NovelToon NovelToon
GITA & MAR

GITA & MAR

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Fantasi Wanita / pengasuh
Popularitas:4.1M
Nilai: 5
Nama Author: juskelapa

Gita yang gagal menikah karena dikhianati sahabat dan kekasihnya, menganggap pemecahan masalahnya adalah bunuh diri dengan melompat ke sungai.

Bukannya langsung berpindah alam, jiwa Gita malah terjebak dalam tubuh seorang asisten rumah tangga bernama Mar. Yang mana bisa dibilang masalah Mar puluhan kali lipat beratnya dibanding masalah Gita.

Dalam kebingungannya menjalani kehidupan sebagai seorang Mar, Gita yang sedang berwujud tidak menarik membuat kekacauan dengan jatuh cinta pada majikan Mar bernama Harris Gunawan; duda ganteng yang memiliki seorang anak perempuan.

Perjalanan Gita mensyukuri hidup untuk kembali merebut raga sendiri dan menyadarkan Harris soal keberadaannya.


***

Cover by Canva Premium

Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

007. Raga Lain

Siapa perempuan yang berteriak tadi? Aku enggak kenal.

Aku belum lompat. Sumpah, aku belum lompat.

Laki-laki berengsek tadi mendorongku. Aku dibegal dan didorong.

Ya, Tuhan …. Jangan hitung ini sebagai dosa bunuh diri. Aku dibunuh.

Aku benar-benar dibunuh, kan? Aku tau wajah pembunuhku.

Semuanya gelap gulita dan sunyi senyap. Tak ada cahaya setitik pun, tak ada bunyi sedenting pun. Gita merasa itulah akhir dari hidupnya. Dan ternyata mati tidak terlalu buruk, pikirnya.

Tapi … kenapa tidak ada lanjutan? Apa mati itu hanya sekedar mengambang dalam ruang hampa gelap gulita? Kapan cahaya terang datang menjemputnya? Bukannya di film-film biasa seperti itu?

Gita tak tahu berapa lama dirinya terombang-ambing dalam kegelapan dan kesunyian. Ia merasa mata dan telinganya terbuka lebar, namun hanya disambut kenihilan. Sampai sebuah suara ledakan membuatnya berusaha membuka mata. Ia mengeluarkan jeritannya yang paling tinggi, melengking. Berusaha memanggil siapa saja yang berada di dekatnya. Sia-sia. Tidak ada yang mendengar. Ia memang sudah mati. Inilah kematian. Jeritannya berganti dengan raung panjang.

Gita merasa dirinya melolong seperti seekor anjing yang tersesat di gurun pasir tengah malam.

Lalu sakit kepala hebat itu datang. Saking hebatnya, ia mual dan hampir muntah.

Ibu … sakit. Ini sakit. Aku belum mau mati. Tolong aku, Bu ….

Gita tersedu-sedu. Awalnya tangis itu hanya terdengar dalam kepala. Lama kelamaan Gita bisa mendengar suara seorang perempuan menangis cukup keras. Suaranya tangisnya mencicit seperti tikus. Bukan suara yang enak didengar. Rasanya ia ingin membentak wanita itu untuk diam.

“Bu … Ibu! Bangun!”

Suara anak laki-laki terdengar sangat jauh dari telinga Gita. Jelas tapi jauh.

“Bu! Bangun! Sadar, Bu!”

Suara itu semakin dekat. Dan bukan hanya suara anak laki-laki itu saja yang terdengar. Perlahan-lahan Gita mendengar banyak suara. Klakson motor, kucing kawin, suara kanak-kanak saling ejek dan tertawa. Lalu ada suara tukang jamu yang meneriakkan dagangannya bersamaan dengan tukang nasi goreng memukul penggorengannya. Itu suara kehidupan. Tapi kehidupan apa?

Ini bukan di rumah Ibu. Rumah Ibu perumahan yang tenang. Enggak berisik kayak gini. Ini juga bukan apartemenku. Enggak mungkin tukang jamu dagangnya dari pintu ke pintu apartemen.

“Ibu …. Jangan meninggal. Jangan meninggal …. Kasian Hasan.”

Gita merasa tepukan di tangannya.

Ibu? Siapa yang dipanggil Ibu? Aku? Siapa yang manggil Ibu? Siapa Hasan?

Dimulai dengan titik kecil yangmenyilaukan. Gita melihat sebuah cahaya seakan hadir di kegelapan yang pekat. Cahaya itu semakin semakin terang seiring suara-suara sekitarnya semakin jelas.

“Bu …!”

Teriakan anak laki-laki yang tidak Gita kenal membuka matanya. Gita membuka mata, mengerjap-ngerjap, lalu membelalak dan memegang kepalanya. “Aduh …. Berisik tau! Ngapain mesti teriak, sih? Ck.”

“Bu?” Anak laki-laki berusia sepuluh tahun mengguncang tangan Gita. “Ini aku, Jaya.”

“Ibu?” Gita cepat-cepat bangkit dan langsung meringis. Kepalanya masih berdenyut. “Siapa ibu?” Gita memandang kakinya. Betisnya gemuk pendek dengan warna kulit kecokelatan. Betis yang sering dipuji karena ramping dan bagus tak ada lagi. Kuku-kuku yang tergunting rapi hasil pedicure juga tidak ada.

