Satu demi satu kematian terjadi di sekolah.
Jika di waktu biasa, orang tua mereka akan langsung menuntut balas. Tapi bahkan sebelum mereka cukup berduka, perusahaan mereka telah hancur. Seluruh keluarga dipenjara.
Mantan anak yang di bully mengatakan, "Jelas ini adalah karma yang Tuhan berikan, atas perbuatan jahat yang mereka lakukan."
Siswa lainnya yang juga pelaku pembully ketakutan, khawatir mereka menjadi yang selanjutnya. Untuk pertama kalinya selama seratus tahun, sekolah elit Nusantara, terjadi keributan.
Ketua Dewan Kedisiplinan sekaligus putra pemilik yayasan, Evan Theon Rodiargo, diam-diam menyelidiki masalah ini.
Semua kebetulan mengarahkan pada siswi baru di sekolah mereka. Tapi, sebelum Evan menemukan bukti. Seseorang lebih dulu mengambil tindakan.
PERINGATAN MENGANDUNG ADEGAN KEKERASAN!!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cerryblosoom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 DEWAN KEDISIPLINAN
"Ikuti aku?" tanya Aria menatap Keira yang setia berdiri di sampingnya.
Keira mengangguk keras, "Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkanmu sendirian. Tidak masalah, lagipula itu hanya Dewan Kedisiplinan, mereka tidak mungkin menghukum orang yang tidak bersalah, kita tidak perlu khawatir."
Namun, saat mengatakan itupun, Keira sebenar nya tidak terlalu percaya diri. Apalagi ada seseorang disana yang sangat kejam. Tidak bahkan bukan hanya seorang.
Aria mengalihkan pandangan, saat ini Dia baru bisa menyaksikan yang disebut kelompok Dewan Kedisiplinan. Di tengah manusia yang berusaha menghindar. Aura mereka terlihat sangat agung. Hanya berdiri saja sudah mengintimidasi lingkungan disekitarnya. Jika diluar mungkin sama dengan polisi, tentara, dan pejabat pengadilan.
Tidak butuh waktu lama, lapangan yang sebelumnya ramai, menjadi sepi. Hembusan angin yang sebelumnya berisik saja, seperti berusaha menyembunyikan keberadaannya.
Kelompok Dewan Kedisiplinan berdiri di tengah dengan sangat mencolok.
"Kenapa anak-anak itu begitu penakut. Apa penampilan kita begitu mengerikan. Padahal kelompok kita sangat tampan begini. Sangat tidak mengasyikkan, aku juga kan ingin menonton keributan," ucap salah seorang dari mereka.
"Lalu menghukumnya ditempat, itukan keinginanmu," balas seorang pria di sampingnya.
Pembicara pertama langsung tertawa cekikikan.
"Hahaha, itulah hal yang menariknya."
Saat ini kelompok itu sepertinya belum menyadari masih ada dua anak yang tertinggal di lapangan.
Tempat Aria dan Keira berdiri sebenarnya tidak dengan sengaja bersembunyi. Mereka hanya mundur ke sisi tembok untuk menghindari kericuhan. Yang tanpa sengaja sosok mereka ditutupi oleh pohon di depan mereka.
Aria tidak berbicara, ekspresinya sedikit suram. Dia tahu tidak ada yang baik untuk menyinggung kelompok ini.
Keira yang gugup, berdiri dengan tidak nyaman, dia hendak bergerak lebih dekat ke sisi Aria. Namun, saat melangkah, kakinya tidak sengaja menginjak ranting, yang menghasilkan suara yang nyaring.
Trakkkk
"Siapa disana!?" suara bentakan dari ujung lain terdengar.
"Aria," bisik Keira semakin gugup. Dia baru saja membuat kesalahan.
Aria juga menyadari itu, jantungnya perlahan berdetak dengan kencang, tapi dia tidak menunjukkan kegugupannya itu.
"Keluar sekarang juga!" kelompok di ujung lain kembali bicara.
Sejenak ada keheningan yang mencengkam.
Aria keluar dengan tenang, di belakangnya Keira mengikuti dengan takut-takut.
"Sepertinya ada ikan yang tertangkap jaring," Gandi tersenyum tertarik.
Keira mengencangkan cengkeramannya pada sudut roknya. Gadis itu benar-benar ketakutan. Sebagai siswa baru yang masuk selama satu semester. Dia sangat tahu, tidak ada yang berakhir baik, jika berhadapan dengan Dewan Kedisiplinan.
...----------------...
Keduanya berhenti dalam jarak lima langkah dari kelompok Dewan Kedisiplinan.
"Dua gadis," seru Ines terkejut.
Aria melirik pada satu-satunya gadis dalam kelompok Dewan Kedisiplinan.
"Sepertinya wajahmu tidak asing?" kata Ines menatap lekat wajah Aria.
Ketiga orang yang mendengar perkataan Ines, ikut memperhatikan wajah Aria. Tapi tidak ada satupun yang mengenali wajah itu.
"Ahh, bukannya kamu siswi baru!?"
"Kamu tahu Dia, Nes," tanya Gandi bingung.
"Itu, murid baru yang datang hari ini. Bukankah dikabarkan dia loli kecil yang cantik," jelas Ines.
Mendengar itu Gandi akhirnya teringat, "Benar, wajahnya memang mirip. Hey, apa kamu benar murid baru, si Loli kecil yang cantik?"
"Iya," jawab Aria lemah. Dalam hati Dia mengutuk pembuat rumor. Apanya yang loli kecil. Dia hanya berumur 14 tahun, tingginya yang 145cm hanyalah permulaan, dia masih akan tumbuh lebih tinggi.
