“Jangan sok suci, Kayuna! Kalau bukan aku yang menikahimu, kau hanya akan menjadi gadis murahan yang berkeliling menjual diri!”
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6
Kayuna menelan ludah, begitupun dengan Adrian. Keduanya seolah tak percaya akan bertemu di sana, mata mereka saling menatap, namun sorot mata keduanya tak lagi sama.
‘Dia … benar-benar Adrian?’ batin Kayuna seraya menatap nanar pada pria yang tak asing itu.
Sementara Adrian masih terhanyut dalam pandangannya yang tak bisa teralihkan, ia terus menatap perempuan yang mengguncang dadanya itu.
Kayuna menunduk dalam-dalam, berusaha tenang meski jantungnya terus berdegup kencang.
“Kalian saling kenal?” tanya Niko, bola mata yang menyala itu pun menyorot Adrian penuh curiga.
Adrian yang sejak tadi terpaku pada Kayuna pun kini menggeser pandangannya. “Kami —”
“Tidak!” potong Kayuna dengan cepat, ia menggelengkan kepala seraya menatap Adrian penuh arti — seolah memberi kode untuk pura-pura tak mengenal. “Aku nggak kenal,” tuturnya kemudian.
Adrian terdiam sebentar, namun ia segera paham apa maksud Kayuna. “Benar. Saya salah mengenali orang, maaf,” ucapnya akhirnya.
Mata Niko menyipit curiga. Ia berputar pelan, mengitari sang dokter dengan tatapan penuh selidik, hingga langkahnya berhenti tepat di depan Adrian. Sorot matanya semakin tajam — cukup lama menatap Adrian.
Pria arogan itu pun tersenyum remeh sebelum bersuara. “Tolong urus kepulangan istri saya, dia sudah merasa lebih baik sekarang,” ujarnya setelah mengalihkan pandangannya ke arah dokter Ridho.
Ridho mengangkat alisnya. “Tapi, Pak. Istri Anda masih membutuhkan perawatan, lukanya cukup dalam, dan beliau menderita hipotensi akut akibat dehidrasi,” jelasnya berusaha mencegah niat Niko.
“Anda masih belum mengerti? Istri saya memiliki dokter pribadi, dokter itu yang akan mengurusnya lebih lanjut,” sergah Niko penuh penekanan.
Adrian melirik sekilas gerak-gerik Kayuna, jari telunjuknya terus bergerak — menekan ibu jari, erat, gugup, seolah berusaha menenangkan diri.
Sebagai psikiater, jelas Adrian tahu Kayuna sedang dalam tekanan. Ia pun segera menegakkan bahunya, tatapannya tegas saat menahan tangan Niko yang tengah menarik paksa Kayuna.
“Tunggu, Pak,” cegahnya. “Anda perlu mematuhi peraturan rumah sakit, demi menghindari aduan yang bisa merugikan pihak mana pun. Kami harap Anda bisa bekerja sama, dan mengizinkan istri Anda tetap menjalani perawatan hingga tahap akhir.”
Niko menyeringai. “Kenapa dokter-dokter di sini sangat menyebalkan? Apa kalian tuli?!” desisnya tajam.
Adrian menegang, namun ia berusaha tetap tenang. “Maaf, Pak. Saya bisa melaporkan Anda karena melanggar kebijakan sekaligus hak keperawatan pasien, yang seharusnya dijamin penuh. Jadi silahkan pilih — pulang dan terima konsekuensinya, atau tetap di sini dan ikuti aturan kami.”
Mata Niko menajam, rahangnya mengeras. Tangannya dengan cepat meraih jas Adrian. “Anda tidak tahu siapa saya?” tukasnya dengan angkuh.
“Mas!” teriak Kayuna berusaha mencegah suaminya, tapi langkahnya tertahan ketika Adrian mengangkat tangannya — memberi isyarat agar tak ikut campur.
Adrian masih berdiri dengan tenang, senyum tipis terulas di wajahnya. “Siapapun Anda, kami akan tetap bertindak sesuai dengan kebijakan, Pak,” tegasnya.
Niko masih mencengkram Adrian, tapi kepalanya kini mulai berpikir logis. Dia ingin segera pulang, namun ia harus menjaga nama baiknya dan menghindari pelanggaran, yang bisa saja merusak reputasinya sebagai CEO terpandang yang dikenal patuh peraturan.
“Sial,” dengusnya sambil melepaskan cengkramannya.
Adrian masih menegakkan bahunya — merapikan jasnya dengan tenang, seolah ancaman di hadapannya bukan hal besar.
“Dokter Ridho,” Suara Adrian terdengar tegas. “Segera bawa pasien kembali ke ruang rawat inap, berikan pelayan terbaik dan rawat pasien hingga tahap akhir,” perintahnya pada Ridho, seraya memberi kode dengan bahasa wajah.
Ridho bingung sejenak, namun ia segera paham dan langsung meraih sebuah kursi roda yang terletak tak jauh dari tempat mereka berdebat. “Baik, Dokter Adrian,” sahutnya.
Ridho pun buru-buru menghampiri Kayuna dan memintanya untuk duduk di kursi roda. “Silakan, Bu. Mari saya antar kembali ke kamar.”
Kayuna ragu-ragu, ia masih berdiri dengan tubuh sedikit gemetar di belakang Niko. “Mas Niko ….”
Niko menoleh pelan. “Sial,” desisnya lagi. “Pergilah,” ucapnya kemudian.
Kayuna pun akhirnya kembali ke ruang rawat inap bersama dengan Dokter Ridho. Sementara dua pria lainnya masih berdiri saling beradu tatapan tajam.
