Seorang laki-laki diminta menikahi puteri pengusaha kaya mantan majikan ibunya. Padahal baru saja ia juga melamar seorang wanita. Bimbang antara membalas budi atau mewujudkan pernikahan impian, membuatnya mengalami dilema besar. Simak kisah cintanya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 7
Ardha berjalan mengekor di belakang Pak Abdi. Ada perasaan nostalgia dalam benaknya saat melewati ruang demi ruang menuju ruang makan. Ruangan-ruangan yang dulu sangat akrab dengannya. Tidak banyak yang berubah, hanya beberapa perabot yang terlihat asing.
Tak lama kemudian mereka sampai di pintu masuk ruang makan yang cukup besar. Dari tempatnya Ardha bisa melihat di sekitar meja makan ada Bu Indah, Nyonya Sofia dan... Mawar.
"Ardha.. silakan duduk", ucap Bu Indah ramah dengan senyuman penuh arti. Bahkan ia sengaja berdiri dari duduknya demi menyambut Ardha. Nyonya Sofia juga menyambutnya dengan senyum, sementara Mawar hanya melirik Ardha sekilas kemudian segera menunduk dan berakhir memilin-milin ujung serbet makan di depannya.
Ardha segera menghampiri Bu Indah serta Nyonya Sofia dan mencium tangan mereka seraya menanyakan kabar. Mereka pun membalas menanyakan kabarnya dan ibunya. Setelah itu Ardha melihat ke arah Mawar yang kelihatan salah tingkah. Mungkin karena malu atas kondisinya yang dia yakini sudah disampaikan ayahnya kepada Ardha.
"Apa kabar Mawar?", tanya Ardha dari seberang meja, sekedar basa-basi sekaligus mengusir perasaannya yang masih campur aduk.
Mawar terlihat sedikit tergagap dan lagi-lagi memandang hanya sekilas ke arah Ardha.
"Baik", jawabnya pendek cenderung ketus.
Melihat Mawar lagi setelah sekian lama, dengan kondisinya yang sekarang ternyata menimbulkan rasa iba di hati Ardha. Terlepas dari perbuatannya yang tidak bisa dibenarkan dan nasibnya yang kini tengah hamil. Juga kenyataan bahwa laki-laki yang harusnya bertanggung jawab malah berlepas tangan.
Acara makan sore itupun hanya diisi dengan obrolan santai. Pak Abdi sebelumnya telah berpesan kepada yang lain agar tidak membicarakan apapun terkait rencana pernikahan itu saat bertemu Ardha. Biar dirinya sendiri saja yang akan mengurusnya.
Ardha sesekali melirik ke arah Mawar yang duduk tepat di hadapannya. Sosok yang dulu pernah sangat akrab dengannya. Tampilannya pun tidak terlalu banyak berubah, hanya kesan lebih dewasa yang terlihat seiring umurnya yang bertambah. Rambut hitam panjangnya, kulit putih bersihnya bahkan bentuk mata indahnya masih sama. Tentu saja masih sama, karena dia memang Mawar yang dulu dikenalnya.
Ardha berdehem gugup sendiri saat tanpa sengaja pandangannya bertemu dengan tatapan Mawar yang tajam. Tatapan yang persis sama seperti dulu saat tiap kali dia merasa ada sesuatu yang tidak disukai nya.
Mati aku! Begitu yang terbetik dalam hati Ardha. Akhirnya setelah itu dia tak berani lagi menatap Mawar.
Tak terasa waktu sudah hampir Maghrib. Setelah melanjutkan perbincangan sedikit di ruang kerja, Ardha akhirnya pamit kepada Pak Abdi yang mengantarnya hingga teras. Di situ sudah terparkir motor Hendra yang dipinjamnya. Setelah mengucapkan salam, Ardha segera menyalakan mesin motor dan berlalu dari halaman rumah tersebut.
Azan Maghrib yang terdengar membuat Ardha memutuskan untuk mengarahkan motor yang dikendarainya memasuki halaman sebuah mesjid.
Setelah sholat berjamaah dan sebagian jamaah sudah meninggalkan mesjid, Ardha terlihat masih duduk bersila. Pikirannya kembali pada perkataan Pak Abdi sore tadi dan pertemuannya dengan Mawar setelah sekian lama. Ardha menghela nafas, tak bisa berpikir apalagi memutuskan.
Tapi paling tidak di sini ia merasa dapat ketenangan. Rasanya sungguh nyaman berada di dalam Mesjid ini, tapi ia sadar ibunya pasti akan khawatir kalau dia pulang terlalu malam. Anak tetaplah seorang anak yang selalu dianggap anak-anak oleh ibunya. Padahal kalau di Sidney dia sudah biasa pulang larut malam kalau ada urusan pekerjaan yang harus segera diselesaikan.
**********
"Assalamualaikum..", ucap Ardha seraya mencium tangan Andini ketika ibunya membukakan pintu.
"Wa'alaikumussalam..", jawab Andini sambil tersenyum. Walaupun begitu, Andini sebenarnya sedang setengah mati menahan rasa penasaran. Tak sabar ingin tahu hasil pembicaraan Ardha dan Pak Abdi.
Tapi sedapat mungkin dia tidak mau memaksa anaknya untuk memberi tahu. Khawatir akan membuat anaknya merasa semakin tidak nyaman.
Ardha menuju dapur, mengambil air putih kemudian duduk di kursi makan dan menenggak habis isi gelas di tangannya. Andini hanya duduk memperhatikan dari sofa tanpa berkata apapun apalagi bertanya macam-macam. Melihat perilaku ibunya yang tidak sesuai standar, Ardha hanya tersenyum kecil kemudian menghampiri ibunya duduk di sofa.
"Bu.. Ardha minta waktu ya, sebelum cerita ke ibu. Ardha malam ini mau istikharah dulu, Insya Allah besok Ardha ceritakan semuanya dan ibu boleh bertanya apapun ke Ardha", ucap Ardha lembut.
Andini pun hanya bisa tersenyum pahit membayangkan harus menahan rasa penasaran sepanjang malam ini.
"Iya.. Ibu ngerti. Ya sudah, sana siap-siap ke Mesjid. Sebentar lagi Isya, habis itu makan malam", Andini beranjak dari tempat duduknya menuju kamarnya.
Ardha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia sebenarnya masih kenyang setelah sore tadi sudah makan bersama di rumah Pak Abdi. Tapi ternyata pas tiba di rumah dia malah disuruh ibunya untuk makan malam lagi. Mau menolak, takut ibunya kecewa. Tak heran bila berat badannya selalu bertambah setiap kali pulang.
Sedih & lucu...
Masih ada beberapa kesalahan nama...