“Apakah kau sedang berusaha untuk mengakhiri hidupmu?”
Celphius menemukan seorang gadis yang di buang seseorang di dalam hutan dalam kondisi tubuh yang sudah memprihatinkan. Suatu ketika saat Celphius membawanya pulang ke rumah, terjadi keanehan misterius pada gadis itu di mana setiap pulang dari luar, tubuh gadis itu sudah di penuhi dengan darah dan kamar yang berantakan. Ingin mencari tahu sumber masalah itu, Celphius pun memasang kamera tersembunyi di kamar gadis itu dan hasilnya membuat bibirnya menganga!
Apa yang terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LennyMarlina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
THE KILLER
Vernon membantu membereskan setiap barang yang berjatuhan di lantai untuk mengembalikannya ke tempat yang semula. Sedangkan Ruby disuruh untuk duduk dengan nyaman tanpa perlu khawatir soal barang itu.
Ruby hanya menunduk ketika Vernon melihatnya dengan cara melirik. Mungkin masih memikirkan soal ucapan Celphius yang menyuruhnya keluar dari rumah itu dan itu sangat mengganggu pikiran Ruby untuk memikirkannya.
“Jangan terlalu diambil hati ucapan Tuan Celphius. Saya yakin Tuan Celphius tidak bersungguh-sungguh berucap seperti itu. Nona jangan terlalu memikirkannya,“ katanya.
Sedikit melihat pada Vernon. “Apa mungkin sebaiknya aku pergi saja dari sini? Aku sudah merepotkan kalian semua dan aku juga sangat berterima kasih sudah merawatku.”
“Anda tidak perlu melakukan itu. Kondisi Anda masih belum pulih benar dan tidak seharusnya melakukan hal yang akan membuat suhu tubuh Anda merendah.”
Vernon sangat memedulikan kesehatan Ruby karena dia adalah manusia yang memiliki hati nurani. Jika bukan Ruby, pada orang lain pun Vernon akan melakukan hal yang sama demi membuat diri sendiri merasa nyaman.
Bukan untuk bermaksud menyombongkan diri. Tetapi, itu adalah sifat Vernon yang sebenarnya. Walaupun dari segi penampilan dan bentuk raut wajah terlihat menyeramkan, pada dasarnya sang bodyguard memiliki sisi yang hangat.
‘Dewa itu menyuruhku untuk pergi kapan pun ketika sudah memintaku untuk pergi. Jadi, aku harus pergi dan meninggalkan tempat ini,’ gumam Ruby dalam hatinya.
.
.
.
7:00 AM
Sepanjang malam Celphius sama sekali tidak bisa tidur karena terbayang-bayang dengan apa pun yang terjadi di hari kemarin. Matanya sama sekali tidak mengantuk jadi Celphius memilih untuk bekerja lembur di rumahnya.
Tetapi, itu hanya menjadi kesempatan yang sia-sia saja karena tidak memiliki daya semangat dan pikirannya terus berkelana ke mana-mana. Dia membanting dokumen itu, sudah kesal dengan kondisi yang tidak bisa tidur ini.
Bahkan ketika pagi mulai menjemput pun matanya masih terbelalak lebar mengarah pada langit-langit kamarnya. Rasa ngantuk justru datang saat pagi hari saat sudah waktunya bagi Celphius untuk berangkat bekerja.
“Ini gara-gara Pak Tua itu. Setiap kali dia menggangguku dengan beribu katanya, aku selalu tidak bisa tidur di kemudian harinya. Sebenarnya apa yang dia campur?”
Ini bukan minuman atau makanan yang dicampurkan dengan 'sesuatu' di dalamnya. Tetapi kata-kata yang sudah seperti dirangkai dengan baik sebelumnya justru membuat kenyamanan tidur Celphius tak tenang.
Celphius memutuskan untuk mandi dan setelah itu berangkat bekerja. Walaupun menyesakkan karena harus bertemu dengan ayahnya di kantor yang sama, tetapi dia juga memiliki kewajiban untuk menjalani hidup.
Jika saja Celphius memiliki banyak uang dia pasti sudah keluar dari penjara itu dan menikmati hidup tanpa melakukan pekerjaan apa pun. Dan yang lebih penting ... dia tidak akan lagi bertemu dengan ayahnya di sana.
“Tuan! Tuan!” Di luar kamarnya, terdengar suara Vernon yang berteriak sembari mengetuk pintu mengagetkan Celphius yang baru selesai mandi. “Tuan! Cepat keluar! Nona Ruby menghilang!”
