Anisa menerima kabar pahit dari dokter bahwa dirinya mengidap kanker paru-paru stadium empat, menandakan betapa rapuhnya kehidupan yang selama ini ia jalani.
Malamnya, ketika Haris pulang dari dinas luar kota, suasana di rumah semakin terasa hampa. Alih-alih menghibur Anisa yang tengah terpuruk, Haris justru membawa berita yang lebih mengejutkan. Dengan tangan gemetar, Anisa membaca surat yang disodorkan Haris kepadanya. Surat yang menyatakan perceraian antara mereka berdua setelah 15 tahun membina rumah tangga.
Ternyata, memiliki kehidupan yang harmonis ekonomi yang bagus, serta anak-anak yang lucu tak bisa mempertahankan sebuah hubungan Anisa dan Haris.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Yuk, simak di Bunda Jangan Pergi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bunda 07
Malam itu, Haris dengan langkah tegap memasuki kafe Tania. Ia ingin membahas masalah menu makanan yang mirip antara kafe Tania dan kafe Anisa, mantan istrinya. Begitu duduk di meja, Tania segera mendekat dengan wajah yang berseri-seri. Namun, begitu Haris menyampaikan maksud kedatangannya, ekspresi Tania berubah menjadi dingin.
"Menu seperti itu memang umum di semua kafe, Haris. Lagi pula, kafeku ini lebih unggul dari kafe Anisa," ujar Tania dengan nada angkuh. Haris merasa frustrasi saat mendengar pernyataan Tania yang keras kepala dan tidak mau mengakui kesamaan menu tersebut.
Sementara itu, Anisa yang tahu Haris sedang berbicara dengan Tania, tidak sengaja melintas di depan kafe tersebut. Ia pun memutuskan untuk masuk dan bergabung dalam pembicaraan mereka. Kedatangan Anisa semakin membuat suasana menjadi panas. Keduanya saling menyalahkan dan membandingkan kafe masing-masing. Haris semakin merasa terpojok dan frustrasi saat menghadapi dua wanita yang begitu emosional. Keringat mulai mengucur deras dari keningnya, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang semakin rumit ini.
Tiba-tiba, Haris melihat Vito, mantan karyawan Anisa yang kini bekerja sama dengan Tania. Vito adalah koki yang ternyata menjadi penyebab persamaan menu antara kedua kafe tersebut. Haris pun langsung menunjuk Vito dan berkata.
"Jadi, kamu lah yang menyebabkan semua ini. Kamu mencuri ide menu kafe Anisa dan membawanya ke kafe Tania!" Vito terkejut dan tersentak, ia tidak menyangka akan terbongkar begitu saja. Tania dan Anisa pun sama-sama terkejut mengetahui kenyataan tersebut. Mereka akhirnya menyadari bahwa mereka sama-sama menjadi korban dari Vito yang tidak profesional. Meski masih terasa perih, namun kedua wanita itu setidaknya bisa menerima kenyataan dan berdamai satu sama lain, sementara Haris merasa lega karena akhirnya menemukan jawaban atas konflik yang terjadi.
"Saya minta maaf, Anisa. Ternyata Vito mantan karyawanmu,"Tania berkata pelan. Anisa hanya mengangguk dan pergi meninggalkan kafe Tania. Haris, menatapnya dengan cemas. Pasalnya, raut wajah Tania terlihat pucat dan dia lebih kurus dari sebelumnya.
"Tidak masalah,"Anisa melepaskan genggaman Tania dan berpamitan sama dua orang itu dan pergi meninggalkan kafe Tania. Haris, yang melihat Anisa pergi merasa cemas. Wanita dari ibu ketiga anaknya terlihat tak sehat dan itu membuat Haris sedikit merasa khawatir.
"Jadi, kapan kita akan merencanakan pernikahan untuk kita, Haris?"tanya Tania.
"Tunggu, aku punya waktu untuk menceritakan sama anak-anak. Sampai saat ini aku dan Anisa belum menceritakan perihal kebenaran di antara kami yang sudah berpisah. Tania, kamu harus bersabar agar semua berjalan dengan lancar,"wanita cantik itu hanya mengangguk dengan mengukir senyuman di bibir nya yang memperlihatkan wajah nya semakin cantik.
Pagi itu, setelah mengantar anaknya ke sekolah, Anisa menyempatkan diri mampir ke rumah sakit guna melakukan pemeriksaan kesehatan lanjutan. Anisa menghela napas panjang, merasa lega atas kemajuan yang telah terjadi dalam hidupnya dan keluarganya. Masalah SPP Alvin dan Salsa telah selesai berkat bantuan Haris mantan suaminya, dan kafe miliknya mulai bangkit kembali berkat resep baru yang diberikan oleh Mira.
