NovelToon NovelToon
Dont Tell My Lady

Dont Tell My Lady

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Pengawal
Popularitas:502
Nilai: 5
Nama Author: Renten

Cerita ini berputar di kehidupan sekitar Beatrice, seorang anggota keluarga kerajaan Kerajaan Alvion yang terlindung, yang telah diisolasi dari dunia luar sejak lahir. Sepanjang hidupnya yang terasing, ia tinggal di sebuah mansion, dibesarkan oleh seorang maid, dan tumbuh besar hanya dengan dua pelayan kembar yang setia, tanpa mengetahui apa pun tentang dunia di luar kehidupannya yang tersembunyi. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Beatrice akan melangkah ke dunia publik sebagai murid baru di Akademi bergengsi Kerajaan — pengalaman yang akan memperkenalkannya pada dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renten, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

【Belle, the Saint's Scholar】 1

Aula utama akademi itu tersaji di hadapan Beatrice bak panggung dari sebuah mimpi.

Ruangannya mengingatkan pada gedung opera mewah, dengan balkon-balkon berlapis emas yang melengkung anggun di sepanjang dinding, serta mezzanine luas yang dihiasi pagar kayu mengilap.

Di langit-langit, sebuah lampu gantung raksasa bergantung diam, kristal-kristalnya membiaskan cahaya hangat dari energi batu biru yang menerangi setiap sudut ornamen di aula itu.

Udara dipenuhi kesan antisipasi samar, bercampur dengan gumaman pelan para siswa yang mulai menempati kursi mereka sesuai penempatan masing-masing.

Beatrice duduk sendirian, tenang di kursinya, tepat di bagian paling belakang area yang disediakan untuk kelasnya.

Kursi itu, berlapis beludru gelap dengan pegangan lengan dari kayu mahoni berukir, cukup mewah untuk membuat rakyat biasa—atau bahkan bangsawan tingkat rendah—merasa canggung.

Namun, Beatrice duduk dengan anggun, punggungnya tegak, kedua tangan terlipat di pangkuan.

Mata hijaunya, yang bercahaya keemasan dalam cahaya sekitar, terpejam sesaat untuk menyerap suasana.

Meski tampaknya tenang, kesendiriannya begitu mencolok di tengah keramaian aula.

Deretan kursi di sekitarnya, diatur berkelompok tiga dan dipisahkan gang sempit, semakin menegaskan jarak di antara dia dan rekan sekelasnya.

Di sisi kiri dan kanan, kursi-kursi yang berdekatan dengannya terlihat dibiarkan kosong, seakan ada penghalang tak kasatmata yang memisahkan dia dari yang lain.

Siswa-siswa terdekat duduk jauh di depan, membelakanginya.

Meski ia bisa saja melangkah maju beberapa kursi untuk mengikis jarak, pikiran itu saja sudah membuat perutnya mulas.

Ia berpegang erat pada kursi seolah itu tempat perlindungan, beban dari masa tumbuh besarnya yang terkurung membuatnya gentar.

"Bagaimana caranya aku mulai bicara dengan mereka?" pikirnya, bibirnya terkatup rapat membentuk garis gugup.

Bayangan untuk memulai percakapan terasa mustahil—seperti tembok menjulang yang dibangun dari tahun-tahun kesunyian dan keterpencilan.

Sebagai gantinya, ia membiarkan pandangannya menyapu ruangan, mengagumi kemewahan yang mengelilinginya.

Tiba-tiba, suara ketukan bergema di seluruh aula, menarik perhatian Beatrice ke panggung.

Seorang wanita, mengenakan jubah formal akademi, merapatkan mikrofon di tengah panggung.

Begitu ia berbicara, cahaya biru tipis menjalar keluar dari lokasi mikrofon berdiri, membentuk garis-garis energi yang memudar di bawah deretan kursi.

Bisik bisik para siswa berangsur mereda ketika suara si pembawa acara terdengar jernih dan terarah, keluar dari kotak-kotak kecil nyaris tak terlihat di bawah setiap kursi.

Suaranya begitu jelas, seakan ia berbicara tepat di samping Beatrice.

"Selamat datang, para siswa baru," mulai si pembawa acara, nadanya tegas dan berwibawa.