“Bu?” Jaya mengguncang lengan wanita yang dikenalinya sebagai Ibu. Wajah wanita itu kebingungan. Sibuk meraba-raba kaki dan memandang tangannya.

“Aku di mana? Kenapa gini? Ini neraka? Apa ini hidup sesudah mati? Ini neraka, kan?” Gita meraba-raba tubuh yang ia rasa bukan miliknya.

“Iya, Bu. Ini neraka,” sahut Jaya.

“Hah?!” Gita melotot

“Ibu sering bilang kalau kita hidup di neraka. Ibu jangan ngeliat aku kayak gitu … aku takut.” Jaya cemberut memandang Gita dalam tubuh ibunya.

Gita terdiam. “Kaca? Mana kaca? Aku mau ngaca.” Gita gelagapan mencari cermin ke seluruh penjuru dinding. Jaya menunjuk pintu tirai pintu yang tertutup. Gita berlari menerobos tirai dan mendapati cermin kecil tersangkut rendah di dinding. Ia mengambil cermin dan melihat wajahnya. “Siapa ini? Siapa dia? Siapa? Gita mana? Mana Gita yang cantik? Ini benar-benar neraka! Aarrghhh ….”

Gita menggaruk-garuk kepalanya. Menyisir rambutnya dengan jemari dan menusuk-nusuk pipinya. “Ke mana rambut lurus panjang yang hitam pekat itu? Ke mana pipi tirus tanpa pori-pori yang selalu kubanggakan? Siapa perempuan jelek ini? Siapa?" Gita membawa cermin ke ruang tamu kecil tanpa kursi dan meneliti wajahnya di dekat pintu.

Tanpa Gita sadari, seorang anak laki-laki baru saja tersinggung karena perkataannya. Jaya menempelkan punggungnya ke dinding dan melorot sampai terduduk di lantai. Ia mengamati Gita yang sejak tadi mengumpat penampilan ibu yang amat ia sayangi.

“Buat aku dan Hasan Ibu selalu cantik. Jangan pukul badan. Ibu, kan, udah capek. Rambut ikal Ibu juga bagus. Persis kayak rambut Hasan. Kenapa Ibu jadi aneh?” Jaya mengamati bagian belakang tubuh ibunya dengan tatapan curiga.

Gita kembali menangis saat melihat penampilannya. Tidak peduli dengan ucapan sedih Jaya di belakang. “Aku di mana? Apa aku memang udah mati? Apa ini neraka?” Gita menurunkan cermin dan menatap sekeliling.

Selama ini ia memang tinggal di apartemen yang hanya memiliki satu kamar. Tidak terlalu luas tapi cukup untuk semua kegiatan pribadinya. Ia mencuci, memasak, menonton televisi, yoga, bahkan pijat. Sedangkan ruang tamu tempatnya berdiri sangat kecil, pengap, panas, berisik, kotor dan compang-camping.

“Ini memang neraka,” bisik Gita.

“Ini rumah kita,” sambung Jaya.

“Siapa kamu?” Akhirnya Gita menyadari keberadaan Jaya. “Sejak kapan kamu di situ?”

Jaya melemparkan tatapan curiga. Ia bangkit dari dan berjalan memutari wanita berwujud ibunya. “Ibu kayak bukan Ibu. Siapa kamu? Mana ibuku?”

“Siapa ibumu?” Gita bertanya balik dengan tatapan curiga pada Jaya.

“Mar,” jawab Jaya.

“Mar?” ulang Gita.

“Mar,” tegas Jaya.

“Di kehidupan ini namaku Mar? Apa mungkin kalau seseorang udah cantik banget di kehidupan sebelumnya makanya aku jadi perempuan buruk rupa?” Gita berbicara sendiri. “Apa aku punya tas? Aku mau lihat tanda pengenal. Mana tasku?” Gita kembali berkeliling mencari benda yang bisa jadi petunjuk soal kebingungannya.

Jaya menuju lemari hias dan mengeluarkan dompet kain. “Coba lihat di sini. Biasanya Ibu naruh benda berharganya di situ.”

Gita meraih dompet dengan wajah curiga, namun tangannya gesit membuka-buka dompet. “Siapa namaku di kehidupan ini? Mar? Marsinah? Marimar? Marie Susu?”

Jaya menggeleng-geleng. Ia semakin curiga dengan sosok ibu yang amat asing.

Setengah menggerutu akhirnya Gita menemukan kartu pengenal yang ia cari. Tangannya menerawang sebuah kartu dengan jarak amat dekat. “Mar …? Markisah?” Gita memandang Jaya.

Jaya mengangguk. “Markisah,” tegas Jaya. “Aku semakin yakin kalau ibu bukan ibuku. Aku tau gimana ibuku.”

