Naila hanya ingin kuliah dan menggapai cita-cita sebagai jaksa.
Namun hidup menuntunnya ke rumah seorang duda beranak dua, Dokter Martin, yang dingin dan penuh luka. Di balik tembok rumah mewah itu, Naila bukan hanya harus merawat dua anak kecil yang kehilangan ibu, tapi juga melindungi dirinya dari pandangan sinis keluarga Martin, fitnah, dan masa lalu yang belum selesai.
Ketika cinta hadir diam-diam dan seorang anak memanggilnya “Mama,” Naila harus memilih: menyelamatkan beasiswanya, atau menyelamatkan keluarga kecil yang diam-diam sudah ia cintai.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Kewajiban Istri
Di dalam apartment Marvel, di mana menjadi tempat persembunyian Meisya selama ini, tampak dua wanita dewasa duduk di balkon menikmati angin malam, Vini dan Meisya terlihat serius membicarakan sesuatu.
Marvel belum pulang dari pekerjaannya, memberi mereka kebebasan untuk berbicara sejujurnya.
"Sial, gue gagal Mei. Mana dia ngancem ngaduin ke papa lagi. Mau ditaruh di mana muka gue kalau papa dan mama tahu masalah ini? Ah, sial? Ini gara-gara gue dengerin nasihat lu nih. Malu banget gue!" gerutu Vini yang emosi setelah kegagalannya tadi.
"Yeee, mana gue tahu bakalan gagal kayak gitu? Tapi, emang tak bisa dipungkiri, imannya kuat sejak dulu." sahut, Meisya sambil nyengir kecil.
"Dari pada pusing, lu sama Bang Marvel aja?" seloroh Meisya menggoda Vini.
"Ah, ogah! Dia terlalu ngaco bila disandingin sama gue," cibir Vini.
Meisya menyesap minuman ringan yang ada di depannya, lalu menyandarkan punggung ke kursi santai.
"Apa sih yang dicari Kak Martin dari si miskin itu ya? Cantik kagak, kampungan iya. Padahal, di antara saudara gue yang lain, dia yang paling logis. Sekarang? Bisa-bisanya milih Naila? Harusnya, anak-anaknya yang dideketin terlebih dahulu? Lu tuh salah strategi," sindir Meisya.
Vini melempar bantal sofa yang ada di belakangnya. "Sia lan! Udah mancing gue begini, bukannya bantuin cari solusi, malah ngetawain gue? Bantuin dong! Kita bikin dia han cur pelan-pelan!"
Meisya mengangguk pelan. “Dia kuliah pakai beasiswa, kan? Gimana kalau kita permalukan dia? Biar beasiswanya dicabut. Enak banget dia, udah jadi istri kakak gue dengan limangan harta, masih dapat beasiswa juga. Maruk banget!”
"Wah, ide bagus tuh. Gue mau aduin ke papa juga!"
"Aduin apa itu?" Tiba-tiba suara pria terdengar..
“Kalau ada rencana seru, ajak-ajaklah,” ucapnya santai sambil melepas jas dan kemeja kerjanya.
Vini hanya tersenyum simpul melihat kelakuan Marvel yang sulit ditebak.
...****************...
Sementara itu di kamar atas,
Martin melepas Naila, mendekatkan wajahnya pada sang istri. “Aku tadi minum kopi pemberian Meisya. Entah kenapa… tubuhku panas. Dadaku sesak. Pikiranku penuh bayangan kamu.”
Naila menelan ludah. Martin terlihat sangat berkeringat. Ujung rambutnya basah, dan matanya seolah ingin mengatakan lebih dari itu.
“Duduklah,” katanya.
Naila menurut, duduk di sofa kecil dekat ranjang. Martin berjalan perlahan, lalu berlutut di hadapannya. Jarak mereka hanya beberapa senti. Naila bisa merasakan ketegangan yang menguar dari pria itu.
