NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nyaris Gagal

Riuhnya suara anak-anak yang bermain di pelataran panti terdengar sampai dalam. Kendati berselang beberapa ruangan permanen yang tinggi menjulang kemeriahan di depan sana masih terdengar juga meski sayup.

Ida kini berjalan santai menyusuri lorong yang menghubungkan teras ruang pimpinan dengan aula dan ruang baca. Dalam hatinya Ida terkesan dengan kondisi panti asuhan, tempat yang masuk dalam kategori tidak ingin didatanginya. Tidak satu pun barang mahal dalam penilaiannya yang ia dapati di sana. Hanya ada tanaman perdu, bahkan liat yang anehnya malah ditata dan sengaja ditanam dengan pola tertentu. Jadinya malah bagus, tidak kalah dengan tanaman hias mahal.

Tidak satu pun sarang laba-laba tertangkap mata Ida. Sebab tadinya kalau ada satu saja ia dapat pojok ruangan atau langit-langit dengan sarang laba-laba, Ida terpuaskan. Artinya, imej panti asuhan sebagai tempat yang kumuh dan jorok dalam benaknya terbenarkan. Namun nyatanya di panti ini tidak ada. Atau, belum kelihatan saja, batin Ida.

Langkah kaki Ida terus membawanya menelusuri beberapa ruangan lain yang tempatnya lebih ke dalam. Ruang tidur anak ternyata tidak hanya satu. Ada yang berupa barak, seperti ruang inap rumah sakit kelas tiga semasa Orde Baru. Ruangan yang tidak seberapa besar diisi enam tempat tidur bertingkat. Ada pula yang berisi empat tempat tidur bertingkat.

Sementara ruang bayi dan balita terletak di paling tengah dengan banyak tempat tidur box. Ingatan Ida melayang pada sebuah kenangan. Dulu ia pernah menitipkan seorang bayi di salah satu box seperti itu, juga di sebuah panti. Yang jelas, bukan di sini. Tetapi akhirnya bayi itu dia ambil kembali, tidak sampai satu jam kemudian lalu ia bawa pergi ke tempat yang lain lagi.

Tanpa tahu tujuan, Ida terus saja berjalan di lorong yang menuju pertigaan. Salah satunya mengarah ke dapur panti. Satunya lagi merupakan jalan pintas dari aula menuju gudang dan kebun belakang panti.

'Ahh, untunglah ada tamu yang telepon. Kalau enggak, bisa mati kutu aku ditanyai macam-macam sama bapak itu. Mendingan aku panggil taksi online sekarang. Nggak betah aku berlama-lama di tempat ini.'

Tiba-tiba dari arah aula ada orang berjalan membawa banyak tumpukan barang. Beberapa anak kecil berlarian mengikutinya, berlomba menyamai langkahnya yang panjang dan cepat. "Permisi, permisi! Kasih jalan, permisiii! Maaf yah, permisi adik! Permi....

"Eeh, Hati-hati, dong, Mas! Gimana, sih? Jalan nggak lihat-lihat!" Hampir saja Ida tertabrak.

"Oh, maaf, maaf, Bu. Ibu nggak kenapa-kenapa, 'kan?" Dari balik tumpukan barang di tangannya, orang itu berusaha melihat orang yang nyaris celaka tertabrak olehnya dan anak-anak.

Ternyata orang itu adalah Yones. Ia sedang membantu para staf panti memindahkan beberapa kotak bantuan bahan makanan untuk disimpan di gudang. Ida yang hampir jatuh karenanya jadi terkejut dan mengomel.

"Hampir aja saya jatuh gara-gara kamu. Punya mata nggak dipake! Huh!"

Yones kaget hingga tak mampu bicara. Sekarang dia malah sudah ditinggal pergi oleh mantan calon korban tabrakannya. "A.... Hhh. Ah, udahlah," kata Yones akhirnya.

"Nah, adik-adik, ayo, kita bikin kereta api aja. Kak Yones yang di depan jadi lokomotif. Adik-adik jadi gerbongnya ya. Yuk, baris, yuk! Nyanyi sama-sama, ya! Naik kereta api, tut tuut tuuut...." Lalu anak-anak pun berlomba berbaris dan ikut menyanyi, terus mengekor Yones menuju gudang belakang.

Masih dalam rangka kaget dan jengkel, Ida mengomel dalam hati sambil terus berjalan. Maksud hati ingin mencari jalan pintas keluar panti, Ida malah salah mengambil jalan. Ia justru berjalan di lorong yang menuju dapur panti. 'Percuma ganteng. Mata nggak sinkron sama muka. Huh, bikin emosi aja.' Lalu mulai terciumlah aroma menggiurkan oleh hidung Ida. 'Hmmh-hmh-hmh? Wahhh! Aromanya kok enak?' Ida meneruskan langkahnya, bergegas. 'Hmh, dari sini. Aah, ini dapurnya, to? Besar juga, ya? Lho! Ada orangnya!'

