Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Matahari Besok yang Terancam
Isi pesan di balik foto itu membuat nafas Arfan tertahan sejenak, karena tertulis sebuah kalimat yang menyatakan bahwa matahari esok yang terancam bukan hanya milik Fatimah, melainkan juga milik masa depan panti asuhan ini. Jemarinya mencengkeram kertas tua itu hingga sedikit koyak di bagian ujungnya. Ia menoleh ke sekeliling area parkir yang sunyi, merasa ada berpasang-pasang mata yang sedang menertawakan kegelisahannya dari balik kegelapan tembok-tembok kusam.
"Siapa yang meletakkan ini di sini?" gumam Arfan dengan nada rendah yang dipenuhi penekanan.
Ia segera masuk ke dalam mobil dan membanting pintu dengan keras, mencoba meredam gejolak amarah yang mulai membakar dadanya. Mesin mobil menderu kencang saat ia memutar kunci, namun pikirannya justru terbang jauh melampaui pagar panti asuhan. Arfan tahu bahwa ancaman ini bukan sekadar gertakan kosong dari seorang pengusaha yang sedang murka karena kehilangan kendali atas putrinya.
"Aku harus menemukan Fatimah sebelum Haikal menemukannya," ucap Arfan sambil menginjak pedal gas dengan dalam.
Mobil hitam itu melesat membelah jalanan tanah yang bergelombang, meninggalkan debu yang beterbangan menutupi pandangan ke arah pintu gerbang panti. Arfan melirik telepon genggamnya, berharap ada laporan masuk dari detektif swasta yang ia sewa untuk mengawasi pergerakan Haikal secara diam-diam. Namun, layar itu tetap gelap, seolah-olah semesta sedang bersekongkol untuk membiarkannya berjalan dalam kebutaan total malam ini.
Sementara itu, Fatimah sedang meringkuk di balik tumpukan kotak kayu di sebuah gang sempit yang hanya diterangi oleh lampu neon yang berkedip-kedip tidak beraturan. Nafasnya masih memburu, menciptakan uap tipis di balik kain cadarnya yang kini terasa lembap karena keringat dan air mata. Setiap suara langkah kaki yang bergema di aspal membuatnya berjengit ketakutan, membayangkan tangan dingin Haikal yang akan menyeretnya kembali ke dalam penjara emas milik ayahnya.
"Ya Allah, berikanlah aku jalan keluar yang tidak pernah aku duga sebelumnya," bisik Fatimah dengan suara yang tercekik oleh isak tangis.
Ia meraba saku pakaiannya dan menemukan sebuah kunci kecil yang diberikan oleh Ibu Sarah beberapa minggu yang lalu sebagai cadangan. Kunci itu menuju ke sebuah rumah tua milik mendiang suami Ibu Sarah yang terletak tidak jauh dari pinggiran kota, sebuah tempat yang jarang dikunjungi orang. Fatimah tahu bahwa ia tidak bisa terus berada di jalanan, karena parasnya yang tersembunyi justru akan mengundang kecurigaan lebih besar bagi patroli keamanan atau anak-buah Haikal.
Tiba-tiba, suara deru motor besar terdengar mendekat ke arah gang tempatnya bersembunyi, membuat lampu gang semakin terang benderang oleh sorot lampu depan kendaraan tersebut. Fatimah menutup matanya rapat-rapat, merapatkan tubuhnya ke dinding tembok yang dingin dan berlumut hingga punggungnya terasa ngilu. Ia mendengar mesin motor itu dimatikan tepat di depan mulut gang, disusul oleh suara dentuman standar motor yang menghantam tanah dengan keras.
"Aku tahu kamu ada di sini, Zahra. Jangan membuatku harus menggeledah setiap tumpukan sampah hanya untuk menemukanmu," teriak sebuah suara yang sangat ia kenali.
Itu adalah suara Haikal, pria yang ditunjuk ayahnya sebagai pengawal pribadi sekaligus calon tunangannya yang sangat ambisius dan tak kenal ampun. Fatimah menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun, meskipun rasa takutnya sudah berada di puncak tertinggi. Ia melihat bayangan tubuh tinggi besar Haikal mulai memanjang di permukaan aspal gang, melangkah perlahan namun pasti menuju tempat persembunyiannya.
"Pergilah, Haikal! Jangan pernah mencari aku lagi!" teriak Fatimah akhirnya karena tidak tahan lagi dengan tekanan batin yang menyiksa.
Haikal tertawa kecil, suara tawanya terdengar sangat mengerikan di tengah keheningan malam yang mencekam di gang sempit tersebut. Ia mempercepat langkah kakinya, membuat suara sepatu botnya beradu dengan beton gang menciptakan irama yang menakutkan bagi pendengaran Fatimah. Pria itu kini sudah berdiri hanya beberapa meter dari tumpukan kotak kayu, dengan wajah yang nampak sangat puas karena berhasil menemukan mangsanya.
