Jelita Pramono seorang gadis periang, namun jangan sampai kalian mengusik nya, apalagi keluarga maupun orang yang ia sayang disekitarnya. Karena jika kamu melakukannya, habislah hidupmu.
Hingga suatu hari, ia sedang pergi bersama kakak nya, tapi di dalam perjalanan, mobil mereka tertabrak mobil lain dari arah belakang. Sehingga, Jelita yang berada di mobil penumpang mengeluarkan darah segar di dahi nya dan tak sadarkan diri.
Namun, ia terbangun bukan di tubuh nya, tapi seorang gadis bernama Jelita Yunanda, yang tak lain merupakan nama gadis di sebuah novel yang ia baca terakhir kali.
Bukan sebagai pemeran utama atau si antagonis, melainkan figuran atau teman antagonis yang sikapnya dingin dan jarang bicara sekaligus jarang tersenyum.
Mengapa Jelita tiba-tiba masuk kedalam novel menjadi seorang figuran? Apa yang akan terjadi dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jordi Sadar
Di Ruangan rawat inap, Jordi sedang terbaring dengan perban melilit kepalanya dengan infus di tangannya. Di sebelah ranjang, Papa Febri duduk tenang namun jelas menahan rasa khawatir. Tangannya menggenggam tangan anak lelakinya.
Mama Shireen berdiri di sisi lain ranjang. Matanya sembab, masih terlihat jelas bekas tangis sejak mereka menerima kabar kecelakaan kedua anak nya.
"Sayang." suara Mama Shireen pelan, memecah keheningan. "Aku mau lihat Jelita dulu, ya."
Papa Febri menoleh, mengangguk pelan.
"Iya, kamu hati-hati. Aku tungguin Jordi disini. Jangan lupa ponsel mu di bawa, jika Jordi sudah sadar, aku hubungi kamu nanti."
"Ponsel sudah aku bawa. Aku titip Jordi, mau ke Jelita dulu, kasian dia sendirian. Rasanya hati ini belum tenang sebelum tahu dia sadar."
Mama Shireen menyentuh tangan Jordi sekali lagi, kemudian beranjak meninggalkan ruangan itu.
Papa Febri memandang kepergian istrinya dengan sorot mata berat. Ia lalu menoleh ke Jordi yang masih belum sepenuhnya sadar.
"Bertahanlah, Nak, adikmu juga sedang berjuang. Kalian harus tetap bersama sehat dan bersama kami."
Bunyi mesin monitor berdetak pelan. Di ranjang putih berselimut selang infus dan alat bantu pernapasan, Jelita terbaring tanpa suara. Wajahnya pucat, ada perban di bagian kening dan bekas luka goresan di pelipis. Rambut panjangnya dirapikan seadanya oleh perawat, namun tetap terlihat berantakan akibat kecelakaan.
Mama Shireen berdiri di sisi tempat tidur. Matanya menatap lekat wajah anak perempuannya. Jemarinya yang gemetar perlahan menyentuh tangan Jelita yang terkulai diam.
“Sayang, Mama di sini,” bisiknya lirih, suara tercekat.
Ia menghela napas berat. "Kenapa kamu juga belum sadar, sayang?" tanyanya pada dirinya sendiri, seakan berharap Jelita menjawab.
Tak lama, seorang dokter masuk ke dalam ruangan. Pria muda itu memakai jas putih dengan name tag bertuliskan dr. Andika.
"Mama pasien, ya?" tanya dokter Andika dengan suara lembut namun tegas.
Mama Shireen mengangguk. "Iya, Dok. Saya mamanya. Bagaimana keadaan anak saya? Kenapa dia belum juga sadar?"
Dokter Andika melihat ke arah monitor sejenak sebelum menjawab, "Kondisi pasien cukup serius. Ada benturan keras di bagian kepala, menyebabkan cedera otak ringan. Kami sedang pantau terus aktivitas otaknya. Saat ini pasien dalam kondisi koma ringan. Tapi fungsi vitalnya stabil, itu kabar baiknya."
“Koma?” suara Mama Shireen bergetar. “Tapi, kapan anak saya bisa bangun, Dok?”
“Untuk itu, kami belum bisa memastikan. Setiap pasien berbeda, Bu. Ada yang hanya beberapa hari, ada yang butuh waktu lebih lama. Kami akan lakukan CT Scan ulang besok pagi untuk melihat perkembangannya.”
Mama Shireen mengangguk perlahan, menyeka air matanya dengan tisu. Ia kembali duduk di samping ranjang Jelita, menggenggam tangan putrinya erat-erat.
“Mama tunggu kamu, ya, cepat bangun, sayang. Kak Jordi juga nungguin kamu.”
Dokter Andika pun pamit dari ruangan itu meninggalkan Mama Shireen yang duduk di samping ranjang putrinya, matanya memerah, penuh kesedihan yang tak bisa disembunyikan.
Dengan hati yang berat, ia menggenggam tangan Jelita yang terkulai di atas selimut putih. Jemarinya yang lembut mengusap pelan kepala Jelita, merasakan perban yang menutupi luka di kepalanya, kemudian perlahan beralih ke pipi anaknya yang dingin.
“Sore itu, kamu dan kakakmu izin ke mall, sayang. Kenapa malah pulangnya ke rumah sakit?” Mama Shireen berbicara pelan, seolah-olah berharap Jelita bisa mendengarnya meski tak sadarkan diri.
"Kalau tahu akan jadi seperti ini, mama tak akan izinkan kalian berdua pergi."