“Aku gak tahu apa yang ia campurkan ke dalam kopi itu,” ucap Martin pelan. “Tapi… aku sedang menahan sesuatu yang berat. Dan cuma kamu yang bisa membantuku."
Naila terdiam. Pipinya mulai memanas karena ia mengerti apa yang dimaksud oleh lelaki ini. Matanya menghindari tatapan Martin, dan tangannya gemetar.
Martin menarik ujung dagu Naila, membuat wajahnya terangkat hingga dua pasang metra menyatu. Tatapannya begitu dalam dan penuh arti.
“Kamu cantik sekali malam ini. Bahkan tanpa dandan pun, kamu tetap… menggoda.”
“Mas…” suara Naila bergetar. Ini bukan lah Mas Martin yang ia kenal.
Martin menarik napas panjang, merasakan ketakutan Naila, ia melepaskan gadis itu dan bangkit dan berjalan ke arah jendela.
“Maaf. Aku… aku telah membuatmu takut. Tapi, malam ini aku benar-benar tersiksa. Tu buh ku… seperti terba kar. Yang aku ingat hanya kamu.”
Hening menyergap.
Naila berdiri pelan, mendekatinya. "Udah sholat isya, Mas?" Martin hanya menjawab dengan anggukan.
“Kalau gitu, Mas istirahat aja. Aku akan menyiapkan air mandi dan pakaian ganti," ucapnya berusaha sebiasa mungkin. Padahal, benar, ia takut dan gugup.
Martin berbalik, menatapnya dalam. Tangan kirinya terulur, menarik pelan tangan Naila ke dadanya. Detak jantungnya begitu cepat, kuat, dan terasa pa nas.
“Jika aku bilang… aku butuh pelukan, apa kamu mau memberikannya?” tanyanya nyaris berbisik.
Naila terdiam. Perlahan, ia mengangguk. Martin menariknya ke dalam pelukannya. Erat. Hangat. Nafasnya membu ru hingga ke le her, membuat gadis itu meme jamkan mata, membuat jantungnya berdegup tak karuan.
Namun beberapa detik kemudian, Pelukan itu mengendur.
“Kalau kamu tetap di sini, aku takut kehilangan kendali.”
Ia menatap Naila lewat sorot yang tajam.
“Kamu harus pergi … sebelum aku melakukan hal yang bodoh.”
Naila menatapnya, gugup, jantungnya berdetak di tenggorokan. Ia mengangguk cepat, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu.
Sebelum keluar, Martin membelai ramhut terurai milik Naila. “Terima kasih… sudah datang," bisiknya, lirih.
Namun, ucapannya masih menggantung karena menahan has rat yang semakin meng gebu.
Pintu tertutup. Martin menunduk, mengepalkan tangan. Tubuhnya masih bergetar, tetapi berusaha untuk menahan dengan menjernihkan pikiran.
Naila melangkah keluar dari kamar itu dengan napas berat. Jantungnya masih berpacu. Namun, baru beberapa detik berjalan di lorong. Langkahnya terhenti. Ia teringat lagi pada buku yang dibaca tentang kewajiban istri.
"Memenuhi kebutuhan biologis suami." Ia melirik ke arah belakang dan memahami betul apa yang tadi diucapkan suaminya.
Matanya turun menatap lantai yang senyap. Di belakangnya, ada seseorang yang sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Suami yang ia nikahi dalam tangisan, kini menahan gelombang rasa tak sanggup ia gambarkan.
"Ini kewajibanku," lirih diikuti rasa takut. Namun, akhirnya ia memutar badan.
Tangannya meraih gagang pintu dengan gemetar dan membukanya kembali.
Martin menoleh. Matanya masih merah, dan tubuhnya tampak makin gelisah.
“Kamu... kenapa kembali?” suaranya serak tercekat.
Naila melangkah masuk perlahan, menutup pintu dengan senyum kaku.