Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26: Pertemuan Terakhir dengan Gavin
#
Larasati akhirnya membalas pesan Gavin tiga hari kemudian—tiga hari yang dia habiskan untuk berpikir, menangis, berbicara dengan ibunya, dan menatap Abimanyu sambil bertanya-tanya apa yang terbaik untuk anaknya.
Pesannya singkat: _"Kafe Nostalgia. Besok jam 3 sore. Hanya kita berdua. Ini pertemuan terakhir."_
Kafe Nostalgia—tempat di mana sepuluh tahun lalu Gavin pertama kali mengajaknya kencan. Kafe kecil di sudut Bandung yang masih bertahan meski kota sudah berubah drastis di sekitarnya. Tempat di mana Gavin pernah memegang tangannya di atas meja sambil bilang "aku pikir aku jatuh cinta sama kamu" dengan senyum yang membuat jantung Larasati berbunga-bunga.
Ironis bahwa sekarang tempat yang sama akan jadi tempat di mana semuanya berakhir.
---
Larasati sampai lima belas menit lebih awal—sengaja, supaya dia bisa duduk, mengatur napas, menstabilkan emosinya sebelum Gavin datang. Dia pilih baju simpel—kemeja putih dan celana jeans—tidak ada yang terlalu fancy atau terlalu casual. Netral. Seperti perasaannya yang dia coba maintain.
Kafe terlihat sama—dinding bata ekspos yang sama, meja kayu antik yang sama, bahkan menu yang hampir tidak berubah. Tapi segalanya terasa berbeda. Atau mungkin Larasati yang berbeda. Perempuan yang duduk di sini sepuluh tahun lalu penuh dengan harapan dan mimpi. Perempuan yang duduk di sini sekarang hanya penuh dengan kepingan dari apa yang dulu.
Pintu terbuka. Gavin masuk.
Larasati hampir tidak mengenalinya. Pria di depannya terlihat seperti bayangan dari CEO yang confident dan well-groomed yang dia kenal. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat dengan lingkaran hitam yang dalam di bawah mata, jas yang biasanya perfectly pressed sekarang kusut seperti dia tidur dengan pakai itu. Bahkan cara berjalannya berbeda—tidak ada lagi postur yang tegak dan confident, tapi bahu yang membungkuk, langkah yang ragu.
Mata mereka bertemu. Dan Larasati lihat sesuatu di mata Gavin yang membuat dadanya sesak—bukan cinta atau hasrat, tapi kehancuran yang total. Mata orang yang sudah kehilangan segalanya.
Gavin duduk di seberangnya dengan gerakan lambat, seolah setiap movement menyakitkan. Dia tidak langsung bicara—hanya menatap Larasati dengan tatapan yang mix dari desperate dan menyesal.
"Terima kasih," katanya akhirnya, suaranya serak seperti tidak dipakai untuk bicara. "Terima kasih sudah mau ketemu. Aku... aku tidak expect kamu akan balas pesanku."
Larasati tidak jawab. Hanya menatap dengan ekspresi yang flat, yang tidak menunjukkan apa yang berputar di dalam kepalanya.
"Lara," Gavin melanjutkan, tangannya di atas meja bergerak seolah mau meraih tangan Larasati tapi berhenti di tengah jalan—sadar dia tidak punya hak lagi. "Maafin aku. Kumohon. Aku bodoh. Aku egois. Aku... aku tidak tahu apa yang aku pikirkan. Aku menyesal setiap hari. Setiap detik. Kalau aku bisa putar waktu, aku akan—"
"Kenapa sekarang, Vin?" Larasati potong, suaranya tenang tapi ada edge di sana yang tajam. "Kenapa baru sekarang kamu menyesal? Kenapa tidak saat kamu pertama kali tidur dengan Kiran? Kenapa tidak saat kamu planning untuk liburan ke Bali bersamanya? Kenapa tidak saat kamu berbisik 'aku cinta kamu' ke dia sambil masih pakai cincin kawin yang aku berikan?"
Setiap pertanyaan seperti tamparan. Gavin terlihat semakin kecil dengan setiap kata.