Ada isakan di ujung kalimatnya, dan Mama Shireen kembali mengusap pipi Jelita dengan lembut. "Kenapa ini harus terjadi pada kalian?"
Suara Mama Shireen serak, menahan tangis yang semakin sulit dibendung. Ia mengatur napasnya, berusaha menenangkan diri, namun hatinya begitu berat.
Air mata Mama Shireen jatuh, mengalir di pipi, namun ia tak peduli. Ia tetap duduk di samping Jelita, berharap sekiranya ada keajaiban yang membangunkan putrinya.
“Mama sayang banget sama kamu, Lit. Jangan lama-lama tidur, ya. Bangunlah, mama ingin lihat senyummu lagi. Papa juga begitu. Saat ini papa mu sedang berada di ruangan kakak mu. Kakak mu juga masih belum sadar.”
Tangan Mama Shireen terus menggenggam tangan Jelita, merasakan sedikit kehangatan dari sentuhan itu. Tak lama mata mama Shireen terlihat sangat lelah hingga ia menutup matanya dan tertidur.
Pagi itu, suasana di ruang ICU sunyi dan tenang, hanya suara mesin yang berirama lembut. Mama Shireen yang tertidur di samping ranjang Jelita terbangun oleh deringan ponselnya. Ia membuka matanya perlahan, dan setelah beberapa detik, ia sadar bahwa dirinya sudah tertidur semalam di samping Jelita.
Dengan pandangan yang masih sedikit kabur, Mama Shireen meraih ponselnya. Layar menunjukkan panggilan masuk dari suaminya, Papa Febri. Tanpa ragu, ia segera mengangkat telepon tersebut.
“Halo, Pa?” suara Mama Shireen terdengar pelan, terengah-engah karena baru terbangun.
"Sayang, Jordi sudah sadar," terdengar suara Papa Febri dari seberang sana, dengan nada yang penuh kegembiraan, meskipun disertai kekhawatiran.
Telinga Mama Shireen langsung terasa panas, dan ada rasa lega yang mengalir begitu mendengar kabar itu.
“Terima kasih Tuhan,” gumamnya dalam hati, seolah menahan tangis.
"Mama akan ke sana sekarang," jawab Mama Shireen, suara tergetar.
Tanpa membuang waktu, ia berdiri dan menatap putrinya yang masih terbaring tak sadarkan diri. "Mama pergi sebentar, sayang. Mama akan kembali nanti bersama Papa dan Kakak mu."
Mama Shireen mencium punggung tangan lalu ke pucuk kepalanya Jelita dengan lembut, berusaha menguatkan diri meski hatinya masih berat. Setelah itu, ia buru-buru meninggalkan ruang ICU, berjalan cepat menuju ruang perawatan Jordi.
Mama Shireen telah sampai di pintu ruangan Jordi. Begitu pintu terbuka, Mama Shireen masuk, mata Jordi yang baru saja terbuka langsung menangkap sosok ibunya. Ia mencoba duduk, meski tubuhnya masih lemas dan kepala terasa berat.
"Mama." lirihnya. Wajahnya cemas, napasnya belum teratur. "Bagaimana keadaan Jelita, Ma?"
Mama Shireen menghampiri ranjangnya dan duduk di sisi Jordi. Senyum dipaksakan di wajahnya, tapi air matanya tak bisa disembunyikan. Ia menggeleng pelan. "Belum sadar, sayang. Dokter masih memantau kondisinya."
Jordi menunduk. Tubuhnya bergetar pelan, jemarinya mengepal di atas selimut.
"Itu semua salah aku, Ma. Kalau saja aku tidak mengajak Jelita pergi, ini semua tak akan terjadi." Suaranya pecah di ujung kalimat.
Dengan cepat, Mama Shireen meraih tangannya. "Jangan bilang begitu, Nak. Ini bukan salahmu. Ini kecelakaan. Kalian nggak tahu itu akan terjadi."
Papa Febri yang duduk di kursi dekat jendela turut mendekat, suaranya tenang namun tegas, "Ayah sudah bicara dengan polisi tadi pagi. Mereka sudah menyelidiki penyebab kecelakaan kalian."
Papa Febri sambil duduk di pinggir ranjang. "Mobil yang menabrak mobil kalian Rem nya nge blong, jadi pengemudinya tidak bisa menghindar. Ini benar-benar kecelakaan yang tidak bisa diprediksi."
Air mata menetes di pipi Jordi. Rasa bersalahnya tetap ada, namun sedikit demi sedikit ia mencoba mencerna kenyataan.
"Tapi, kalau aku lebih hati-hati, mungkin kita nggak akan ada di jalan itu, Ma... Pa..."
Mama Shireen mengusap kepala anak laki-lakinya itu dengan lembut. “Sudah, sayang. Yang penting sekarang kamu selamat, dan kita doakan adikmu segera sadar. Mama tahu kamu pasti sangat khawatir. Kita semua juga.”
“Jangan siksa diri kamu sendiri, Jo,” tambah Papa Febri. “Tugas kita sekarang adalah mendampingi Jelita pulih. Dia butuh kamu. Kuat, ya.”
Jordi mengangguk pelan, meski air matanya masih mengalir. Ia menatap langit-langit ruangan, berbisik dalam hati, "Jelita… bertahanlah. Kakak masih ingin mendengar kamu cerewet seperti biasa. Jangan tinggalin aku, ya."
Tinggalkan jejak kalian dong.
gak rela rasanya harus terpisah sama kak jordi nya 🥺