Anisa duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit, menunggu panggilan untuk pemeriksaan. Matanya melihat sekeliling, menatap wajah-wajah pasien yang juga menunggu giliran. Pikirannya teringat kembali kepada kafe yang sempat hampir bangkrut itu. Kini, meskipun masih sepi, namun pelanggan mulai berdatangan untuk mencicipi menu baru hasil kreasi resep Mira.
Tak lama, seorang perawat memanggil namanya, tanda giliran Anisa untuk memasuki ruang pemeriksaan. Di ruang pemeriksaan, Anisa bertemu dengan Dokter Yash, dokter yang menangani penyakitnya sejak awal. Dengan wajah pucat dan bibir gemetar, Anisa menceritakan betapa akhir-akhir ini ia sering merasakan sesak napas yang berlebihan.
Dokter Yash, yang telah mengenal Anisa cukup lama, merasa iba dengan kondisi pasiennya ini. Setelah mengevaluasi hasil pemeriksaan terbaru, Dokter Yash dengan berat hati memberitahu Anisa bahwa kanker paru-paru stadium akhir yang dideritanya sulit untuk disembuhkan. Bahkan, Dokter Yash dengan sangat hati-hati mengatakan bahwa hidup Anisa mungkin kurang dari setahun. Mendengar kabar tersebut, Anisa merasa seolah dunianya runtuh.
Hatinya seperti diremas-remas, detak jantungnya seakan berhenti saat itu juga. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis yang hendak pecah. Ia merasa tak sanggup menanggung beban pikiran dan emosi yang begitu berat. Dalam keadaan terpukul, Anisa berjalan keluar dari ruang pemeriksaan. Ia mencoba menyembunyikan air matanya agar tidak terlihat oleh orang lain. Namun, sesak napas yang semakin menjadi dan rasa sakit yang tak tertahankan membuatnya terduduk lemas di lorong rumah sakit. Anisa merasa hidupnya kini hanya tinggal menghitung hari, menunggu ajal yang tak bisa dihindari.
Sesampainya di rumah, Anisa langsung mengambil ponselnya dan menekan nomor Mira, sahabatnya sejak lama.
"Mira, bisakah kamu menjemput anak-anakku di sekolah nanti?" suara Anisa bergetar, menahan tangis.
"Setelah itu, tolong datang ke kafe dan ambil catatan yang Naina titipkan. Naina telah membuat catatan untuk stok barang, tetapi aku melupakannya tadi pagi." Mira mengiyakan permintaan Anisa.
Alvin terlihat bingung ketika yang menjemputnya Mira bukan Anisa. Tanpa banyak bertanya Alvin masuk ke dalam mobil di mana Salsa sudah berada di dalam mobil lebih dulu. Mira melajukan mobilnya ke arah kafe Anisa untuk bertemu dengan Naina, Karyawan Anisa.
Tiba di depan kafe, Mira langsung turun dari mobil saat melihat Naina sudah menunggunya di depan kafe. Namun, siapa sangka. Hal yang mengejutkan datang dari arah seberang. Haris baru saja keluar dari kafe Tania bersama dengan wanita itu. Haris nampak merangkul mesra pinggang wanita cantik itu. Pemandangan itu, mengejutkan Alvin yang tak sengaja melihat hal itu dari dalam arah mobil Mira.
"Papa,"gumam Alvin, bocah 10 tahun itu.
"Anak-anak ayo kita pulang!"ajak Mira, yang sudah selesai bertemu dengan Naina tetapi justru Alvin diam seribu bahasa sembari menatap sang ayah yang berpelukan sama wanita lain. Anak seusia Alvin sudah bisa paham jika interaksi orang dewasa seintim itu pasti hubungannya lebih dari teman.
"Tante, itu Papa...."Seru Salsa kemudian. Karena, Salsa bocah TK ini yang sudah sangat merindukan ayahnya lebih dari satu Minggu tak ketemu langsung turun dari mobil dan pergi menghampiri Haris.
"Eh, Salsa. Tunggu!"Mira pun panik dan sontak berteriak saat melihat Salsa yang berlari ke arah seberang jalan di mana Haris dan Tania berdiri di depan kafe Bulan, milik Tania.
"Salsa!"teriak Mira, saat melihat sebuah motor melaju cukup kencang ke arah Salsa. Di mana Haris dalam waktu bersamaan juga menoleh ketika mendengar suara teriakan Mira yang cukup kencang. Di pintu mobil Alvin menatap kejadian itu dengan mata yang melebar dan kemudian Haris berhasil menyelamatkan Salsa dari tabrakan motor yang melaju kearahnya.
akhirnya km akan meninggal dgn perasaan sakit hatimu ketika anak2mu yg tidak membutuhkan kamu
kurang suka dgn sosok Anisa yg menyerah sebelum berjuang
dasar bapak lucnut dpt daun muda uang sekolah anak2 di abaikan
semoga Anisa sembuh thor