Menunggu selama empat tahun lebih tanpa kepastian, Anya bahkan menolak setiap pinangan yang datang hanya untuk menjaga hati seseorang yang belum tentu ditakdirkan untuknya. Ia tetap setia menunggu, hingga sebuah peristiwa membuat hidupnya dan seluruh impiannya hancur.
Sang lelaki yang ditunggu pun tak bisa memenuhi janji untuk melamarnya dikarenakan tak mendapat restu dari keluarga. Di tengah hidup yang semakin kacau dan gosip panas yang terus mengalir dari mulut para tetangga, Anya tetap masih berusaha bertahan hingga ia bisa tahu akan seperti apa akhir dari kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbongkarnya Rahasia Sasha
"Mbak Windi? Wah, enggak nyangka ketemu Mbak di sini, sendiri aja, Mbak?" tanya Liana dengan gaya khasnya yang selalu penuh semangat.
Ia sama sekali tidak terlihat terkejut seperti Rizki, sikap Rizki membuktikan bahwa ada sesuatu yang sedang dia sembunyikan dari Windi.
"Hei, aku sama Anya kok. Dia ada di kafe, aku mau beli sesuatu, kebetulan liat kalian, jadi aku sapa aja." Windi menatap lekat ke arah Rizki yang membuat cowok itu gugup.
Suasana canggung untuk sesaat, senyuman di bibir Windi tidak menghilang sama sekali, namun tatap tajam matanya malah terarah kepada wanita bercadar itu.
Rizki tidak mau ada kecurigaan di hati Windi, jadi dia segera memperkenalkan siapa wanita itu.
"Oh ya, Win. Kenalin, ini Syifa," ucap Rizki beberapa saat kemudian.
"Oh, Syifa." Windi manggut-manggut.
"Salam kenal, Mbak. Saya Syifa," ucap Syifa seraya mengulurkan tangannya hendak bersalaman dengan Windi.
Windi terima uluran tangan itu, tapi hatinya tetap saja penasaran.
"Kalian saudara?" tanya Windi.
"Mbak Syifa anak pimpinan pondok pesantren mas Rizki, Mbak," jawab Liana gamblang.
"Wow!" Windi mengangguk paham, sekarang ia mengerti kenapa selama hampir dua bulan Rizki menghilang dan mengabaikan pesan Anya begitu saja.
"Gue paham, kalau gitu gue pergi dulu! Semoga semuanya lancar!" Windi memutar badannya, ia hendak kembali menyeberangi jalan.
"Win, tunggu! Kamu jangan salah paham dulu!" seru Rizki mulai khawatir.
Syifa yang berdiri di sana jadi tidak enak, meski dia belum tahu sepenuhnya apa yang sedang terjadi. Namun, dia dapat menebak dengan pasti kalau semua ini ada hubungannya dengan perempuan yang diceritakan Rizki padanya, tadi saat mereka masih di rumah.
"Sorry, gue buru-buru!" Windi tidak menghiraukan lagi omongan cowok itu, dia buru-buru kembali ke kafe, tempat Anya menunggu dirinya.
"Gimana, Win? Kamu tahu siapa perempuan itu?"
"Apa benar dia calon istri Rizki?"
Begitu Windi kembali Anya langsung mencecarnya dengan berbagai macam pertanyaan.
Windi kembali duduk dengan menyenderkan punggungnya ke dinding kafe.
Rambutnya yang tadi terjuntai bebas, kini ia sanggul asal-asalan, tapi tetap terlihat menarik. "Dia anak dari pimpinan pesantren, Anya."
Hilang sudah harapan Anya selama ini, dari awal dia sudah menduga kalau hal ini bakalan terjadi.
"Berarti semuanya sudah selesai, enggak ada lagi yang perlu diharapkan, tapi kenapa dia tidak memberi aku kabar apa-apa?" ucap Anya dengan mata berkaca-kaca, ia terus memandangi mobil Rizki yang perlahan menjauh dari minimarket itu.
Windi mengerti bagaimana perasaan sahabatnya saat ini, ia mengusap lembut punggung sahabatnya berusaha memberi dia kekuatan agar tetap kuat.
"Gue bukan orang yang pintar ngehibur orang lain di saat seperti ini, tapi .... Ini belum berakhir, Nya. Kita juga belum tahu pasti, gue yakin setelah kejadian tadi Rizki pasti bakal ngehubungi lo," hibur Windi.
Anya meraih cangkir tehnya, meneguk habis sisa teh itu yang sudah dingin seperti hubungannya dengan Rizki.
"Salah ya kalau aku terlalu berharap, Win?"
Windi diam, dia bingung harus jawab apa. Karena pada dasarnya terlalu berharap pada manusia memang akan mendatangkan kekecewaan, tapi wajar kalau Anya berharap, sebelumnya Rizki juga sudah bilang kalau dia akan segera datang untuk melamarnya.
***
"Mas, aku sudah bilang sama umi dan abi kalau aku enggak akan terima perjodohan ini," ucap Syifa parau.