"Karena..." Gavin membuka mulut, menutup, mencoba lagi. "Karena aku baru sadar kalau aku kehilangan segalanya. Pekerjaanku. Reputasiku. Respect dari keluargaku. Dan yang paling penting... kamu. Aku kehilangan kamu, Lara. Dan aku tidak realize—aku tidak genuinely understand—betapa pentingnya kamu sampai kamu tidak ada lagi."
"Jadi kamu menyesal karena kamu kehilangan aku," kata Larasati dengan nada yang flat, "bukan karena kamu menyakiti aku."
Gavin terdiam, wajahnya menunjukkan struggle internal. "Aku... aku menyesal untuk keduanya. Aku menyesal aku sakiti kamu. Aku menyesal aku ambil kamu for granted. Aku menyesal untuk semua kebohongan, semua pengkhianatan, semua—"
Air matanya jatuh. Gavin—pria yang Larasati jarang lihat menangis bahkan di pemakaman ayahnya—menangis sekarang dengan cara yang tidak terkontrol. Bahu bergetar, tangan menutupi wajah, isakan yang keluar pecah dan desperate.
"Aku mencintaimu," bisiknya di antara tangisan. "Aku selalu mencintaimu. Aku cuma... aku lupa untuk sementara. Aku distracted. Aku bodoh. Tapi aku mencintaimu, Lara. Dan aku akan lakukan apapun—APAPUN—untuk dapatkan kamu kembali. Please. Berikan aku kesempatan untuk perbaiki ini."
Larasati menatap pria yang pernah jadi segalanya untuknya—pria yang dia pilih di atas career opportunities, yang dia bangun rumah bersama, yang dia percayai dengan seluruh hidupnya. Dan sekarang pria yang sama duduk di depannya, hancur dan desperate, memohon untuk sesuatu yang sudah terlambat.
Bagian kecil dari Larasati—bagian yang masih ingat bagaimana rasanya mencintai Gavin—merasa simpati. Tapi bagian yang lebih besar—bagian yang sudah terlalu lama terluka—merasa... kosong.
"Kamu bilang kamu mencintaiku," kata Larasati pelan. "Tapi Vin, cinta bukan cuma kata-kata. Cinta adalah pilihan. Setiap hari, kamu memilih. Dan selama bertahun-tahun, kamu memilih Kiran. Kamu memilih kebohongan. Kamu memilih untuk menyakiti aku daripada jujur dengan aku. Itu bukan cinta, Vin. Itu convenience."
"Aku tahu," Gavin mengangguk desperate. "Aku tahu aku salah. Tapi orang bisa berubah, Lara. Aku bisa berubah. Aku sudah mulai terapi. Aku putus semua kontak dengan Kiran. Aku akan transparent sepenuhnya. Aku—"
"Kamu melakukan semua itu karena kamu kehilangan segalanya," potong Larasati. "Bukan karena kamu sadar itu yang benar. Vin, kalau kamu tidak ketahuan, kalau scandal tidak pecah, kamu masih akan dengan Kiran sekarang. Kamu masih akan bohong ke aku. Kamu masih akan planning untuk ninggalin aku dengan cara yang kotor. Penyesalanmu datang dari konsekuensi, bukan dari conscience."
Gavin tidak bisa menyangkal karena itu kebenaran yang mereka berdua tahu.
"Tapi aku belajar," bisik Gavin. "Aku belajar dari kesalahan aku. Aku belajar bahwa aku almost throw away hal terbaik yang pernah terjadi ke aku. Dan Lara, aku tidak mau make that mistake lagi. Please. Just give me one more chance."
Larasati merasakan sesuatu pecah di dadanya—bukan hati, itu sudah pecah sejak lama. Tapi sisa terakhir dari harapan yang dia tidak sadar masih dia pegang. Harapan bahwa mungkin—just mungkin—mereka bisa fix ini.
Tapi saat dia menatap Gavin, yang dia lihat bukan suami yang dia cintai. Yang dia lihat adalah stranger yang memakai wajah familiar. Stranger yang menghancurkan hidupnya dan sekarang desperate untuk piece-nya kembali bersama, bukan untuk Larasati, tapi untuk dirinya sendiri.