Sementara itu, di dapur, Rani sedang berjuang dengan sop pertamanya. "Aduh-duh panas! Hadehhh. Ternyata masak itu sulit. Nggak segampang yang aku bayangkan. Kalau di rumah 'kan ada Budhe. Tinggal bilang mau makan apa, minta dimasakin apa, udah deh, nanti tahu-tahu jadi. Enak lagi. Nggak pakai ribet. Mikir garamnya seberapa, dikasih kecap manis atau asin, perlu nambah gula apa enggak. Pokoknya tinggal bilang: 'Budhe!', semua beres. Hmh! Berarti, Budhe itu aset yang sangat berharga. Aku harus baik-baikin Budhe biar Budhe betah."

Rani tidak menyadari ada orang yang sedari tadi memperhatikan dan mendengarkan ucapannya. Di belakangnya Ida bersandar di ambang pintu dapur. Batin Ida, 'Cih! Rupanya cuma anak manja yang sok bisa masak! Aku kira dia memang tukang masak di sini. Wajahnya sih oke, manis. Tapi, nggak tahu deh, soal kemampuan memasaknya. Hmm, jadi gatal pengin ngetes.'

"Halo, Mbak cantik! Baru masak apa?" sapa Ida, berpura-pura ramah.

Rani gelagapan. "Oh, eh, ya, halo juga, Ibu. Ini, em... sayur sop, Bu."

"Oh, sop apa? Boleh dong, dicoba?" Ida melangkah mendekat. Dia langsung mencari sendok makan untuk mencicipi sop yang dibuat Rani.

Didekati begitu, Rani semakin gugup. "B-boleh, Bu. Sekalian nanti bisa koreksi rasa dan..."

Namun, "Ahh, brrthhh! Bwehh! Sop apa ini? Rasanya nggak karuan. Bisa masak nggak, sih? Kalau nggak becus masak, nggak usah masak, Mbak!" Ida melempar sendok di tangannya ke lantai lalu berbalik pergi dengan jengkel.

Melihat itu Rani syok. "Hah? Ta-ta-tapi saya..., s-saya.. cuma a-anu, Bu...." Namun Ida telah lebih dulu menghilang. Rani bergumam sendirian. "Kasar banget, sih? Bilang baik-baik 'kan bisa. Kenapa harus lempar sendok segala, sih? Bikin sedih aja. Huhhh, bete jadinya."

Dipungutnya sendok yang dibuang Ida. "Emang rasa sop-ku separah itu?" Rani termangu. "Benar kata Ibu itu kali, ya? Kalau nggak bisa masak, mending aku nggak usah masak. Tapi, aku 'kan baru belajar. Ini kali pertamaku. Masa aku nggak berhak dapat kesempatan buat belajar?"

Jadilah Rani merenung dalam diam sambil sesekali mengaduk sopnya. Sesaat ia berpikiran, ia sudah gagal dalam kali pertamanya memasak. Padahal sayur sop masuk dalam kategori masakan sederhana menurut pandangan umum.

Rani belum pulih dari permenungannya ketika ibunya kembali masuk membawa sebaskom besar ikan dari pintu lain menuju dapur.

"Nahh, ikan sudah bersih, nih. Tinggal dimarinasi bumbu halus yang tadi, ditunggu sebentar, terus digoreng, deh. Sayurnya gimana?"

Tetapi yang ditanya diam saja.

"Nduk? Rani?"

Rani tersentak. "He? Oh, ya, Bu. Emm, ada apa, ya?"

"Waduh! Tanda-tanda ini. Mesti kamu nggak fokus. Duh, repot ini. Ibu cicipi, ya, Nak!" Ibunya mengambil sendok dan mencicipi kuah sop. Rani mengamatinya dengan cemas.

"Rasanya ancur, ya, Bu? Nggak enak?" Air mulai menggenangi pelupuk mata Rani. Tinggal tunggu ia mengedipkan mata lalu air itu pasti meluncur dengan sendirinya.

"Siapa bilang? Enak, kok. Kurang pas sedikit. Tenang aja, Nak. Nggak usah khawatir. Ini udah enak banget. Hanya kurang 'oye' kalau kata Cheff Budhe. Kita bikin 'oye' sekarang."

"Beneran, Bu?" tanya Rani tercekat. "Masih bisa dimakan semua orang?"

"Iyalah. Mana, ya, gula pasir dan mericanya? Kita kasih sedikit. Tambah daun bawang potong. Jadi, deh."

"Puji Tuhaaan. Huhu...," Rani menangis lega penuh syukur sambil berjongkok menangkup wajah.

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!