Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak 6: Kencan Mewah, Siska yang Curiga, dan Permainan di Bioskop
“Ya sudah, Mas minta maaf ya. Gimana kalau nanti kita hangout? Kita refreshing sebentar, gimana?” Ajak Varo, tangannya menangkup wajah Cilla agar tatapan mata mereka bertemu.
“Hangout? Maksud Mas, jalan-jalan?” tanya Cilla, ekspresi cemberutnya langsung berganti menjadi wajah yang berseri-seri penuh antusias.
“Iya, jalan-jalan. Kita kan sudah lama juga nggak kencan berdua. Mumpung ada kesempatan, lebih baik kita habiskan waktu berdua di luar sana,” ucap Varo sambil mengelus puncak kepala Cilla dengan lembut.
“Tapi kan Mas ada jadwal kerja hari ini? Nggak apa-apa kalau bolos?”
“Soal kerjaan itu gampang banget, Sayang. Mas bisa atur semua. Hari ini Mas anggap ambil cuti mendadak dan mengurus kamu seharian penuh. Setelah urusan kamu selesai di kampus, kita langsung cabut ke mal terbesar di kota ini, kita shopping, ya!” Varo memberikan janji yang membuat Cilla langsung sumringah.
“Ke mal, Mas? Wah, aku mau banget! Aku sudah lama nggak belanja di sana!” seru Cilla kegirangan.
Tak lama kemudian, mobil mewah Varo pun tiba di kampus Cilla. Varo memutuskan menunggu di dalam mobil, bersandar santai sambil memainkan ponselnya.
Sikap Varo benar-benar berubah 180 derajat. Ketika bersama Aini, istrinya, sikapnya selalu dingin, setiap ucapan Aini terasa seperti angin lalu. Varo bahkan sangat perhitungan. Aini pernah menginginkan barang yang sangat pribadi, tetapi Varo selalu menolak dengan alasan ‘menghemat’ dan ‘anggaran keluarga’. Namun, untuk Cilla, ia tampak rela menghabiskan uang berapa pun.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, Cilla keluar dari kampusnya dan langsung melompat masuk ke dalam mobil.
“Sayangg,” panggil Cilla manja, langsung mencium pipi Varo.
“Udah selesai, baby?” tanya Varo dengan senyum manis yang jarang sekali ia tunjukkan pada Aini.
“Udah, dong! Cuma sebentar kok. Kita jadi, kan, jalan-jalan ke mal, Sayang?”
“Iya, jadi dong. Yuk, kita berangkat sekarang. Mas nggak sabar mau lihat kamu senang,” ajak Varo, segera menjalankan mobil.
“Ayo, Mas! Aku sudah nggak sabar lagi mau shopping di sana. Semoga koleksi terbarunya udah masuk semua!”
Mereka berdua pun bergegas pergi dari sana dan langsung menuju salah satu mal terbesar di kota itu.
Sesampainya di mal, Varo dan Cilla saling bergandengan tangan, berjalan dengan kepala tegak, layaknya sepasang kekasih yang baru dimabuk asmara. Mereka seolah ingin memamerkan kemesraan mereka di depan umum.
“Mas, aku mau beli tas dan baju yang mahal, dong. Tadi aku lihat teman-teman cewek di kampus, pakaian dan tas mereka branded semua. Aku nggak mau kalah saing!” ucap Cilla sambil terus bergelayut manja di lengan Varo.
“Iya, Sayang. Kamu boleh beli apa pun yang kamu suka. Hari ini Mas yang traktir semua,” ucap Varo kepada selingkuhannya itu.
“Beneran, Mas? Boleh semua yang aku suka dan mau?” tanya Cilla, matanya berbinar-binar penuh kesenangan.
“Benar, Sayang. Kamu tinggal pilih aja, nanti Mas akan bayar semua belanjaan kamu. Kamu pantas dapat semua yang terbaik,” janji Varo.
Cilla pun dengan cepat langsung menuju butik tas branded yang ia idamkan. Ia memilih tas yang paling mahal di sana. Begitu pula dengan pakaian, ia memilih pakaian modis ala anak muda zaman sekarang yang cenderung terbuka dan tentu saja, berharga selangit.
“Mas, yang ini gimana? Bagus nggak?” seru Cilla sambil menempelkan mini dress yang ketat dan rok pendek yang sangat minim di tubuhnya.
“Emmm, cocok banget, Sayang. Kamu akan terlihat seksi dan cantik pakai itu. Pasti semua cowok bakal iri sama Mas,” jawab Varo, menyiratkan nafsu.
Tanpa mereka sadari, dari arah berlawanan, ada sepasang mata yang sedang melihat mereka dengan pandangan terkejut.
“Hah! Itu kan Varo? Suaminya Aini?” ucap seseorang itu dalam hati. Dia adalah Siska, teman baik Aini.