Diam-diam seseorang membaca ekspresi Aria. Bibirnya berkedut geli, Evan bisa membaca apa yang dipikirkan gadis di depannya. Semuanya terlihat jelas diraut gadis itu.
"Tuhkan bener, aku gak mungkin salah," ucap Ines bangga.
"Yaya, kau benar," kata Gandi dengan nada mengejek.
Semua tahu Ines adalah yang paling update, boss dari lambe turah nya sekolah, mana mungkin memberi kabar palsu.
Ines langsung memukul bahu Gandi dengan kesal.
Tapi Gandi tidak peduli, sudah biasa Ines memukulnya, dan itu sama sekali tidak sakit. "Jadi sebaiknya kita hukum apa mereka berdua ketua?"
Aria mengangkat kepala, matanya melihat ke depan. Sudah jelas siapa yang dipanggil ketua. Hanya saja pria ini hanya diam semenjak tadi. Ohh, ada satu pria lagi yang juga hanya diam. Anehnya Aria menangkap, pria itu melirik ke arah Keira dengan tatapan khawatir.
"Apa keduanya saling mengenal?" batin Aria menebak.
Benar saja seseorang memverifikasi tebakan nya.
"Hey, bukankah, yang satunya Keira, adikmu, Ken," ucap Ines.
"Namaku Keenan," ucap Keenan mengoreksi. Matanya kembali melirik pada adiknya Keira. Tapi dia hanya mendesah kecewa, Keira sama sekali tidak mau memandangnya.
"Ah, apa ini, sejak kapan kamu punya adik, Kanan," kata Gandi tidak percaya.
Karena banyak pasang mata yang memandangnya. Keira semakin meringkuk di belakang Aria. Siapa yang tidak takut jika berhadapan pada anggota keluarga yang paling ditakutinya saat ketahuan berbuat salah.
Keira memang takut pada Dewan Kedisiplinan. Tapi yang paling ditakutinya adalah kakaknya sendiri.
"Ya, dia adikku," balas Keenan tidak menyembunyikan. "Namaku Keenan, bukan Ken atau Kanan!"
Gandi meringis lucu, "Namamu terlalu sulit."
"Padahal aku sudah benar loh, K-E-E-N-A-N. Diambil depannya kan jadi, Ken," sahut Ines.
Keenan mengabaikan keduanya, dia memandang Evan, "Kita lepaskan saja mereka ya, Ketua."
Belum sempat Evan membalas. Gandi lebih dulu menyerobot.
"Tidak bisa begitu dong. Hanya karena dia adikmu bukan berarti bisa lepas begitu saja. Yang salah harus tetap dihukum," kata Gandi.
Keenan menatap Gandi dengan tatapan tajam. "Kau yakin akan menentangku."
Gandi seketika mengubah ekspresinya, "Aku tidak menentangmu. Lagipula itu peraturannya. Benarkan ketua," kata Gandi mencari dukungan.
Evan berkata dengan malas, "Itu benar."
Mendengar itu bahu Keenan menjadi lemas. Jika begini adiknya hanya akan semakin takut padanya.
Gandi tertawa dengan penuh kemenangan. Akhirnya dia bisa menyaksikan kegembiraan.
Mendengarkan pembicaraan itu, Alis Aria berkerut, Kepalanya menunduk, mempertimbangkan sesuatu.
Gandi maju selangkah, "Ketua, apa aku boleh menentukan hukumannya?"
"Terserah," jawab Evan acuh. Dalam hati dia sangat tertarik apa yang akan terjadi. Entah kenapa dia merasa murid baru ini akan mengejutkannya.
"Kalau begitu kalian berdua akan dihukum untuk mengelilingi lapangan ini seratus kali. Tidak sulit kan ini hukuman yang sangat ringan," kata Gandi bersenang-senang.
"Gila/jangan gila," ucap Ines dan Keenan bersamaan.
Aria mengangkat matanya, dan berkata dengan tenang. "Kenapa kami dihukum?"
Semua orang seketika terpaku dengan pertanyaan yang Aria buat. Siapa yang menebak gadis itu akan tiba-tiba bersuara.
Gandi yang pertama bereaksi langsung menjawab, "Tentu saja karena kalian sudah berbuat kesalahan," ucapnya sangar.
"Apa kesalahan kami?" tanya Aria masih sangat tenang.
"Kesalahan kalian-" Gandi seketika bingung, benar apa kesalahan kedua orang ini. Sepertinya Dia tidak pernah memikirkannya.
"Apa karena kami akan pergi ke kelas belajar mandiri, dengan melewati lapangan ini, yang kebetulan bertemu para senior," kata Aria lembut.
Gandi kehilangan kata-kata, jika dipikirkan itu jelas bukan kesalahan, sangat tidak masuk akal jika mereka menghukumnya karena hal itu.
"Kesalahan kalian adalah diam-diam bersembunyi di tempat kejadian keributan," Evan mengangkat alisnya sedikit, dan tersenyum. "Kami harus curiga kalian dibalik keributan sebelumnya. Untuk itu sebuah hukuman diperlukan."
Hati Aria merasa sedikit tenggelam, dia hampir saja berhasil bebas. Jika saja pria ini tidak ikut campur. Sepertinya pria ini akan sangat sulit untuk dihadapi.
"Ya, ketua benar sekali. Aku juga ingin mengatakan itu," sahut Gandi cepat.
Saat semuanya berfikir, Aria akan menerima kekalahan, mereka mendengar gadis itu kembali bicara.