Di tengah dunia yang hancur akibat wabah zombie, Dokter Linlin, seorang ahli bedah dan ilmuwan medis, berjuang mati-matian untuk bertahan hidup. Laboratorium tempatnya bekerja berubah menjadi neraka, dikepung oleh gerombolan mayat hidup haus darah.
Saat ia melawan Raja Zombie, ia tak sengaja tergigit oleh nya, hingga tubuhnya diliputi oleh cahaya dan seketika silau membuat matanya terpejam.
Saat kesadarannya pulih, Linlin terkejut mendapati dirinya berada di pegunungan yang asing, masih mengenakan pakaian tempurnya yang ternoda darah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Racun Bayangan Hitam
Linlin mengamati luka itu dengan seksama. Ia menyentuh bagian kulit di sekitar luka dengan lembut, merasakan sedikit denyutan dari racun yang masih bersarang di dalamnya. Matanya menyipit tajam. Warna kehitaman yang samar di sekitar luka membuatnya yakin akan sesuatu.
"Kau terkena Racun Bayangan Hitam. Racun ini bekerja lambat dan melemahkan tubuh sedikit demi sedikit. Jika tidak diobati dengan benar, racun ini bisa menyebabkan kelumpuhan dan akhirnya kematian dalam beberapa tahun." ucap Linlin serius.
Mata Yi Hang sedikit melebar. Ia mengingat bagaimana para tabib terbaik di kekaisaran tidak bisa memastikan nama racunnya. Mereka hanya tahu bahwa itu adalah racun pemberontak, racun yang digunakan oleh orang-orang yang ingin menggulingkan kekaisaran.
Dalam hati, Yi Hang merasa terkejut. "Bagaimana mungkin Linlin ini bisa mengetahui nama racun ini hanya dengan melihat dan menyentuhnya?"
"Racun ini digunakan oleh kelompok pemberontak yang mencoba membunuhku dua tahun lalu. Selama ini, tabib-tabib terbaik yang dikirim oleh pengawalku hanya bisa memberikan ramuan untuk meringankan rasa sakitnya, tetapi tidak bisa menyembuhkan racunnya." lanjutnya.
Namun, hingga sekarang, Yi Hang masih bisa beraktivitas dengan normal. Linlin mulai curiga.
"Anehnya... kenapa kau masih bisa bertahan dengan racun ini?"
Yi Hang terdiam sejenak, sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Mungkin karena aku orang yang kuat?"
Linlin menatapnya tajam. "Jangan bercanda. Racun ini seharusnya sudah membuat tubuhmu melemah, tapi kau masih bisa berburu, mengangkat kayu bakar, memasak dan banyak lainnya. Kau pasti menggunakan sesuatu untuk menahan efeknya, bukan?"
Yi Hang menatap Linlin dengan hati-hati. "Aku pernah bertemu seorang tabib di perjalanan sebelum bertemu Kakek Dong. Dia memberiku ramuan yang bisa mengurangi rasa sakit dan memperlambat efek racun ini. Tapi itu bukan penawar, hanya ramuan sementara."
Linlin menatapnya curiga. "Siapa tabib itu?"
Yi Hang mengangkat bahu. "Orang asing yang kebetulan lewat. Dia tidak mengatakan namanya."
Linlin mendengus pelan dan menyilangkan tangan tak percaya dengan ucapan Yi Hang, "Baiklah, terserah kau. Tapi kalau kau ingin hidup lebih lama, kau harus mendapatkan penawar yang benar. Ramuan sementara tidak akan bisa menahannya selamanya."
Yi Hang tersenyum kecil. "Jadi kau bisa membuat penawarnya?"
Linlin menghela napas. "Aku perlu beberapa bahan langka. Aku tidak tahu apakah bisa menemukannya di desa ini."
Yi Hang menatapnya dalam diam, lalu berkata, "Kalau begitu, kita harus mencarinya. Kau akan membantumu."
Linlin mengerutkan kening dan bertanya dalam hati, "Sistem, kenapa kau tidak memberitahuku sejak awal kalau Yi Hang terkena racun?"
[Pemilik, apakah Anda lupa? Saya tidak bisa mendeteksi pria ini. Saya hanya bisa menganalisis kondisi tubuh manusia biasa di dunia ini. Kecuali dia.]
Linlin mengerutkan kening. "Oh, benar juga..." gumamnya dalam hati.
Ia kembali menatap Yi Hang yang kini sibuk mengenakan kembali pakaiannya, seolah kejadian barusan tidak terlalu penting baginya.
"Kenapa? Kau terlihat berpikir keras," ujarnya santai.
Linlin tersenyum samar. "Aku hanya bertanya-tanya… siapa sebenarnya kau?"
Yi Hang sedikit terkejut, tapi segera menyembunyikan ekspresinya.
Ia tertawa kecil. "Aku? Aku sekarang hanya seorang pria biasa yang tinggal di gunung."
Linlin mencibir dalam hati. "Bohong sekali!"
"Baiklah, pria biasa. Untuk sekarang, kau harus memastikan racun itu tidak semakin parah. Aku akan mencari cara untuk mencari dan membuat penawarnya."
Yi Hang menatap Linlin dalam diam sebelum akhirnya mengangguk. "Aku percaya padamu."
