasib sama seperti dirinya sendiri, harus menjadi selir hanya karena posisinya yang tidak sebanding dengan pangeran.
Padahal Arina adalah anak yang pintar dan cantik. Ia juga baik dan begitu naif, lalu mengapa ia diperlakukan seperti itu? Itulah yang selama ini dipikirkan oleh Selir Reliza.
"Andai saja yang menjadi Permaisuri itu adalah diri ku, mungkin saja, mungkin saja Arina akan mendapati kedudukan yang tinggi di kerajaan ini. Tapi..."
Selir Reliza menggigit bibir bawahnya kesal, ia melakukan itu karena amarahnya terhadap Duke yang sampai kini belum mengangkat siapapun sebagai Permaisuri meski Permaisuri sebelumnya sudah wafat.
Ia kesal sampai ke tulang-tulang, bahkan rasa kesalnya tidak akan terobati meski Senja mati. Ia berharap Senja tidak pernah lahir saat itu, ia sangat mengharapkannya.
"Mengapa harus di saat yang begitu berbahagia dalam hidup ku."
Lagi-lagi Selir Reliza memikirkan saat Duke membawa seorang wanita dengan bayi yang sudah berusia 5 bulan. Ia bertanya ada apa ini sebenarnya pada Duke, namun Duke hanya mengatakan jika wanita itu adalah Permaisurinya dan anak itu adalah anaknya yang akan menjadi Putri Utama di rumah ini.
"Padahal saat itu, saat itu bayi ku lahir. Arina ku lahir saat itu."
Entah mengapa wajah Selir Reliza menghitam dengan air mata yang menetes di sudut-sudut matanya. Ia harus terlihat kuat di hadapan bawahannya agar tidak ada seorang pun diantara mereka yang berani melawannya kelak.
"Aku terlalu berharap padanya, dan inilah yang terjadi," gumam Selir Reliza saat seluruh barang milik Permaisuri sudah di turunkan. Ia lalu menyuruh para bawahannya itu untuk membawa seluruh barang tersebut ke halaman belakang untuk di bakar.
Bawahan hanya menurut, mereka dengan sigap membawa dan meletakkan barang-barang tersebut ke halaman belakang. Barang-barang itu ditumpuk memanjang agar memudahkan mereka untuk membakarnya.
"Sekarang, bakar itu semua!"
Perintah sudah dikeluarkan, dan dengan energi mana yang terpusat di telapak tangan mereka, dengan cepat api mengalir di atasnya, dan pada saat mereka hendak melemparkan api-api tersebut, hal mengejutkan pun terjadi.
"Arg...!!?"
"Ugh....!!?"
Mereka berteriak secara bersamaan, tangan mereka yang semula memegang api, kini terbakar dengan cepat menyebabkan beberapa jarinya hangus dan hancur. Bahkan ada tangan yang langsung menghitam dan pecah di saat yang bersamaan.
Kejadiannya cukup singkat sehingga tidak ada seorang pun yang sadar apa yang sedang terjadi saat ini. Mereka bingung sekaligus takut oleh apa yang sedang dialaminya. Bahkan Selir Reliza pun mendapatkan imbasnya.
Ia tidak terbakar karena artefak perisai yang mengacaukan jalur sihir tersebut, namun tetap saja pakaian bawahnya hangus dan tangannya mengalami cedera parah akibat tersambar api.
Keadaan semakin kacau saat para bawahan yang hendak membakar milik Permaisuri kehilangan hampir seluruh jari mereka secara seketika. Ada beberapa diantara mereka yang berteriak dengan histeris dan bahkan ada yang pingsan karena tidak sanggup melihatnya.
"Sialan, siapa itu?" maki Selir Reliza yang terlihat sangat kesal. Ia juga kesakitan karena luka bakar yang mulai gosong dengan beberapa nanah yang melepuh.
"Berani sekali kau padaku!" teriaknya sekali lagi sambil mengeluarkan energi mana miliknya. Namun sayang, ketika energi mana itu keluar, lukanya semakin parah dan nanahnya pecah dengan efek sakit dua kali lebih kuat daripada sebelumnya.
"Bajingan mana ini...!?"
Selir Reliza yang mengetahui resikonya segera menutup energi mananya dan berusaha untuk tidak banyak mengeluarkan kekuatan. Ia hanya bisa melihat ke sekeliling dengan mata merah yang menyipit tajam.
"Ada apa ibu? Kenapa kau begitu terburu-buru untuk menyingkirkannya?" tanya sebuah suara dengan nada yang begitu lembut. Ia terlihat seperti seekor kucing kecil yang baru saja membuka matanya di dunia.
Senyum diwajahnya begitu polos dengan mata indah yang melengkung ke bawah. Siapa pun yang melihatnya, mereka pasti akan berpikir bahwa ia adalah malaikat suci yang tidak pantas berada di dunia yang kejam ini.
Namun berbeda dengan Selir Reliza, ia terlihat marah dan kesal. Mulutnya bahkan tidak bisa menutup dengan benar saat melihat gadis itu duduk santai di atas tembok halaman belakang.
Wajahnya memang cantik, namun senyum yang ia pamerkan terlihat jelas seperti mengejek daripada tulus. Kakinya menyilang dengan rapi dan rambutnya berkibar dengan indah di bawah terik matahari.
"Kau..., kau..."
Selir Reliza bahkan tidak bisa berkata-kata, ia terlalu marah sampai tidak mampu untuk mengeluarkan suara.
Yang bisa ia lihat dari senyum itu adalah kelicikan yang hakiki dan juga rasa tertekan yang begitu kuat.
"Bagiamana bisa bocah brengsek itu memiliki tekanan sekuat ini?" batin Selir Reliza yang bahkan tidak mampus menahan kakinya dari terjatuh. Rasanya mati, iya rasanya seperti berada diambang kematian.
Kakinya kaku seperti di hantam tembok es yang kuat, tidak hanya itu wajahnya pun membeku karena suhu dingin yang tiba-tiba saja merayap di sekujur tubuhnya.
"Anak sialan!" makinya dengan segala tenaga yang tersisa.