“Dia sama siapa? Kenapa terlihat seperti pasangan yang sedang pacaran? Mesra banget,” gumam Siska, wajahnya dipenuhi kebingungan dan kecurigaan.
Siska pun memutuskan untuk menghampiri mereka.
“Varo!” Panggil Siska dengan suara cukup keras.
“Siska!” ucap Varo, wajahnya langsung memucat dan terlihat sangat terkejut. Ia langsung melepaskan genggaman tangannya dari Cilla.
“Kamu dengan siapa ke sini, Var? Bukannya kamu harusnya kerja?” tanya Siska, tatapannya tajam.
“Mas, aku udah selesai milih nih, langsung bayar aja, ya,” Tiba-tiba Cilla muncul dari balik rak dan menarik tangan Varo dengan manja, tidak menyadari betapa paniknya Varo.
Varo semakin gugup dan takut ketahuan Siska, karena ia tahu Siska dan Aini sangat dekat. Jika Siska tahu, maka Aini pasti akan tahu.
“Eh, iya, tunggu sebentar dulu,” Varo melepaskan tangan Cilla dari tangannya.
“Kamu kenapa sih, Mas? Kok jadi aneh gini?” seru Cilla kesal dengan sikap Varo yang tiba-tiba berubah dingin.
“Dia siapa, Var? Jelasin,” tanya Siska, sambil mengamati Cilla dari ujung rambut sampai kaki, melihat barang-barang mahal yang sudah ditenteng Cilla.
“Aku pa...” Cilla hendak menjawab.
“Dia adik iparku, Sis,” Varo dengan cepat memotong pembicaraan Cilla, ia takut Cilla keceplosan menceritakan hubungan gelap mereka.
“Apa-apaan sih, Mas Varo?! Kenapa bilang cuma adik ipar?! Kenapa nggak jujur aja?” ucap Cilla dalam hati langsung terlihat sangat kesal dan cemberut.
“Maksudnya, adik Aini, Var?” tanya Siska lagi, alisnya terangkat.
“Iya, Sis, adik Aini, Cilla. Dia baru datang kemarin dan rencana mau melanjutkan kuliah di sini juga,” jawab Varo dengan cepat.
“Ohhh,” seru Siska, mengangguk ragu.
“Terus Aini ke mana? Kok nggak ikut?” lagi dan lagi, Siska bertanya, menyelidik.
“Mbak Aini nggak ikut, dia ada di rumah,” bukan Varo yang menjawab, melainkan Cilla dengan nada ketus.
Varo segera menimpali,
“Iya, Sis. Tadi aku habis nganterin Cilla ke kampus untuk melengkapi berkas pendaftaran kuliah dia. Karena dia baru di kota ini, jadi sekalian aku belikan pakaian dan barang-barang yang perlu dia gunakan untuk kuliah nanti.” Varo berbohong dengan sangat lancar dan meyakinkan.
“Kalau begitu kami duluan ya, Sis. Masih banyak toko yang harus kami kunjungi,” Varo langsung menarik Cilla menjauh. Tanpa menunggu jawaban Siska, Varo bergegas pergi.
“Aneh. Adik ipar? Tapi kenapa perlakuan mereka dan sikap mereka menunjukkan seperti sepasang kekasih?” gumam Siska, yang masih melihat kepergian Varo dan Cilla dengan pandangan penuh curiga.
“Aini tahu nggak ya kalau suami dan adiknya ke sini? kok perasaan gue nggak tenang. gue harus kasih tahu Aini,” pikir Siska, ia pun segera pergi dari tempat itu untuk melanjutkan belanjanya sambil merencanakan panggilan telepon ke Aini.
Sesampainya di dalam mobil, Cilla langsung marah besar kepada Varo.
“Kamu kenapa sih, Mas?! Aku malu banget!” tanya Cilla ketus.
“Kenapa apanya?” Varo bertanya balik, dengan nada lelah.
“Kenapa kamu nggak bilang aja tadi kalau kita ini pacaran? Kenapa kamu malah bilang aku adik iparmu?! Aku merasa dihina!” dengus Cilla.
“Kamu mau Aini sampai tahu hubungan kita? Dia itu Siska, Sayang! Teman Aini! Mereka itu sangat dekat! Jangan sampai dia curiga, bisa gawat nanti kalau sampai Aini tahu!” ucap Varo, suaranya sedikit meninggi karena panik.
“Memangnya Mbak Aini sepenting itu?! Kenapa kamu takut banget sama Mbak Aini?” tanya Cilla, wajahnya penuh amarah.
"Lagian, kalau ketahuan nggak apa-apa, dong, Mas? Itu lebih bagus! Bukannya Mas juga sudah bosan dan jijik dengan Mbak Aini, kan?” lanjut Cilla dengan wajah sewotnya.
Sreett! Varo menginjak rem mendadak, membuat mobil berhenti total.