Rizki menaikkan volume ponselnya, supaya bisa mendengar suara Syifa lebih jelas lagi.
"Lalu abi sama umi bilang apa?" lanjut Rizki bertanya.
"Mereka enggak masalah kok, Mas. Nanti umi bakal datang lagi buat ngebahas permasalahan ini sama om dan tante. Jadi, kamu tenang aja, aku pastiin kamu bisa menikah dengan mbak Anya kok."
Di seberang sana terdengar jawaban yang begitu pasrah, Rizki tahu kalau Syifa sebenarnya juga setuju untuk menerima dirinya sebagai calon suami, tapi dia sadar kalau Rizki sudah punya seseorang yang ingin dijadikan sebagai tempat pelabuhan terakhir.
"Makasih, kamu udah mau bantuin aku. Aku doain semoga kamu menemukan lelaki yang lebih baik daripada aku," ucap Rizki dengan hati senang. Namun, di sana keadaan berbanding terbalik dengan dirinya. Setelah saling mengucap salam sebagai akhir dari obrolan panjang itu, Syifa malah menangis, beningan kristal jatuh bergulir membasahi cadarnya.
Di taman pondok, ia berkali-kali mengusap air matanya. Suasana sepi membuat ia jauh lebih tenang untuk mengekspresikan perasaannya saat ini. Dia sudah lama menyukai Rizki, semenjak pertama abi memperkenalkan Rizki padanya, ia sudah jatuh hati.
Setiap saat setelah menunaikan shalatnya, ia selalu berdoa, semoga Rizki menjadi imam dalam hidupnya.
Perasaan yang sudah lama disimpan dengan begitu dalam, ingin sekali dia mengungkapkannya secara langsung, dan hari ini? Hari ini semuanya kandas, perasaan itu kembali dia kubur kala mengetahui kalau Rizki sudah memiliki Anya, dan Anya adalah perempuan yang selama ini selalu ada dalam setiap untaian doa lelaki yang telah lama dicintainya dalam diam.
Tiga tahun sudah dia menyimpan perasaan itu, berharap rasa itu terbalas, tapi kenyataannya kecewa yang dia dapat.
"Asyik ya menyepi di sini," tegur sang bunda membuyarkan lamunannya.
"Eh, Umi kenapa ada di sini?" tanya Syifa, ia sedikit kaget dengan kedatangan umi Fatin.
"Umi cari kamu di kamar enggak ada, makanya umi ke sini. Emang enggak boleh ya kalau umi ke sini?" tanya umi Fatin, beliau membuat wajahnya terlihat cemberut.
Syifa duduk memutar kepalanya ke samping, tempat di mana umi Fatin duduk di sebelah kirinya.
"Umi, keluarga mas Rizki baik-baik semua ya, mereka penuh kehangatan," ucap Syifa memulai obrolan.
"Nah, ini yang bikin umi sama abi heran, kenapa kamu menolak Rizki? Padahal kamu juga kenal banget sama dia, kamu tahu bagaimana sifatnya selama tinggal di sini. Kamu aja suka sama mereka perlakuan mereka, padahal baru sekali ketemu," ucap umi Fatin.
Di balik cadarnya, ada senyum pahit yang terukir. Syifa punya alasan sendiri, dan dia tidak mungkin memberitahukan ini kepada umi dan abinya.
"Mi, ayo kita masuk! Udara di sini semakin dingin." Syifa beranjak dari bangku panjang itu dan meraih tangan uminya.
Umi Fatin ikut saja dengan kemauan anaknya, beliau tidak lagi menanyakan alasan sang anak menolak perjodohan itu.
***
Anya berjalan pelan di atas trotoar, dia masih belum mendapat kepastian dari Rizki.
Dia terus berjalan pulang menuju rumahnya, tadi Anya keluar sebentar untuk membeli sate kesukaannya, karena jarak tempat si abang yang jualan dan rumahnya tidak jauh, jadi dia pergi dengan berjalan kaki.
Saat hampir memasuki gang menuju rumah, ia tak sengaja melihat Sasha yang berjalan masuk ke dalam apotik BUNDA.
Timbul rasa penasaran di hati Anya, dia akhirnya memutuskan untuk mengintai adiknya.
Anya berdiri di luar menunggu Sasha keluar dari apotik.
Jarak mereka tidak terlalu jauh, Anya menarik tudung jaketnya supaya Sasha tidak mengenalinya.
Sasha terlihat memasukkan sebuah benda pipih ke dalam kantong plastik, itu adalah test pack.
"Sasha," ucap Anya di luar kesadarannya. Dia segera membekap mulutnya dengan kedua tangan, Anya begitu syok kala mengetahui apa yang selama ini ditakutkannya beneran terjadi.
"Untuk siapa benda itu kalau bukan untuk dirinya sendiri," batin Anya.
Sasha memutar pandangannya ke kiri dan kanan, berusaha memastikan keadaan aman.