Yi Hang menatap langit sore yang mulai memerah. "Ini masih belum malam. Apakah kau ingin jalan-jalan?" tanyanya pada Linlin.
Linlin mengangguk ringan. "Ya, aku ingin melihat-lihat desa ini lebih jauh."
Tanpa banyak bicara, mereka berjalan berdampingan menyusuri jalan tanah yang mulai dipadati warga desa yang kembali dari ladang. Aroma jerami dan tanah lembap memenuhi udara, menambah suasana khas pedesaan.
Sepanjang perjalanan, beberapa warga menyapa mereka dengan ramah.
"Yi Hang kau mau kemana?"
"Jalan sore paman, Linlin ingin melihat desa kita." jawab Yi Hang.
Pria tua itu mengangguk, lalu melirik Linlin. “Dan ini tabib ajaib kita? Gadis ini benar-benar luar biasa, menyelamatkan banyak orang hanya dalam beberapa hari.”
Linlin tersenyum ramah. “Aku hanya melakukan yang bisa kulakukan, Paman.”
Mereka melanjutkan perjalanan, menikmati udara sore yang segar hingga tiba di sebuah sungai kecil. Sungai ini lebih mirip selokan lebar dengan air jernih yang mengalir tenang. Banyak anak-anak bermain di tepinya, tertawa riang saat mencoba menangkap ikan dengan tangan kosong.
Seorang anak perempuan kecil tiba-tiba berseru, menunjuk ke arah Linlin. “Itu Kakak Tabib!”
Sekejap saja, anak-anak lain langsung mengerubungi mereka dengan mata berbinar.
“Kakak Tabib, apakah kau punya ramuan ajaib agar kami bisa menangkap ikan lebih mudah?” tanya seorang bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun.
Linlin tertawa kecil. “Tidak ada ramuan ajaib, tapi aku punya cara yang lebih baik. Mau mencobanya?”
Anak-anak itu mengangguk penuh semangat. Yi Hang, yang berdiri di samping Linlin, hanya mengamati dengan senyum samar.
Linlin berjongkok di tepi sungai, memperhatikan ikan-ikan gemuk yang berenang santai di dalam air. “Sumber makanan yang melimpah, tapi kenapa warga desa tidak banyak menangkapnya?” tanyanya pada Yi Hang.
Yi Hang menghela napas. “Dulu, ada seseorang yang menangkap ikan dalam jumlah besar, tapi caranya merusak lingkungan sekitar sungai. Kepala desa akhirnya melarang penangkapan ikan secara berlebihan. Sekarang, hanya anak-anak yang dibiarkan bermain di sini dan menangkap ikan kecil.”
Linlin mengangguk paham. “Berarti harus ada cara yang lebih baik agar warga tetap bisa mendapatkan manfaat dari ikan-ikan ini tanpa merusak ekosistemnya.”
Ia berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Ada cara sederhana untuk menangkap ikan tanpa merusak lingkungan.”
Anak-anak dan Yi Hang menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Bagaimana caranya, Kakak Tabib?” tanya seorang bocah laki-laki.
Linlin mengambil ranting kecil dan menggambar di tanah. “Kita bisa membuat perangkap ikan dari bambu. Bentuknya seperti kerucut dengan lubang kecil di ujungnya. Ikan bisa masuk, tapi tidak bisa keluar. Lalu, kita letakkan umpan di dalamnya dan biarkan semalaman.”
Yi Hang mengangguk. “Jadi ini semacam jebakan alami?”
“Benar,” Linlin mengiyakan. “Dengan cara ini, hanya ikan yang cukup besar yang terperangkap, sementara ikan kecil bisa tetap hidup dan berkembang biak.”
Anak-anak bersorak senang. “Wah! Itu ide yang hebat, kakak tabib! Tapi… bagaimana cara membuatnya?”
Linlin menoleh pada Yi Hang. “Apakah ada bambu di sekitar desa?”
Yi Hang berpikir sejenak. “Ada, tapi kita harus ke hutan kecil di pinggir desa untuk mengambilnya.”
Linlin tersenyum. “Bagus! Kalau begitu, besok kita bisa mengajak kepala desa dan beberapa orang dewasa untuk membantu.”
Anak-anak bersorak gembira. Yi Hang menatap Linlin dengan kagum. “Kau benar-benar punya banyak cara cerdas.”
Linlin terkekeh. “Di tempat asalku, metode ini sering digunakan. Aku hanya menerapkannya di sini.”
"Beruntung aku masih ingat metode ini dulu sebelum kiamat zombie. Eh kenapa sekarang aku mulai mengingat satu persatu kejadian sebelum kiamat zombie itu ya? Padahal ketika aku sampai disini, aku bahkan lupa jika pernah hidup di zaman serba modern." ucap nya dalam hati. Ia bertekad akan bertanya kepada sistemnya nanti.
Setelah puas bermain dengan anak-anak, Linlin dan Yi Hang melanjutkan perjalanan menyusuri desa. Sore semakin larut, dan hawa dingin mulai terasa.
Yi Hang menatap langit yang mulai gelap. “Ayo kita kembali.”
Linlin mengangguk. Mereka berjalan santai kembali ke rumah.