SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6: JARAK YANG MENYIKSA
Senin pagi datang dengan hujan deras. Jakarta diselimuti awan gelap, lalu lintas lebih macet dari biasanya. Laura duduk di kursi penumpang taksi online, menatap tetesan air di jendela dengan pikiran kosong.
Dia hampir tidak tidur semalam. Bayangan ekspresi Julian terus menghantui. Artikel tentang tragedi itu terus berputar di kepalanya.
"Mbak, sudah sampai," ujar driver, memecah lamunannya.
Laura membayar dan bergegas masuk ke lobby Equity Tower, payungnya nyaris tidak berguna melawan angin yang membawa hujan.
Di lift, dia bercermin sekilas. Mata panda sedikit tersamar dengan concealer. Lipstik merah memberi ilusi energi. Blazer abu-abu terlihat profesional. Dari luar, Laura Christina masih terlihat sempurna.
Tapi di dalam, dia kacau.
Begitu sampai di lantainya, Dina menyambutnya dengan senyum. "Pagi, Mbak Laura! Ada paket dari Sentinel Security."
Laura menerima amplop putih tebal. Di dalamnya, kontrak kerja sama final yang sudah direvisi sesuai diskusi proposal. Dan sebuah sticky note kuning dengan tulisan tangan:
"Mohon ditandatangani dan dikembalikan paling lambat Rabu. Jika ada pertanyaan, hubungi saya langsung. - JM"
JM. Julian Mahardika.
Tulisan tangannya rapi, tegas, sedikit miring ke kanan. Laura menelusuri huruf-huruf itu dengan jari, merasa sedikit bodoh karena bahkan tulisan tangan Julian pun bisa membuatnya terharu.
Di kantornya, Laura mulai membaca kontrak dengan teliti. Ini adalah kontrak besar—kerja sama selama tiga tahun penuh dengan nilai miliaran rupiah. Tidak boleh ada kesalahan.
Tapi di halaman kelima, Laura menemukan klausul yang membuatnya mengernyit. Ada persyaratan untuk meeting koordinasi rutin—setiap dua minggu—antara project leader (Laura) dan CEO Sentinel (Julian).
Setiap dua minggu. Bertemu Julian setiap dua minggu selama tiga tahun.
Laura tidak tahu apakah ini berkah atau kutukan.
Ponselnya berdering. Nomor kantor Sentinel.
"Halo?"
"Miss Laura? Julian." Suara itu lagi—suara yang bisa membuat jantungnya berpacu hanya dengan menyebut namanya. "Apa kontraknya sudah diterima?"
"Sudah, Pak Julian. Saya sedang review."
"Bagus. Ada pertanyaan?"
Laura ragu sejenak. "Soal meeting koordinasi rutin... apa tidak bisa diwakilkan ke staff?"
Hening di seberang.
"Ada masalah dengan klausul itu?" nada Julian sedikit berubah—lebih dingin.
"Bukan masalah," Laura cepat-cepat menjawab. "Hanya memastikan efisiensi waktu. Saya tahu Anda sibuk—"
"Proyek ini prioritas tinggi bagi saya, Miss Laura," potong Julian. "Saya handle sendiri. Tidak saya delegasikan. Jika itu masalah untuk Anda, kita bisa diskusikan ulang kontraknya."
Ada ketegasan di suaranya yang tidak bisa dibantah. Dan Laura menyadari—ini bukan tentang dia. Ini tentang bagaimana Julian bekerja. Dia tidak percaya pada siapapun. Dia harus kontrol segalanya sendiri.
Mungkin itu juga cara dia mengatasi traumanya. Dengan mengontrol sebanyak mungkin aspek dalam hidupnya.
"Tidak masalah, Pak Julian," ujar Laura pelan. "Saya hanya memastikan. Meeting rutin tidak masalah untuk saya."
"Baik." Suara Julian sedikit melembut. "Kalau begitu, saya tunggu kontrak yang sudah ditandatangani paling lambat Rabu."
"Akan saya kirim."
"Oh, satu lagi," Julian menambahkan sebelum menutup telepon. "Meeting koordinasi pertama akan diadakan Kamis malam. Jam tujuh. Di kantor Sentinel. Saya akan kirim alamatnya via email."
Kamis malam. Malam, bukan siang. Artinya Laura akan menghabiskan waktu lebih lama dengan Julian di luar jam kerja formal.
"Baik, Pak Julian."
Sambungan terputus.
Laura meletakkan ponselnya di meja, menatapnya dengan perasaan campur aduk. Bagian dari dirinya senang—dia akan bertemu Julian lebih sering. Tapi bagian lainnya takut—takut semakin jatuh, semakin terluka.