"Kamu pikir kamu bisa lari dariku setelah semua yang telah ayahmu rencanakan untuk masa depan kita?" tanya Haikal sambil menyilangkan tangan di depan dada.
"Aku bukan barang dagangan yang bisa kalian perjualbelikan demi kepentingan perusahaan kalian!" balas Fatimah dengan keberanian yang mendadak muncul.
"Sayangnya, di dunia ini, semua hal ada harganya, Zahra. Termasuk kebebasanmu yang konyol ini," ucap Haikal sambil meraih lengan Fatimah dengan kasar.
Fatimah meronta sekuat tenaga, mencoba melepaskan cengkeraman tangan Haikal yang terasa seperti lilitan besi panas di kulit lengannya yang halus. Ia mencoba menendang tulang kering Haikal, namun pria itu dengan mudah menghindar dan justru menarik tubuh Fatimah hingga wajah mereka hanya terpaut beberapa inci saja. Aroma parfum mahal bercampur bau asap rokok dari tubuh Haikal membuat Fatimah merasa mual dan ingin segera muntah di tempat tersebut.
Namun, sebelum Haikal sempat menyeret Fatimah menuju motornya, sebuah hantaman keras dari arah samping mengenai rahang pria itu dengan sangat telak. Haikal terhuyung ke belakang hingga menabrak dinding gang, sementara pegangannya pada lengan Fatimah terlepas seketika akibat guncangan yang tidak terduga tersebut. Arfan berdiri di sana dengan nafas yang tersengal-sengal, mengepalkan tangannya yang kini memerah akibat benturan fisik yang baru saja ia lakukan.
"Lepaskan dia sekarang juga jika kamu masih ingin melihat matahari besok pagi dengan wajah yang utuh," ancam Arfan dengan suara yang dingin dan berwibawa.
Haikal meludah ke samping, melihat sedikit darah keluar dari sudut bibirnya sebelum ia menatap Arfan dengan tatapan penuh dendam yang membara. Ia merogoh saku jaket kulitnya, menarik sebuah benda logam yang nampak berkilat tajam di bawah cahaya lampu jalan yang remang-remang. Arfan segera mendorong Fatimah ke belakang tubuhnya, bersiap menghadapi segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi di gang gelap yang tidak terjangkau oleh bantuan siapa pun.
"Jadi ini pengacara hebat yang ingin menjadi pahlawan bagi wanita yang tidak ia kenal sama sekali?" ejek Haikal sambil memainkan pisau lipat di jemarinya.
"Aku mengenal siapa yang benar dan siapa yang salah dalam urusan ini, Haikal," jawab Arfan tanpa sedikit pun menunjukkan rasa gentar.
"Kebenaran tidak akan bisa membayar biaya perawatan panti asuhanmu yang mulai bangkrut itu, Arfan," balas Haikal dengan senyum yang meremehkan.
Arfan merasa dadanya bergejolak saat Haikal membawa-bawa masalah keuangan panti asuhan ke dalam percakapan mereka yang sedang memanas ini. Ia menyadari bahwa keluarga Al-Fahri telah melakukan penyelidikan mendalam tentang setiap aspek kehidupannya untuk menemukan titik lemah yang bisa mereka serang. Tanpa menunggu serangan Haikal, Arfan menerjang maju dengan sebuah pukulan lurus yang berhasil ditangkis oleh Haikal menggunakan gagang pisaunya.
Perkelahian itu berlangsung sangat sengit di ruang yang terbatas, di mana suara benturan tubuh dan nafas yang memburu menjadi musik latar yang sangat mengerikan. Fatimah hanya bisa mematung di sudut gang, melihat bagaimana Arfan mempertaruhkan nyawanya hanya untuk melindunginya dari pria yang ingin menghancurkan hidupnya. Ia merasa sangat berdosa karena telah menyeret pria sebaik Arfan ke dalam pusaran masalah keluarganya yang sangat kotor dan penuh darah.
Tiba-tiba, Haikal berhasil menyabetkan pisaunya ke arah bahu Arfan, merobek kemeja putih sang pengacara hingga cairan merah mulai merembes keluar dengan cepat. Arfan mengerang kesakitan namun ia tidak menyerah, justru ia menggunakan kesempatan itu untuk memberikan sundulan kepala ke arah hidung Haikal hingga pria itu terjatuh. Arfan segera menarik tangan Fatimah dan membawanya berlari menuju arah mobilnya yang terparkir tidak jauh dari mulut gang tersebut.
