Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Pelaksanaan Rencana
Hari itu Martin bekerja tanpa jeda. Ada beberapa Operasi Caesar telah dilaksanakan semenjak pagi ini, dua pasien kritis di siang hari, dan laporan administratif yang menumpuk hingga sore. Bahkan ia lupa makan. Lupa waktu. Lupa diri sendiri.
Di antara kesibukan itu, pintu ruangannya diketuk.
“Permisi…” Meisya muncul dengan wajah polos dan senyum tipis. “Aku bawain kopi dari kafe langgananmu.”
Martin hanya mengangguk. Lelah. “Taruh aja di meja.”
Meisya menaruh gelas kertas di atas meja kerja, lalu memandang Martin sejenak. “Kak, kamu kelihatan capek banget. Jangan terlalu diforsir. Nanti tua sebelum waktunya.”
Martin hanya tertawa tipis. “Aku memang sudah tua, Mei.”
Meisya tersenyum kecil, lalu pamit pulang. Tapi sebelum keluar ruangan, matanya menyipit menyirarkan sebuah rencana. “Semoga kopinya bisa bikin kamu... lebih rileks, Pak Dokter.”
Di Sisi Lain Kampus Naila
Azwa tak henti mengikuti Naila yang terus berjalan cepat menghindari pertanyaan-pertanyaan yang menggantung dalam pikirannya.
"Ayo lah, Nai. Ceritakan padaku. Sebenarnya apa yang terjadi di rumah itu?"
Naila ingin mengatakan bahwa dia hanya lah pengasuh, tapi tatapan kecewa Martin tergambar jelas dalam pikirannya. Sejenak, ia menghentikan langkah. "Tapi kamu mau berjanji, tidak akan mengatakan pada siapa pun?" bisiknya.
"Waduh, Nai? Gitu amat? Sepertinya ada sebuah rahasia antar galaxi yang tersembunyi di rumah sultan tempat kerjamu itu ya?"
Lalu, mereka memilih lokasi santai fakultas yang biasa menjadi tongkrongan para mahasiswa hukum. Di mana, klinik hukum memiliki fasilitas tersebut dan mereka membicarakannya dengan cara berbisik.
Mata Azwa terbelalak mendengar pengakuan Naila. "Omg ... ternyata bener kamuuu itu udah ni—" Tanpa sadar Azwa mengeluarkan suara yang cukup keras.
Dengan sigap Naila membekap mulut Azwa melotot agar sahabatnya ini berhenti.
"Maaf, maaf ... Soalnya ini bener-bener di luar nurul. Pengasuhku menjadi ibu sambung anakku," bisiknya terkekeh.
"Iya, saat itu sebagai jalan satu-satunya. Ya, mungkin udah takdirku seperti ini. Tapi sesuai janji, kamu harus merahasiakannya ya?" pinta Naila kembali.
Di Klinik Martin
Martin membuka tutup kopi yang telah dingin dan menghabiskannya sekaligus. Pahit. Tapi ada sedikit rasa aneh yang mengendap di tenggorokannya.
Setelah itu ia kembali tenggelam dalam dokumen penting pasien, dan perlahan tubuhnya mulai terasa aneh. Detak jantungnya meningkat. Nafasnya mulai tidak beraturan. Kemejanya terasa sesak, keringat dingin menetes di pelipis.
Ia berdiri dari kursi, melepas dasi yang terasa mencekik, berjalan ke arah jendela untuk mencari udara segar. Tapi di saat itu—Pintu terbuka.
“Selamat sore, Mas...”
Suara itu lembut, hampir seperti bisikan. Kali ini yang muncul adalah Vini. Ia melangkah masuk dengan gaun satin merah beludru, potongan rendah, membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rambut panjangnya digelung acak, dengan bibir berlapis merah menyala. Aroma parfumnya menusuk, tajam namun menggoda.
“Mas, aku merasa kurang sehat. Apa kamu bisa memeriksa keadaanku?"
Martin menoleh, matanya melebar. “Vini? Kamu—kenapa pakai baju seperti itu?”
Vini tersenyum, menghampiri perlahan. Langkahnya seolah menari di atas lantai. “Tadi aku habis dari pesta temanku... Tapi, entah kenapa kepalaku terasa pusing."
Martin mundur selangkah. Dadanya bergemuruh. Tubuhnya seolah tak lagi miliknya sendiri. Nafasnya pendek. Tangannya mengepal di samping pinggang, menahan gejolak yang mulai naik melihat Vini seperti ini.
“Sepertinya aku tak bisa memeriksamu,” katanya pelan namun tegas.
Vini pun mendekat. Tangannya menyentuh bahu Martin, lalu turun menyentuh dada—membuat Martin tersentak bagai ada yang meledak.
“Kenapa kamu tak mau memeriksaku, Mas? Atau ... sedang terjadi sesuatu padamu?”
Martin memejamkan mata. “Hentikan!”
Tapi tubuhnya berharap lain. Wajahnya merah. Nafasnya tersengal memburu bagai kehabisan udara. Ia mencoba mendorong Vini, tapi Vini justru merangkul lehernya manja.