“Ruby menghilang...? Lagi?!” Wah, ini benar-benar bisa membuat lelaki itu gila benaran. Dia segera membuka pintu dan mendapati Vernon yang sudah panik. “Kenapa bisa menghilang!?”
“Saya tidak tahu, Tuan! Saat saya hendak mengantarkan makanan, Nona Ruby sudah tidak berada di kamarnya! Saya sudah mencari ke mana-mana di sekitar kamar itu tetapi Nona Ruby tidak ketemu!”
Vernon melanjutkan, “Tapi, jendela kamar terbuka. Nona Ruby pasti melarikan diri saat malam ketika semua orang tidur!” Itu hanya dugaan Vernon saja. Sisanya bisa dijelaskan oleh Ruby nanti.
Celphius semakin berpikir mungkin saja ini ada hubungannya dengan ucapannya kemarin malam yang meminta Ruby untuk meninggalkan kediamannya. Jika memang begitu, berarti Ruby benar-benar telah pergi.
‘Sialan! Apa yang telah kulakukan? Ruby meninggalkan rumah dalam kondisi seperti itu gara-gara aku!’ Celphius menyadari kesalahannya.
“Cari dia!”
“Baik!”
Keduanya memutuskan untuk mencari Ruby di sekitaran rumah dan mengunjungi berbagai tempat yang mungkin saja Ruby ada di sana. Gadis itu benar-benar menguatkan hati mengikuti apa yang Celphius katakan.
Padahal dia mengatakan semua itu karena dalam kondisi hati yang sedang marah dan tidak baik-baik saja. Itu karena emosi yang bercampur membuat Celphius susah untuk mengontrol diri dan berkata yang buruk.
Saat bertemu dengannya nanti, Celphius akan meminta maaf dan membujuknya untuk tetap tinggal di rumahnya selama beberapa saat sebelum kondisinya benar-benar belum pulih. Itu harus dilakukan.
.
.
.
Ketika banyak waktu yang sudah digunakan untuk mencari 'barang' yang hilang, Celphius bertanya-tanya, akankah 'barang'nya itu bisa kembali dalam genggaman tangannya tanpa tergores sedikit pun? Apakah akan kembali?
Rasa bersalah menyayat dalam hatinya. Larian kaki yang bergerak ke sana ke mari semakin lelah dan membutuhkan istirahat untuk kembali melanjutkan penelusuran mencari seseorang yang hilang dari rumah. Ini sudah sangat jauh.
Sudah ada banyak tempat yang sudah didatangi tetapi Ruby masih belum ditemukan hingga sekarang. Vernon pun belum memberinya kabar apa pun yang mungkin ia juga belum menemukan Ruby di tempat berbeda.
“Di mana Ruby? Ke mana perginya gadis itu dengan kondisi seperti itu? Syukur kalau dia bisa menemukan tempat aman. Bagaimana kalau ... ”
Celphius tidak bisa melanjutkan ucapannya. Dia berpikir mungkin bisa saja terjadi sesuatu yang buruk pada gadis itu. Dia tetap harus berpikir realistis bahwa Ruby baik-baik saja di mana pun ia berada. Gadis itu tidak akan terluka.
DRRT!
Ponselnya berbunyi. Berharap itu adalah Vernon yang menelepon untuk memberi tahu kalau Ruby sudah ditemukan. Tetapi, realita tidak seindah ekspektasi. Adalah sekretaris yang ingin tahu keberadaan Celphius saat ini.
“Ah, sial.” Mau tak mau Celphius harus menjawab teleponnya. “Ada apa?”
[“Tuan, apakah Anda masih di rumah?”]
Justru sekarang Celphius sedang berada di luar. Dia menjawab dengan nada yang dingin, “Tidak. Saya berada di luar rumah. Kenapa Anda menelepon?”
[“Ah, ini. Ada berkas yang harus saya berikan kepada Anda dan memerlukan tanda tangan Anda. Tuan CEO juga menanyakan keberadaan Anda kepada saya.”]
Sudah pasti ini ulah ayahnya. ‘Merepotkan saja. Apa dia mau menambah pekerjaan kantorku?’ Kenapa rasanya seperti ingin membantingnya dengan keras?
“Vernon akan mengambilnya. Kemungkinan saya tidak masuk kerja untuk hari ini karena ada urusan mendesak yang harus saya lakukan.” Sudah diputuskan.