“Saya tidak tahu apa hubungan Anda dengan Istri saya, tapi sepertinya … Anda sangat peduli terhadapnya,” Suara Niko rendah namun terdengar menusuk.
Adrian menunduk sembari tersenyum tipis, lalu kembali mengangkat wajahnya — menatap Niko. “Sebagai dokter, saya pasti akan sangat peduli dengan pasien. Siapapun itu,” jelasnya.
Niko menyunggingkan sudut bibirnya. “Benarkah?” jawabnya sambil tersenyum remeh.
“Silakan lengkapi data dan tanda tangani surat persetujuan perawatan,” ujar Adrian. “Melihat bagaimana lukanya juga dehidrasi akut yang dideritanya, pasien akan menghabiskan beberapa hari di rumah sakit,” sambungnya seraya memanggil salah satu perawat untuk memberikan lembaran kertas persetujuan kepada Niko.
Niko masih mengatupkan bibirnya, sorot matanya dipenuhi rasa kesal juga kecurigaan yang menyulut amarahnya. Namun, akhirnya ia tetap menandatangani surat itu.
“Kalau begitu saya permisi,” Adrian pamit setelah puas melihat Niko menandatangani surat tersebut.
Niko merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel lalu menghubungi Kevin — tangan kanannya.
“Kukirimkan nama, dia seorang dokter. Selidiki latar belakangnya,” ujarnya dalam telepon.
***
Cahaya samar matahari pagi menembus celah gorden putih yang menjuntai. Di bangsal pasien, Kayuna duduk dengan wajah sayu. Matanya menyipit saat sinar surya menerpa pipinya, napasnya masih berat — seolah tubuhnya belum sepenuhnya pulih.
Hari ini Niko tengah dinas ke luar kota, sementara Kayuna kini ditemani oleh Mbok Surti, ia merasa bosan karena hanya berdiam diri di dalam ruangan.
“Mbok, aku bosan. Mau keluar dulu ya, sebentar,” ujar Kayuna.
Mbok Surti yang tengah duduk di sofa pun langsung beranjak. “Mau saya antar, Nyonya?”
Kayuna menggeleng pelan. “Nggak usah, Mbok istirahat aja, semalam begadang, kan?”
“Tapi, Nyonya ….”
“Saya cuma mau cari angin di dekat sini aja kok,” sambung Kayuna.
Kayuna pun segera turun dari bangsal, ia melangkah pelan sambil menarik tiang infus beroda — keluar dari ruangan.
Mbok Surti menghela napas pelan. “Perempuan yang malang … semoga segera membaik ya, Nyonya. Semoga Tuhan berbelas kasih dan mengakhiri penderitaanmu,” lirihnya sambil menatap sayu majikannya itu.
Kayuna berjalan pelan menyusuri koridor rumah sakit. Tanpa sadar, langkahnya terhenti di depan Unit Rehabilitasi Psikiatri. Ia menoleh sekilas, pandangannya langsung tertuju pada satu dokter yang tengah menenangkan pasien.
Dia mundur selangkah, lalu mengendap — mengintip di sisi pintu. Matanya berbinar, sudut bibirnya terangkat, senyum tipis muncul di wajahnya.
Seorang dokter muda tengah membujuk pasiennya, tutur bahasanya lembut, suaranya terdengar menenangkan. Kayuna terhanyut dalam pesona hangat sang dokter.
“Anda mencari seseorang?” Suara dokter Alif pelan, namun membuat Kayuna terlonjak.
“Astaghfirullah!” Kayuna reflek mengucap.
Alif tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan telapak tangannya. “Maaf, saya membuat Anda terkejut?” ujarnya. “Tapi … apa yang Anda lakukan di sini?”
Kayuna mengerjap cepat, memikirkan satu alasan di kepala. “Saya … dokter, itu —”
“Dokter Adrian? Anda mencarinya?” potong Alif.
Sebelum Kayuna menjawab, Alif langsung melangkah masuk dan memanggil Adrian.
“Dokter Adrian, ada seseorang yang mencari Anda,” ucapnya.
“Bu-bukan … saya tidak mencarinya,” bisik Kayuna, namun tak terdengar oleh Alif.
Kayuna menepuk pelan dahinya, matanya semakin membulat kala melihat sosok Adrian berjalan ke arahnya. “Sial, dia beneran ke sini?”
Ia pun buru-buru berbalik, hendak menghindari dokter tersebut.
“Anda mencari saya?” Suara lembut Adrian sontak membuat Kayuna terhenti.
Perempuan itu membeku, dunia seolah berhenti, hanya terdengar degupan jantungnya yang terus berpacu.
Adrian mengamati sekeliling, lalu kembali menatap ke arah Kayuna. “Apa aku masih harus pura-pura tak mengenalmu?”
Kayuna menelan ludah, napasnya terasa berat, lalu perlahan berbalik menatap Adrian. “Itu … maaf, aku nggak bermaksud —”
Kayuna meremas erat ujung baju pasiennya, berulang kali menggigit bibir bawahnya, gugup bercampur gelisah.
Adrian menyadari itu. Tatapan mereka saling bertemu, namun keduanya terdiam, senyum canggung terulas — kikuk, hanya tersisa kata yang menggantung di udara.
Adrian menegakkan wajahnya. “Kamu … ada waktu?” tanyanya memecah keheningan. “Aku ingin bertanya sesuatu.”
Kayuna mengangkat alisnya. “Hah?!” ujarnya sedikit kaget, namun segera menganggukan kepala.
“Ikuti aku,” ajak Adrian sambil melangkah pelan.
Dengan ragu-ragu Kayuna pun mengikuti langkah dokter itu.
*
*
Bersambung ….