Sisa hari Senin dan Selasa berlalu dalam kesibukan. Laura menyelesaikan review kontrak, mendapat approval dari Pak Widodo, dan menandatangani dokumen tersebut. Rabu sore, dia mengirimkan kontrak yang sudah ditandatangani via kurir ke kantor Sentinel.
Malam Rabu, Nia datang ke apartemen Laura dengan dua botol wine dan pizza.
"Kamu butuh ini," ujar Nia, menyodorkan wine. "Ceritakan semuanya."
Dan Laura menceritakan—tentang kontrak, tentang meeting rutin, tentang Kamis malam yang mendekat. Tentang bagaimana dia merasa seperti terjebak antara keinginan untuk dekat dengan Julian dan kebutuhan untuk melindungi hatinya sendiri.
"Lau," Nia berkata setelah mendengarkan dengan seksama. "Aku akan bilang sesuatu yang mungkin tidak ingin kamu dengar."
Laura menatapnya.
"Kamu harus membuat keputusan," lanjut Nia. "Entah kamu benar-benar mencoba untuk move on—dan itu berarti mungkin kamu harus mundur dari proyek ini, minta digantikan orang lain—atau kamu... kamu benar-benar mencoba untuk membuat Julian melihatmu. Beneran melihatmu."
"Bagaimana caranya?" bisik Laura. "Dia bahkan tidak ingat aku."
"Maka buat dia ingat. Buat dia melihat. Berhenti bersembunyi di balik profesionalisme. Berhenti takut terluka." Nia memegang tangan Laura. "Aku tahu ini menakutkan. Tapi hidup seperti ini—mencintai dari jauh tanpa pernah berusaha—bukankah itu lebih menyakitkan?"
Laura tidak menjawab. Karena Nia benar. Tapi mengetahui sesuatu itu benar dan berani melakukannya adalah dua hal yang berbeda.
Kamis malam tiba dengan cepat. Terlalu cepat.
Kantor Sentinel Security Services terletak di gedung modern di kawasan Kuningan. Laura tiba tepat jam tujuh, disambut oleh resepsionis yang ramah yang mengarahkannya ke lantai dua belas.
"Mr. Julian menunggu di ruang meeting B," ujar resepsionis. "Belok kanan dari lift, pintu ketiga."
Laura menaiki lift dengan jantung berdebar. Dia mengenakan dress hitam selutut dengan blazer abu-abu—profesional tapi tidak terlalu formal. Rambutnya dibiarkan terurai dengan sedikit wave, tidak seperti biasanya yang selalu disanggul ketat.
Perubahan kecil. Tapi perubahan.
Kata-kata Nia terus bergema di kepalanya: Buat dia melihat.
Ruang meeting B adalah ruangan dengan dinding kaca menghadap skyline Jakarta yang berkelap-kelip. Di tengah ruangan, meja panjang dengan dua laptop sudah terbuka. Dan di ujung meja, Julian berdiri dengan kemeja putih—lengan digulung hingga siku—dan celana bahan hitam.
Dia sedang menelepon, berbicara dalam bahasa Inggris dengan nada tegas. Saat mendengar pintu terbuka, Julian menoleh.
Mata mereka bertemu.
Dan Laura melihat sesuatu berkilat di mata Julian—sangat singkat—sebelum pria itu kembali ke ekspresi profesionalnya.
"I'll call you back," ujar Julian pada lawan bicaranya, lalu menutup telepon. "Miss Laura. Tepat waktu."
"Saya usahakan tidak pernah terlambat," jawab Laura, melangkah masuk.
Julian menunjuk kursi di seberangnya. "Silakan duduk. Apa mau minum sesuatu? Kopi? Teh?"
"Teh hijau, kalau ada."
Julian menekan interkom, memesan minuman. Lalu dia duduk, membuka laptopnya.
"Kontraknya sudah diterima. Semuanya in order," ujar Julian, langsung ke bisnis. "Malam ini kita akan finalisasi timeline dan milestone project. Saya sudah prepare draft-nya."
Julian memutar laptopnya agar Laura bisa melihat. Dia sudah menyiapkan chart detail—timeline tiga tahun dengan setiap fase konstruksi, instalasi sistem keamanan, testing, hingga hand-over.
Sangat detail. Sangat teliti. Khas Julian.
Mereka mulai berdiskusi. Laura memberikan input dari sisi konstruksi dan marketing, Julian dari sisi keamanan dan operasional. Diskusi berlangsung lancar—keduanya profesional, fokus.
Tapi di tengah diskusi, Laura mulai menyadari sesuatu.
Julian lelah.
