Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Gunting Berkarat Penjaga Jiwa
Sesosok makhluk yang terbuat dari gunting-gunting berkarat mulai merayap keluar dari atas plafon, menatap mereka dengan mata yang berbentuk lubang jarum. Setiap kali sendi logamnya bergerak, suara pekikan besi yang saling beradu terdengar seperti jeritan ribuan nyawa yang sedang dicabut paksa. Aris Mardian terpaku di bawah bayangan raksasa itu, merasakan tetesan minyak pelumas berwarna hitam jatuh mengenai keningnya dengan aroma karat yang sangat menyengat.
"Sekar, lari ke arah dapur! Makhluk ini adalah perwujudan dari seluruh alat penjagal jiwa keluarga Mardian!" teriak Aris sambil menarik tangan Sekar Wangi.
"Pintu dapur sudah terkunci oleh lilitan benang kawat, Aris! Kita terjebak di ruang tengah ini!" sahut Sekar dengan suara yang nyaris tertelan suara logam.
Makhluk gunting itu tiba-tiba melompat jatuh dari plafon, menghantam lantai ubin hingga hancur berkeping-keping tepat di depan kaki mereka. Bilah-bilah logam yang sangat besar dan berkarat itu membuka dan menutup secara liar, mencoba menggunting udara di sekitar leher Aris. Aris merasakan perih yang luar biasa saat serpihan logam kecil yang beterbangan mulai menggores pipinya hingga mengeluarkan darah segar.
"Gunakan botol cuka kayu yang terakhir, Sekar! Kita harus membuat sendi-sendi logamnya menjadi korosi secara paksa!" perintah Aris dengan napas tersengal.
"Botolnya pecah saat kita terjatuh tadi, Aris! Aku hanya memiliki sisa serbuk belerang di kantong ini!" jawab Sekar sambil merogoh tas medisnya dengan cepat.
Aris memutar otaknya sebagai seorang perancang bangunan, matanya menatap tajam ke arah soko guru atau tiang utama rumah yang berada tepat di belakang makhluk tersebut. Ia menyadari bahwa makhluk gunting itu terikat pada energi bangunan rumah tua ini melalui benang-benang gaib yang menjuntai dari langit-langit. Jika ia bisa memancing makhluk itu untuk memotong tiang tumpuannya sendiri, maka seluruh beban plafon akan runtuh menimpa tubuh logam tersebut.
"Hei, makhluk terkutuk! Kejar aku jika kamu memang ingin memutus garis keturunanku!" tantang Aris sambil berlari ke arah tiang utama.
"Aris, apa yang kamu lakukan? Itu sangat berbahaya, kamu bisa tertimbun hidup-hidup!" pekik Sekar yang terkejut melihat kenekatan Aris.
Makhluk gunting itu mengeluarkan suara raungan mesin yang sangat keras, lalu merangkak dengan cepat menggunakan kaki-kaki logamnya yang berjumlah delapan. Setiap langkahnya meninggalkan lubang besar di lantai kayu, menunjukkan betapa berat dan kuatnya tekanan logam yang menyusun tubuhnya. Aris berdiri tepat di depan tiang kayu jati yang sangat besar, menunggu saat yang tepat ketika bilah gunting raksasa itu mengayun ke arahnya.
"Sekarang, Sekar! Lempar serbuk belerang itu ke arah matanya yang berbentuk lubang jarum!" teriak Aris sambil bersiap melakukan gerakan menghindar.
Sekar melemparkan segenggam serbuk belerang kuning, menciptakan awan debu yang sangat pedih dan membutakan pandangan makhluk penjaga jiwa tersebut. Dalam kondisi buta sesaat, makhluk itu mengayunkan gunting raksasanya dengan kekuatan penuh ke arah suara napas Aris yang berada di depan tiang. Aris melompat ke samping dengan kecepatan maksimal, membiarkan bilah logam yang tajam itu menghujam dalam ke dalam serat kayu jati tiang utama.
Suara kayu yang pecah berdentum sangat hebat, diiringi oleh getaran dahsyat yang mengguncang seluruh fondasi rumah tua tersebut. Tiang soko guru itu patah menjadi dua bagian, menyebabkan struktur plafon di atasnya mulai runtuh perlahan-lahan menimpa tubuh makhluk gunting tersebut. Namun, makhluk itu tidak tinggal diam dan menggunakan sisa tenaganya untuk menarik Aris ikut masuk ke dalam reruntuhan yang sedang jatuh.
"Kamu tidak akan pergi ke mana pun, pewaris darah hitam!" suara logam itu terdengar bergema langsung di dalam otak Aris.
"Lepaskan aku! Aku bukan milikmu dan tidak akan pernah menjadi milikmu!" balas Aris sambil menendang sendi logam makhluk tersebut.
Sekar Wangi berlari menerjang debu reruntuhan, menarik kerah baju Aris dengan sekuat tenaga tepat saat balok kayu besar jatuh menimpa kaki makhluk gunting itu. Ledakan energi gaib terjadi, melemparkan Aris dan Sekar ke arah pintu keluar yang tiba-tiba terbuka akibat guncangan bangunan yang sangat hebat. Mereka terlempar keluar menuju teras, sementara di belakang mereka, rumah tua itu mulai diselimuti oleh kabut hitam yang sangat tebal.
Aris bangkit dengan susah payah, melihat tangannya yang kini dipenuhi oleh bercak hitam yang membentuk pola seperti jahitan yang tidak beraturan. Ia merasa pendengarannya mulai menajam, namun bukan suara alam yang ia dengar, melainkan langkah-langkah kaki yang sangat banyak di atas plafon yang sebenarnya sudah runtuh. Suara itu terdengar sangat ritmis, seolah-olah ada ribuan orang yang sedang berjalan serempak di atas kepala mereka tanpa terlihat rupa fisiknya.
"Suara itu... apakah mereka masih mengejar kita ke luar rumah ini, Sekar?" tanya Aris dengan mata yang dipenuhi rasa ngeri.
"Langkah kaki itu tidak berasal dari dalam rumah, Aris, tapi berasal dari alam lain yang baru saja terbuka!" jawab Sekar sambil menunjuk ke arah atap rumah yang gelap.
Di atas genteng yang sudah hancur, Aris melihat bayangan-bayangan hitam mulai bermunculan satu per satu, berdiri tegak menantang rembulan yang berwarna merah. Mereka semua memiliki postur tubuh yang kaku, dan suara langkah kaki mereka terdengar semakin jelas memenuhi seluruh halaman rumah yang kini terasa sangat sempit. Aris menyadari bahwa ini baru awal dari teror yang lebih besar, karena bayangan-bayangan itu mulai menirukan setiap gerak-gerik yang ia lakukan.
Aris menyadari bahwa ini baru awal dari teror yang lebih besar, karena bayangan-bayangan itu mulai menirukan setiap gerak-gerik yang ia lakukan.