Dia kembali membuka masker saat sudah memasuki gang rumahnya.
Anya terus mengikuti langkahnya dari belakang, dia ingin merebut benda itu dan memperlihatkannya pada ibu.
Sasha yang merasa diikuti seseorang, jadi semakin was-was, dengan agak ragu-ragu ia menoleh ke belakang, dan...
"Kak Anya?"
Begitu tahu siapa yang mengikutinya, dia berlari secepat mungkin.
"Sasha, tunggu! Jangan kabur kamu!" seru Anya, jadilah keduanya kejar-kejaran di tengah temaramnya lampu jalanan yang menuju ke kediaman mereka.
Sasha tidak menoleh lagi ke belakang, dia semakin mempercepat langkahnya, berlari sekencang mungkin.
Tiba di depan puskesmas yang tidak jauh dari rumah mereka, dia langsung membuang test pack tersebut.
Anya masih ketinggalan jauh di belakang, dia terlalu lelah hari ini hingga lari saja tidak bisa mendahului Sasha.
"Aku tidak akan membiarkan kak Anya mengadu pada ibu, aku harus secepatnya sampai di rumah," batin Sasha.
****
"Habis dari mana kamu, kok keringetan gitu? Kayak dikejar setan aja," celetuk bu Aila begitu putri kesayangannya pulang.
"Hufh!" Sasha menyeka keringat di keningnya seraya menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. "Capek jalan kaki, Bu," jawabnya berbohong.
"Beli apa kamu sampe pulang kelamaan?" tanya pak Faisal, matanya melirik ke arah kresek hitam yang ada di pangkuan Sasha.
"Cuma beli jajanan doang sama vitamin, Yah." Sasha menarik napas panjang.
Dia menunggu dengan harap-harap cemas, matanya tak luput memandang pintu masuk.
"Kenapa kak Anya lama sekali?" batinnya bertanya.
"Kok gelisah gitu, Sha? Kamu kenapa? Ada yang membuat kamu khawatir?" tanya ibunya penuh perhatian.
"Itu loh, Bu. Tadi aku ngelihat kak Anya di jalan, tapi kok sampe sekarang dia belum tiba sih?"
"Aku di sini!" seru Anya, dia berjalan dengan langkah cepat menuju tempat mereka duduk berkumpul.
Anya berdiri di depan ayah dan ibunya dengan napas memburu dan mata memerah, dia sudah menahan emosinya sejak tadi.
Setiap kali menemukan bukti tentang kesalahan besar yang telah adiknya lakukan, dia selalu saja gagal membuat kedua orangtuanya percaya, tapi kali ini dia harus bisa.
"Kamu kenapa? Kayak singa ketemu sama mangsa aja?" tanya bu Aila, beliau tidak mau kalau Anya cari ribut lagi dengan adiknya.
"Sha, coba katakan yang sejujurnya sama ayah dan ibu! Katakan apa yang aku lihat tadi di jalan!" teriak Anya di akhir ucapannya.
"Ngeliat apa, Kak? Kamu ini kenapa sih? Aku bingung deh sama kamu, kenapa tiap hari nyari ribut sama aku?" Sasha bangkit dari duduknya dan berdiri di depan Anya.
Melihat mereka berdua saat ini, rasanya perang antara saudara akan segera terjadi.
Sasha tidak takut akan apa yang dikatakan Anya nanti, karena benda tadi sudah lebih dulu dibuang di tengah jalan.
"Emang apa yang kamu lihat?" tanya pak Faisal.
"Ayah tanyakan aja sama dia, untuk apa dia beli test pack?"
Deg!
Bu Aila hampir jantungan dibuatnya, ucapan Anya sontak membuat kakinya lemah dan tak terkontrol, tubuh bu Aila nyaris limbung, beruntungnya pak Faisal dengan cepat memeluk tubuh istrinya.
"Anya!" sentak beliau, "kalau ngomong jangan sembarangan, kamu mau buat ibu dan ayahmu mati berdiri, hah!?"
"Pak, jangan ngomong keras-keras! Malu didengar tetangga," lirih bu Aila.
"Ibu, Ayah, tolong jangan percaya sama kata-kata dia. Sasha enggak beli benda kek gitu, kalau kalian enggak percaya lihat aja sendiri!" Sasha mengambil plastik tadi dan mengeluarkan semua isi di dalamnya.
Mereka melihatnya, memang tidak ada test pack di sana.
Bu Aila yang semula panik, kini mulai bisa bernapas lega.
"Lihat itu! Kamu lihat sendiri! Enggak ada apa-apa kan? Sasha cuma beli makanan ringan sama vitamin doang, kamu kenapa selalu curiga sama dia?"
Pak Faisal terus membentak-bentak Anya, namun Anya tetap tenang dan tidak ambil hati.
Dikeluarkannya test pack milik Sasha yang sengaja dibuang di tengah jalan tadi. "Memang enggak ada di sana, tapi di sini," ucap Anya, ia memperhatikan wajah Sasha yang mendadak tegang.