[“Jika saya boleh tahu, urusan mendesak apa yang sedang Anda lakukan?”]
Tidak biasanya sekretaris itu menanyakan hal-hal pribadi mengenai atasannya sampai seperti itu. “Katakan pada Pak CEO bahwa saya izin cuti sehari saja.”
TUUT!
Langsung ditutup tanpa membiarkan orang lain berbicara dan mengganggu pekerjaannya. Celphius sepertinya sudah tahu kalau ayahnya berada dekat dengan sekretaris itu. Tidak mungkin sekretarisnya ingin tahu hal pribadi.
“Bagaimana? Apa yang dia katakan?” tanya Tuan Cillian yang benar-benar meminta sekretaris putranya menghubungi Celphius. “Kenapa diam saja?”
“Tuan Celphius bilang kalau untuk satu hari ini beliau tidak masuk kerja karena memiliki urusan mendesak. Soal dokumen nanti Vernon akan mengambilnya.”
Tuan Cillian sedikit terdiam. “Hm, baiklah. Kamu lanjutkan pekerjaanmu. Terima kasih sudah membantu meneleponnya.” Tidak lupa untuk berterima kasih.
“Sudah seharusnya.”
Kembali pada Celphius. Dia kembali melanjutkan perjalanannya mencari Ruby tanpa mau pulang sebelum menemukannya. Pandangannya semakin fokus menatap ke depan. Hatinya semakin tertantang untuk menemukannya.
Celphius merogoh saku di jas dan mengeluarkan sebuah pistol berwarna hitam yang biasa digunakan para penjahat ataupun polisi. Dan memasukkannya ke dalam saku celana supaya mudah untuk mengambilnya jika dibutuhkan.
Dia kembali melanjutkan langkahnya dan bergerak dari satu titik ke titik lain. Celphius mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang yang bisa membantunya mencari keberadaan Ruby yang semakin menjauh.
[“Bos?”]
“Carikan seorang gadis untukku. Akan kukirimkan fotonya. Siapa pun yang menemukan gadis itu aku akan membayar kalian dengan kelipatan ganda.”
Teman-teman itu sontak terkejut dengan perintah yang Celphius katakan bahkan sampai mau membayar dengan kelipatan ganda. Mereka semakin bersemangat melaksanakan tugas dari bos organisasi gangster itu.
[“Kami akan melakukannya dengan baik!”]
Sambungan teleponnya kembali ditutup oleh Celphius setelah mendengar jawaban dari teman-temannya. Selain melakukan pekerjaan kantor, rupanya Celphius memiliki pekerjaan sampingan tersembunyi bernama The Killer.
THE KILLER
Ialah organisasi para pembunuh bayaran yang dibentuk oleh Celphius terhadap orang-orang yang membenci siapa pun yang mengganggu kehidupan para pelapor melalui e-mail. Di dalamnya terdapat empat orang pembunuh.
Termasuk Celphius yang berada di dalamnya. Namun, belakangan pekerjaannya sibuk dengan urusan kantor sehingga Celphius menjadi jarang bergabung ke dalam organisasi itu dan melempar pekerjaannya pada rekannya.
.
.
.
Tuan Cillian merasakan ketidakhadiran Celphius sekarang sampai tidak bekerja karena alasan urusan mendesak. Kadang hal itu membuat Tuan Cillian tidak percaya dan menduga Celphius menolak untuk bertemu dengannya.
Apakah kemarin dirinya terlalu kurang ajar dan berbicara serampangan pada Celphius sampai tidak merasa nyaman? Walau Celphius tak mengatakan apa pun tetapi raut wajah menunjukkan ketidaknyamanannya pada saat itu.
Hingga sampai seseorang mengetuk pintu ruangannya dan muncullah seorang pemuda yang mirip dengan anaknya. Flavian datang untuk bertemu ayahnya. Rencananya ingin membicarakan soal kejadian kemarin bersama kakaknya.
“Ayah.”
“Flavian? Masuklah.”
“Apa Ayah sibuk?”
“Tidak. Ayah baru saja pulang bekerja dengan rekan Ayah.” Tuan Cillian mempersilakan Flavian untuk duduk. “Ada apa? Kamu ada urusan apa di sini?”
“Aku hanya mau berbicara sedikit dengan Ayah. Ini soal masalahku dengan Kakak. Kemarin aku menemui Kakak dan dia langsung mengusirku,” ucap Flavian.
“Celphius mengusirmu? Kenapa?”