“Kenapa kamu merahasiakan pernikahanmu dengan anak kampung itu? Bagaimana dengan dia? Apakah dia pernah memberimu kepuasan?" Vini mendekatkan wajah dan bi bir nya mencoba menyatu dengan bi bir Martin.
Brak!
Martin mendorong Vini dengan kekuatan tak tertahan, membuat gadis itu terhuyung jatuh ke sofa. "Sekarang aku mengerti, ini pasti perbuatanmu dengan Meisya?"
Matanya menyala. Marah. Malu. Jijik.
"Aku tak menyangka, putri kesayangan Pak Nugraha bisa melakukan hal seperti ini. Aku tak tahu bagaimana perasaannya saat mengetahui ini semua. Sekarang, kau keluar! Jangan pernah injak ruanganku lagi!”
Vini bangkit perlahan, terengah, matanya basah—entah karena marah atau malu. Tapi Martin sudah tak mau tahu. Ia ambil jas, kunci, dan pergi meninggalkan klinik dengan wajah membara.
Di Rumah Martin
Langit mulai gelap saat Martin tiba di rumah. Wajahnya masih merah. Ledakan dari dalam sungguh membuatnya tak tahan lagi.
"Naila." Hanya itu yang ada dalam pikirannya saat ini.
Di ruang tengah, Rindu dan Reivan tertidur di pelukan Naila yang duduk di sofa. Mereka kelelahan bermain seharian. Aroma tubuh Naila terasa menguar lembut—ia baru menyadarinya.
Martin berdiri di ambang pintu, terdiam. Dadanya sesak, ada yang mendesak.
Ia tak berani mendekat. Tapi Naila perlahan membuka mata, menatapnya lelah. “Udah pulang, Mas?”
Martin menelan ludah. Tak bisa menjawab. Ia hanya menatap perempuan yang kini jadi pusat ketenangan rumah itu beberapa waktu.
Tanpa mengatakan satu patah kata pun, Martin melangkahkan kaki ke kamarnya di lantai atas, setelah tak lagi ke sana.
...*...
Pukul 22.30
Di lantai bawah, tak ada lagi suara. Rindu dan Reivan telah berada di atas ranjang milik Martin dan mendiang Rianti.
Naila menghela napas pelan, menatap wajah damai anak-anak itu. Saat itulah ponselnya bergetar. Nama "Mas Majikan" muncul di layar.
“Apa aku boleh minta tolong,” suara Martin di seberang terdengar serak dan berat, seperti menahan sesuatu. “Aku tunggu di atas.”
Naila mengerutkan kening. “Ada apa, Mas? Kenapa tidak di sini saja?”
“Aku tak bisa,” suaranya terdengar lebih dalam. “Aku… menunggumu.”
Naila ragu. Tapi nada suara Martin tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang tidak biasa.
'Mungkin ada masalah pekerjaan, atau anak-anak,' pikirnya cepat.
"Lagian, ini bukan pertama kali aku ke atas?" gumamnya.
Sejenak, ia melirik seisi rumah yang telah sepi. Tak ada lagi yang beraktivitas dan telah berada di kamar masing-masing. Ia memilih tak mengenakan kerudung agar tidak terlalu repot.
Naila melangkah pelan, keluar dari kamar anak-anak, dan menapaki tangga satu per satu. Setiap langkah ada keraguan yang muncul. Entah kenapa kali ini ada rasa gugup, dan cemas.
Sesampainya di depan pintu kamar Martin, ia mengetuk pelan.
“Masuk,” suara itu terdengar dari dalam, berat dan rendah.
Naila membuka pintu. Ruangan sedikit gelap, hanya lampu meja yang menyala. Martin berdiri di dekat jendela, masih mengenakan kemeja putih, bagian atasnya terbuka hingga ke bawah, lengan tergulung hingga siku. Matanya merah, napasnya berat, seperti menahan gejolak.
“Ada apa, Mas? Mas lagi sakit?" tanyanya lembut menaruh punggung tangannya di kening Martin.
Martin menangkap tangan Naila, beberapa kali mengeluskan ke wajah sendiri dan mengecupnya.
Naila terperangah, bingung oleh kelakuan Martin. Memang beberapa waktu terakhir sang suami sudah banyak menunjukan bahasa tubuh secara nyata lewat sentuhan lembut. Tapi, kali ini sungguh tak biasa membuat bulu romanya berdiri.
“Maaf… tubuhku terasa aneh...”
“Aneh kenapa, Mas?”
***
Izin Promo lagi ya Kakak Readers
Dinding penghalang bukan lagi antara kasta dan tahta, akan tetapi antara sujud dan juga Atheis.
Min Yoon-gi Diandre, artis ternama yang tidak mengganut agama apapun. Tiba-tiba jatuh cinta kepada salah satu gadis muslim. Gadis yang mampu membuatnya jatuh cinta saat pertama kali bertemu.
Di saat semua orang tergila-gila, dan berhalusinasi menjadi pasangannya, gadis itu malah tidak meliriknya sama sekali.
Mampukah Yoon-gi mendekati gadis itu di saat dinding yang begitu tinggi telah menjadi jarak di antara mereka?