"Masuk ke dalam mobil sekarang juga! Jangan pernah keluar sebelum aku yang memerintahkannya!" perintah Arfan sambil mengunci pintu mobil dengan cepat.
Arfan kembali menoleh ke arah gang, melihat Haikal yang mulai bangkit dengan wajah yang berlumuran darah namun tetap terlihat penuh kegilaan. Tanpa menunggu pria itu menyerang kembali, Arfan segera masuk ke kursi pengemudi dan memutar kemudi dengan sangat lincah untuk melakukan putar arah di jalanan yang sempit. Ia menginjak pedal gas sedalam-dalamnya, meninggalkan Haikal yang berteriak-teriak penuh amarah sambil mencoba mengejar mereka dengan motor besarnya.
Di dalam mobil, suasana terasa sangat tegang dengan hanya suara nafas Arfan yang berat serta isak tangis tertahan dari arah Fatimah di kursi samping. Arfan melirik sekilas ke arah lengannya yang terus mengeluarkan darah, namun ia mencoba menahan rasa nyeri itu agar tidak mengganggu fokusnya dalam mengemudi. Ia harus membawa Fatimah ke tempat yang benar-benar aman, di mana jangkauan kekuasaan Pratama Al-Fahri tidak akan bisa menyentuh mereka dengan mudah.
"Maafkan saya, Tuan Arfan. Gara-gara saya, Anda harus terluka seperti ini," ucap Fatimah dengan suara yang bergetar hebat karena rasa bersalah.
"Jangan meminta maaf atas hal yang bukan merupakan kesalahanmu, Fatimah. Aku melakukannya karena ini adalah tugas setiap manusia untuk melindungi yang lemah," jawab Arfan dengan sisa-sisa kekuatannya.
"Tapi mereka tidak akan pernah berhenti mengejar kita. Ayahku adalah orang yang sangat keras kepala dan tidak akan membiarkan apa pun menghalangi keinginannya," lanjut Fatimah sambil menundukkan kepalanya.
Arfan terdiam sejenak, memikirkan setiap langkah yang harus ia ambil setelah kejadian malam ini yang telah mengubah segala permainannya menjadi lebih nyata. Ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi hanya menggunakan jalur hukum formal untuk menghadapi orang-orang seperti Pratama yang memiliki segalanya. Ia perlu mencari sekutu di dalam bayang-bayang, orang-orang yang juga memiliki dendam atau kepentingan yang sama untuk menjatuhkan dinasti keluarga Al-Fahri.
Mobil itu terus melaju menuju pinggiran kota, melewati hamparan sawah yang gelap dan hutan-hutan kecil yang nampak angker di bawah cahaya bulan yang tertutup awan. Arfan melirik kaca spion tengahnya berkali-kali, memastikan bahwa lampu motor Haikal tidak muncul lagi di belakang mereka untuk melakukan pengejaran ulang. Ia mengarahkan mobilnya menuju sebuah rumah kecil yang tersembunyi di balik rimbunnya pohon-pohon bambu, sebuah tempat yang ia sewa atas nama orang lain untuk keadaan darurat.
"Kita akan tinggal di sini untuk beberapa waktu sampai situasi di kota sedikit mereda," ucap Arfan sambil mematikan lampu depan mobil sebelum memasuki area rumah tersebut.
Fatimah melihat ke arah bangunan kayu yang nampak sangat sunyi itu, merasa ada sedikit harapan di tengah kegelapan yang sedang mengepung hidupnya saat ini. Namun, saat ia melangkah keluar dari mobil, ia menyadari sesuatu yang sangat mengerikan yang tertinggal di kursi penumpang tempatnya duduk tadi. Ada sebuah goresan kecil di pintu mobil bagian dalam yang nampak seperti sebuah simbol kuno, simbol yang pernah ia lihat di dalam buku catatan rahasia milik ibunya sebelum beliau meninggal dunia.
Simbol itu berbentuk sebuah lingkaran dengan garis-garis silang yang rumit di tengahnya, menandakan bahwa ada rahasia besar tentang asal-usul keluarganya yang belum ia ketahui. Arfan nampak tidak menyadari keberadaan simbol tersebut karena ia sibuk memegangi bahunya yang terluka sambil mencoba membuka pintu rumah kayu yang nampak sudah lama tidak ditempati itu. Fatimah merasa dadanya sesak, menyadari bahwa pelarian ini mungkin hanya awal dari sebuah perjalanan panjang untuk mengungkap kebenaran yang jauh lebih menyakitkan.
Lengan yang memberi pegangan pada Fatimah saat turun dari mobil tiba-tiba terasa sangat lemas, karena Arfan mulai kehilangan kesadaran akibat pendarahan yang tidak kunjung berhenti di bahunya.