"Kami merasa terhormat memulai tahun ajaran ini dengan arahan dari Ketua Dewan Siswa kita yang terhormat, yang akan memberikan pidato pembuka.

Mohon sambut Lady Dorothea Alexandra Evangeline Caerwysg."

Ruangan bergetar saat nama itu menggema, disebarkan dengan akustik yang sempurna.

Gemerisik kekaguman dan rasa penasaran pun terdengar di antara barisan kursi.

Kedua tangan Beatrice mengencang sedikit di pangkuannya, mata hijaunya terangkat ke arah panggung.

Ia sudah tahu siapa yang akan muncul.

Dorothea melangkah keluar dari balik bayangan di sisi panggung, sosoknya menarik perhatian sejak kemunculan pertama.

Rambut pirang keemasannya, ditata longgar dengan ikal yang membingkai wajah, berkilauan bagaikan cahaya mentari yang meleleh di bawah sorotan lampu panggung.

Bros batu rubi yang tersemat di seragamnya memantulkan cahaya, simbol status dan garis keturunannya yang terhormat, 3 bunga mawar, 2 merah mengapit 1 bunga mawar putih di tengah.

Mata birunya, tajam dan mantap, menyapu para siswa dengan ekspresi dingin yang sulit dibaca.

Langkahnya tenang, setiap pijakan seperti ditimbang, seolah ia sedang melintasi lantai istana kerajaan.

Bagi sebagian besar para siswa, Dorothea tampil tak tersentuh—wujud keanggunan dan otoritas.

Namun bagi Beatrice, dia adalah sosok lain.

Sepupunya.

Seorang gadis yang dulu pernah ia kenal periang, kikuk, dan mudah menangis (meski selalu berusaha menyembunyikan air matanya).

Kini, gadis di atas panggung tampak jauh berbeda dari Dorothea yang pernah diingatnya.

Dorothea memulai pidatonya, suaranya tenang dan tegas, mengisi aula dengan wibawa yang tak terbantahkan.

Ia berbicara tentang tanggung jawab, tradisi, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh akademi, nada bicaranya dingin namun tegas.

Di barisan tepat di depan Beatrice, beberapa siswa berbisik di antara mereka, cukup pelan tapi terdengar.

"Menyeramkan," gumam salah satu.

"Sombong sekali," timpal yang lain, suaranya sarat rasa tidak suka.

Dahi Beatrice berkerut tipis, dorongan untuk membela sepupunya muncul.

Mereka tidak mengenalnya. Mereka tak tahu apa-apa tentang dirinya.

Meski demikian, saat ia terus mengamati, ia pun tak bisa memungkiri betapa berbeda Dorothea sekarang.

Setiap gerak-geriknya terukur, tatapannya penuh perhitungan.

Beatrice belum pernah bertemu Dorothea selama lebih dari setahun—sejak pertemuan keluarga terakhir—dan jarak di antara mereka, baik fisik maupun emosional, terasa semakin lebar.

Kemudian, di tengah pidatonya, Dorothea mengalihkan pandangan.

Sesaat, matanya bergerak ke barisan belakang.

Sangat halus, nyaris tak kentara, tapi Beatrice menangkapnya.

Napasnya tertahan saat tatapan mereka bertemu—atau begitulah yang ia rasakan.

Di barisan depan, seorang gadis menepuk lengan temannya, salah mengira pandangan itu.

"Dia melihat kita, ya?" bisiknya, setengah gugup setengah bersemangat.

"Mustahil," balas temannya dengan nada meremehkan.

"Dia cuma meneliti ruangan."

Beatrice, tak menyadari obrolan itu, merasakan senyum tipis hangat terbit di bibirnya.

Meski hanya sejenak, itu sudah cukup untuk menenangkannya.

Mungkin dia belum melupakanku, pikirnya.

Dorothea, dengan ekspresi yang tetap dingin, kembali fokus pada pidatonya.

Apa pun yang sempat terjadi di antara dia dan Beatrice, berlangsung singkat, meninggalkan Beatrice dalam keraguan apakah itu sungguh nyata—atau hanya sekadar bayangannya.

Saat suara Dorothea terus mengisi aula, Beatrice mulai kehilangan konsentrasi, pikirannya kembali pada tekadnya sebelumnya.

Aku harus mendapatkan teman hari ini.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!