“Itu ... Kakak tidak mau aku mengganggu pekerjaannya. Aku juga sudah bicara dengannya dan meminta maaf.” Flavian menundukkan wajahnya dengan lesu.
Ucapan yang sempat Celphius katakan padanya kemarin memenuhi pikiran Flavian soal siapa yang merawatnya dan membesarkannya. Antara Ayah yang sibuk bekerja atau kakaknya yang selalu menemaninya di rumah.
Flavian sudah memikirkannya semalaman bahwa selama ini kakaknya yang selalu mengurusnya. Dalam jiwanya memiliki dua keyakinan dengan dua orang dan pendapat yang berbeda yang membuat bingung harus bagaimana.
“Lalu, apa yang kakakmu katakan? Apa dia memaafkanmu dan setuju untuk pulang ke rumah?” tanya Tuan Cillian. Berharap ada suatu keajaiban yang terjadi.
Kemudian, Flavian menggeleng, “Tidak. Kakak bilang tidak mau pulang ke rumah sebelum Ayah mengakui kesalahan Ayah terhadap Ibu. Itu yang dia katakan.”
Rasa cinta Celphius hanya tertuju pada ibunya. Tuan Cillian merasa anak pertamanya itu tidak menyayanginya. “Padahal ibumu yang salah, bukan Ayah.”
Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang salah dan siapa yang harus disalahkan? Flavian mengalami suatu kebingungan di mana dia tidak tahu harus memercayai siapa karena setiap orang punya pendapat yang berbeda.
“Ayah, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Ibu meninggalkan kita dan tidak pernah menemui kita sama sekali? Aku juga mau tahu wajah Ibu,” kata Flavian.
“Untuk apa kamu mau tahu soal ibumu yang jahat itu? Dia sudah tidak pernah menyayangi kalian lagi. Kamu tidak usah memikirkannya lagi,” sahut Tuan Cillian.
“Hanya aku yang tidak tahu seperti apa wajah Ibu. Kakak selalu mengatakan kalau Ibu itu adalah sosok yang baik tapi Ayah justru mengatakan yang sebaliknya.”
“Aku sangat bingung harus membela siapa jika kenyataannya terus membuatku begini. Sebaiknya Ayah ceritakan soal Ibu dengan sejujurnya padaku,” lanjutnya.
Flavian merasa menjadi satu-satunya orang bodoh yang tidak tahu apa-apa mengenai keluarganya sendiri. Bahkan wajah ibunya pun tidak pernah sekalipun Flavian ketahui karena ayahnya yang selalu menyembunyikan semua itu.
Dari cerita-cerita yang pernah disampaikan ayahnya padanya sudah memantapkan hati Flavian bahwa ibunya memang seperti itu. Berbeda dengan cerita Celphius yang semakin membuat kepalanya berputar-putar tanpa henti.
Karena ayahnya dulu adalah suami ibunya dan pastinya ayahnya itu lebih tahu banyak mengenai kepribadian ibunya daripada kakaknya sendiri. Tentu Tuan Cillian yang harus mengatakan semua itu agar Flavian tak salah bela.
“Ayah katakan saja apa yang terjadi. Ke mana Ibu dan seperti apa wajah Ibu yang sebenarnya? Aku hanya mau tahu soal itu,” pinta Flavian sangat memohon.
“Flavian, Ayah sudah pernah katakan padamu kalau ibumu itu adalah orang yang tidak baik. Dia tidak pernah menyayangi kalian berdua makanya dia pergi.”
“Ibumu bertahan dua tahun setelah melahirkan Celphius hanya karena ingin mendapatkan harta Ayah yang belum didapatkannya. Setelah itu, dia kabur.”
“Ayah juga merasa sakit hati dengan sikap ibumu itu bahkan Ayah sempat menyesal telah menikahinya. Tapi, Ayah tidak menyesal kalian lahir.”
“Karena Ayah telanjur mencintai ibumu sampai Ayah rela bertahan dengan rasa sakit yang tertanam di hati.” Tuan Cillian menunduk dan mengatakan semuanya.
“Tapi, kenapa cerita Kakak berbeda dengan cerita yang Ayah katakan? Kakak bilang kalau Ibu itu baik. Ibu tidak jahat,” ucap Flavian mempertanyakan hal itu.
“Itu karena Ibu kalian telah memanipulasi keadaan dan hanya berbuat baik pada Celphius sebelum adanya kamu sehingga Celphius menganggapnya orang baik.”
Benarkah begitu?
BERSAMBUNG