Larasati berdiri perlahan. Gavin tersentak, panic di wajahnya.
"Lara, tunggu—"
"Aku sudah tidak mencintaimu lagi, Gavin," kata Larasati, suaranya tidak gemetar meski air mata mulai menggenang. "Maaf. Aku coba. Aku coba untuk masih merasakan sesuatu saat melihatmu. Tapi yang aku rasakan hanya... kosong. Kamu membunuh cintaku perlahan selama bertahun-tahun dengan setiap kebohongan, setiap pengkhianatan. Dan sekarang tidak ada yang tersisa."
"Tidak," bisik Gavin, berdiri juga, panic sepenuhnya sekarang. "Tidak, Lara, please. Kita bisa rebuild. Kita bisa mulai dari awal. Kita bisa—"
"Aku tidak mau mulai dari awal dengan kamu," kata Larasati dengan final. "Aku mau mulai dari awal dengan hidup yang baru. Tanpa kamu. Lawyer-ku akan kontak kamu untuk finalize divorce papers. Dan Vin—" dia menatapnya satu kali terakhir, "—kumohon jangan buat ini lebih sulit dari yang sudah. Untuk Abi. Untuk kita berdua. Just let me go."
Gavin menggeleng, air mata mengalir tanpa bisa ditahan. "Aku tidak bisa. Aku tidak bisa let you go. Kamu segalanya untuk aku—"
"Aku bukan segalanya untukmu," potong Larasati, dan sekarang air matanya juga jatuh. "Kalau aku segalanya, kamu tidak akan selingkuh. Goodbye, Gavin."
Dia berbalik dan berjalan ke pintu dengan langkah yang surprisingly steady meski dadanya remuk. Dia tidak menoleh saat Gavin memanggil namanya dengan desperate. Dia tidak berhenti saat dia dengar Gavin jatuh kembali ke kursi dengan isakan yang pecah.
Dia keluar dari kafe—keluar dari chapter terakhir dari pernikahannya—dan berjalan ke mobilnya yang terparkir dua blok jauhnya.
Dan saat dia sampai di mobil, saat pintu tertutup dan dia sendirian, Larasati akhirnya runtuh.
Tangannya mencengkeram setir dengan kuat sampai buku-buku jarinya putih. Dahinya jatuh ke setir. Dan dia menangis—menangis dengan intensitas yang tidak kalah dari Gavin tadi, menangis untuk delapan tahun yang terbuang, untuk cinta yang mati perlahan, untuk pernikahan yang seharusnya forever tapi berakhir di kafe yang sama di mana semuanya dimulai.
Dia membenci Gavin untuk apa yang dia lakukan.
Tapi bagian dari hatinya—bagian yang masih ingat pria yang dia jatuh cinta sepuluh tahun lalu, yang masih ingat janji-janji manis dan mimpi bersama—masih sakit. Masih mourning untuk apa yang bisa terjadi kalau Gavin membuat pilihan yang berbeda.
Dan di dalam mobil itu, sendirian dengan kesedihannya, Larasati menyadari sesuatu yang menyakitkan:
Melepaskan seseorang yang kamu cintai—bahkan kalau mereka menghancurkanmu—adalah jenis sakit yang berbeda. Bukan karena kamu masih mau bersamanya. Tapi karena kamu mourning untuk versi dari mereka yang kamu pikir mereka—untuk potential yang tidak pernah terealisasi, untuk janji yang tidak pernah dipenuhi, untuk masa depan yang tidak akan pernah terjadi.
Dan saat air matanya akhirnya mereda jadi isakan yang pelan, saat napasnya perlahan kembali normal, Larasati tahu:
Ini adalah akhir yang benar.
Menyakitkan, tapi benar.
Dan sekarang—sekarang dia harus figure out bagaimana membangun awal yang baru.
Dari abu pernikahan yang mati, dari kepingan hati yang hancur, dari perempuan yang hamper hilang di bayang-bayang pria lain.
Tapi satu hal yang pasti:
Dia tidak akan pernah—pernah—membiarkan siapapun, termasuk dirinya sendiri, melupakan worthnya lagi.
---
**Bersambung ke Bab 22**