Garis-garis halus di sekitar matanya lebih terlihat. Cara dia sesekali memijat pelipisnya. Cara dia menarik napas dalam seolah sedang menahan sesuatu.
"Pak Julian," Laura berkata pelan di tengah jeda diskusi. "Apa Anda tidak apa-apa?"
Julian menatapnya, terkejut dengan pertanyaan itu. "Kenapa Anda bertanya?"
"Anda terlihat... lelah."
Hening sejenak. Julian menatapnya lebih lama kali ini—bukan tatapan bisnis, tapi tatapan yang mencoba membaca Laura.
"Saya baik-baik saja," jawabnya akhirnya. "Hanya banyak pekerjaan."
"Anda harus istirahat juga," ujar Laura sebelum bisa menghentikan dirinya. "Tubuh punya batas."
"Saya tahu batas saya, Miss Laura," jawab Julian, nada nya sedikit lebih keras.
Laura menyadari dia sudah melanggar batas. Ini bukan tempatnya untuk peduli soal kesehatan Julian. Mereka hanya partner bisnis.
"Maaf," ujarnya cepat. "Saya tidak bermaksud—"
"Tidak apa-apa," potong Julian, tapi suaranya melembut. "Saya... appreciate concern-nya."
Mata mereka bertemu lagi. Dan untuk sesaat—sangat singkat—Laura melihat sesuatu di mata Julian. Bukan kekosongan yang biasa. Tapi sesuatu yang lain. Rasa ingin tahu? Kebingungan?
Ketukan di pintu memecah moment itu. Seorang staff masuk dengan nampan berisi teh dan kopi.
Diskusi berlanjut hingga hampir jam sepuluh malam. Saat mereka akhirnya selesai, Laura menyadari tiga jam telah berlalu—terasa seperti tiga puluh menit.
"Good work tonight," ujar Julian, berdiri dan merapikan dokumen-dokumennya. "Timeline-nya sudah final. Saya akan email soft copy-nya besok pagi."
Laura mengangguk, mengemas laptopnya. "Terima kasih untuk diskusinya, Pak Julian."
"Saya yang terima kasih." Julian berhenti, menatapnya. "Anda... Anda sangat teliti. Detail-oriented. Jarang saya menemukan partner bisnis seperti itu."
Pujian itu—sederhana tapi tulus—membuat pipi Laura sedikit menghangat. "Saya hanya melakukan pekerjaan saya."
"Dan Anda melakukannya dengan sangat baik."
Laura tersenyum—senyum yang kali ini bukan senyum profesional, tapi senyum yang tulus.
Dan Julian—Julian membalasnya. Senyum tipis, nyaris tidak terlihat, tapi ada di sana.
Mereka berjalan keluar bersama. Di parkiran basement, mobil mereka terparkir tidak jauh satu sama lain.
"Drive safe, Miss Laura," ujar Julian saat mereka berpisah di antara mobil masing-masing.
"Anda juga, Pak Julian."
Laura masuk ke mobilnya, tapi tidak langsung pergi. Dia melihat Julian berjalan ke mobilnya—BMW hitam mengkilap—dan masuk. Mobilnya menyala, tapi tidak langsung bergerak.
Melalui kaca, Laura bisa melihat Julian duduk di kemudi, kepalanya bersandar sejenak di headrest. Terlihat sangat lelah. Sangat sendirian.
Tanpa sadar, Laura merasakan dadanya sesak. Dia ingin keluar, mengetuk jendela Julian, mengatakan sesuatu—apapun—untuk menghilangkan kesepian yang terlihat jelas di postur tubuh Julian.
Tapi dia tidak bergerak.
Akhirnya, mobil Julian mulai bergerak, meninggalkan parkiran.
Laura duduk sendirian di mobilnya, menatap tempat mobil Julian tadi terparkir.
Jarak. Selalu ada jarak antara mereka. Jarak yang Julian bangun. Jarak yang Laura tidak tahu bagaimana cara menyeberanginya.
Tapi malam ini—malam ini ada sesuatu yang berbeda. Cara Julian menatapnya. Senyum tipis itu. Pujian tulus itu.
Mungkin, hanya mungkin, jarak itu mulai menyempit.
Atau mungkin Laura hanya berharap terlalu banyak lagi.
Dengan perasaan campur aduk, Laura menyalakan mobilnya dan pulang. Malam Jakarta menyambutnya dengan lampu-lampu yang berkelap-kelip—indah tapi dingin.
Seperti perasaannya untuk Julian. Indah, tapi menyakitkan.
Dan Laura tidak tahu sampai kapan dia bisa bertahan hidup dengan sakit ini.