“Kayak enggak ada nama lain aja. Markisah apa? Markisah sarang ular? Bahkan sampai nama juga dikasih yang begini. Kehidupan apa ini?” Gita memandangi tanda pengenal yang tidak ia kenali beberapa saat. Lalu mencampakkan kartu pengenal dan kembali meraih cermin. Meraba wajah bundar di pantulan cermin. Pipi tembam dan beruntusan itu sekarang miliknya. “Ternyata emang benar kata orang. Wanita cantik di bawah usia 30 tahun itu karena keturunan, tapi wanita cantik di atas 30 tahun itu karena pernikahan yang bahagia. Mar ini belum tua, tapi keliatan lebih tua. Pasti karena nggak happy,” gumam Gita.

“Tapi Ibu selalu bilang bahagia karena ada aku dan Hasan,” sambung Jaya.

“Siapa lagi Hasan?” Gita menggaruk kepalanya yang memang gatal sejak tadi. Rambut ikal mengembang di kepalanya terasa semak. “Ibumu enggak pernah keramas? Kapan terakhir gunting rambut?”

Jaya cemberut dan Gita menjadi tidak enak. Ia berdeham dan mengulangi pertanyaannya dengan lebih lembut. “Siapa Hasan?” ulang Gita.

“Hasan anak Ibu. Adikku. Hasan yang masih bayi dirawat Nenek.” Jaya menjelaskan dengan sangat lancar. Setengah menerima kalau wanita di depannya bukan sang ibu sungguhan.

“Nenek? Hasan?”

Pertanyaan tadi belum selesai. Jaya baru saja akan menjawab ketika kemunculan seseorang di ambang pintu mengejutkan mereka berdua.

“Mar! Ini anakmu Ibu kembalikan. Dibantu ngerawat anak selagi kerja tapi pelitnya minta ampun. Ambil anakmu ini! Minta bantu nambahin cicilan handphone buat adik sendiri aja kelewatan pelitnya.”

Gita menilik seorang perempuan tua yang meletakkan bayi berusia belum setahun ke lantai. Bayi itu merengek dan berusaha berdiri meraih tangan neneknya.

“Ini siapa?” tanya Gita dalam bisikan. Pertanyaan itu ia tujukan buat Jaya.

“Nenek. Ibunya Bapak. Biasa jagain Hasan.” Jaya juga menjawab dalam bisikan.

Bayi bernama Hasan itu rupanya tidak berkenan diletakkan sang nenek begitu saja. Ia terus merengek dan berusaha berdiri dengan berpegangan bingkai pintu. Hasan berpakaian kumal. Celana pendek dan singlet lusuh yang sudah longgar.

“Sana! Sana! Pergi sama ibumu!” pekik sang nenek, menepis tangan Hasan.

“Hei! Jangan kasar! Nenek apa yang dikasih duit baru baik ke cucu sendiri?” Gita dalam tubuh Mar berdiri mendatangi wanita tua berwajah masam.

To be continued

1
Anonymous
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Anonymous
🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Anonymous
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Anonymous
👍🤣🤣🤣🤣🤣
Anonymous
😊🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Nuralya_salwa
akhirnya Bu Helene dapat lawan yg tangguh semoga Gita jg pemenang nya😁😁
GudangGulaJaya💃🏻💫
Aduuh, Njus,,penasaran banget ama pembicaraan yg akan terjadi antara Oma Helena dengan Gita.bakalan memanas kah?itu pasti kan yee(bu Heleena yg sepertinya bakalan semakin panas mendengar perkataan dan jawaban² dari Gita yg sebelumnya udah dlm mode bad mood🤭)
lisna
suka banget liat wajah pucat Rama 😆...bisa pingsan nich Gita kl dengar udah di klaim pacar plus calon istri🤭
lisna
😲wooww ternyata pak Harris pemilik rumah sakit ckck q suka q suka pantes z mo menawarkan balas dendam ma Gita...siap siap z Rama qm berurusan ma pak Harris....ni mah judulnya dibuang dokter dapatnya pemilik rumah sakit git🤭
lisna
wess ayo mar cerita cerita mar lebih detail lg tentang Haris😁
lisna
iniii yg ditunggu tunggu q dukung 1000%haris bantu Gita balas dendam sama Rama monic...
lisna
Surti didalam nalar mar diluar nalar😂😂😂😂kl ada surti mah bawaannya ketawa z🤣🤣🤣hebat ya mar ngomongnya udah pake life skill😁🤭
Regita Regita
ketika Gita harus berhadapan langsung sama nyonya Helena dg segala kuasa nya. duh, penasaran kak Njuss sama jurus Gita menghadapi sang nyonya besar
Emma Risma
Gita selalu saja bikin ngakak
𝗞𝘂ͥ𝗿ᷱ𝗻ͥ𝗶ᷱ𝗮͜ ⁿʲᵘˢ
makin g sabar pemirsah..... episode adu mulut Gita sama bu Hel,pasti seeruuuuuu
Hani Hanifah
buat othor njuss.. selamat hari raya idul adha juga yaa... sehat-sehat semuanya
Hani Hanifah
selamat hari raya idul adha teman" dumay.. Gita & Mar semuanya.. moon maap klo saya suka komeng-komeng ga jelas yaa
suminar
😅😅😅😅😅😅
suminar
😄😄😄😄😄😄
suminar
😂😂😂😂😂😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!