“Aww, Mas! Apa-apaan sih?!” ucap Cilla sambil memegang keningnya yang terbentur dashboard.
“Kamu bilang apa tadi?!” tanya Varo, tatapannya mengeras.
“Kenapa kamu nggak suka aku bilang gitu? Memang benar, kan? Lebih baik Mas ceraikan saja Mbak Aini! Buat apa dipertahankan lagi kalau Mas sudah nggak cinta!” desak Cilla.
“Mas tidak bisa ceraikan Aini, Cilla! Sampai kapan pun Mas nggak mau!” ucap Varo, tegas.
“Jadi maksud Mas, hubungan kita harus gini terus?! Lama-lama pastinya akan ketahuan juga, Mas! Dan aku yakin, pasti Mbak Aini nggak akan terima! Jadi lebih baik kita jujur aja sekarang!” tuntut Cilla panjang lebar.
“Mas belum siap, Cilla. Kamu tahu, berkat Mbakmu juga Mas bisa menjadi karyawan tetap di kantor, dan sekarang Mas baru saja diangkat menjadi Manajer. Kalau Mas cerai, bisa-bisa karier Mas hancur karena Aini punya koneksi dan informasi penting di kantor itu!” jelas Varo, mengungkapkan motif utamanya.
“Alah! Itu mah alasan Mas aja! Aku tahu, Mas masih cinta kan sama Mbak Aini?!” ucap Cilla dengan marah, ia merasa dibohongi.
Varo hanya diam. Jauh di lubuk hatinya, ia memang masih cinta kepada Aini, hanya saja ia bosan dengan penampilan dan kehidupan ranjang mereka.
“Jawab, dong, Mas! Benar kan kamu masih cinta sama Mbak Aini?” desak Cilla.
“Sayang, kamu dengerin Mas, ya. Untuk sekarang, kita memang belum bisa terang-terangan soal hubungan kita. Kamu sabar, ya. Mas janji, bakalan nikahin kamu kok, tapi nanti, setelah semuanya aman. Mas janji,” bujuk Varo, menenangkan Cilla.
“Awas saja kalau kamu bohong, Mas! Aku bakalan kasih tahu ke semua orang kalau kita punya hubungan gelap!” ancam Cilla.
Varo hanya terdiam. Dia juga masih bingung dengan perasaannya.
“Sudah, dong. Jangan marah lagi,” Varo mulai menjalankan mobil.
“Gimana kalau kita nonton film horor di bioskop? Biar kamu nggak marah lagi, double seat barisan belakang, ya?”
Mendengar ajakan bioskop, mata Cilla kembali berbinar.
“Aku mau, Mas! Aku janji nggak marah lagi kalau kita nonton film yang baru rilis itu!”
Mereka segera menuju bioskop. Varo membelikan dua tiket di barisan paling belakang dan double seat yang sangat privat. Mereka masuk ke studio yang remang-remang.
Begitu film dimulai dan lampu dipadamkan, Cilla langsung menyandarkan kepalanya di bahu Varo, berpura-pura ketakutan saat adegan horor muncul.
“Mas, aku takut!” bisik Cilla manja.
“Ada Mas di sini, Sayang. Nggak perlu takut,” bisik Varo kembali, lalu ia langsung memeluk Cilla dan mulai menciumnya.
Ciuman itu berlangsung lama dan penuh gairah. Di tengah suara dentuman film horor dan teriakan penonton, Varo dan Cilla menikmati permainan tersembunyi mereka. Varo merasa bebas dan dimanjakan. Cilla memberinya perhatian dan petualangan yang tidak ia dapatkan di rumah.
“Kamu nakal banget, Sayang,” bisik Varo di telinga Cilla, tangannya mulai menjelajahi bagian pinggang Cilla.
“Aku cuma mau Mas Varo fokus sama aku aja, nggak sama yang lain,” jawab Cilla, membiarkan Varo bertindak lebih jauh di balik kegelapan bioskop.
Sepanjang sisa film, mereka terus menikmati kemesraan terlarang itu, seolah dunia milik mereka berdua.
Setelah film selesai dan lampu studio menyala, Varo dan Cilla langsung duduk tegak, merapikan pakaian mereka, wajah keduanya memerah penuh kepuasan.
“Itu kencan yang seru, Mas. Aku suka banget!” ujar Cilla, menyandarkan kepalanya di bahu Varo sambil berjalan keluar studio.
“Mas juga suka. Sekarang kita cari tempat makan malam romantis, ya? Mas nggak mau dinner di rumah hari ini,” kata Varo, lalu mengeluarkan ponselnya untuk mengirim pesan singkat pada Aini.
Varo berbohong, mengatakan pada Aini bahwa ia harus menghadiri makan malam penting dengan klien dari luar kota dan akan pulang sangat larut. Ia tidak tahu bahwa Aini di rumah hanya tersenyum dingin. Aini tahu semua kebohongan itu.
Bersambung
...****************...