Hati Nadia pecah berkeping-keping mendengar Asri, sang ibu mertua menyuruh Arkan untuk menikah lagi didepan matanya.
"Kamu kan, juga butuh penerus untuk usahamu. Kalau Bilqis kan, beda. tetap saja bukan darah dagingmu, keponakanmu ya selamanya begitu."
Percakapan di meja makan tiga minggu lalu itu masih jelas terpatri di benak Nadia.
Meski sang suami selalu membela dengan berkata bahwa pernikahan itu bukan tentang ada dan tidaknya keturunan didalamnya, melainkan tentang komitmen dua orang untuk selalu bersama dalam suka dan duka.
Hingga suatu malam Nadia menemukan sesuatu di dalam telepon genggam Arkan. Sesuatu yang membuat dunia Nadia runtuh seketika.
Apa yang Nadia temukan? Lalu bagaimana Nadia menyikapinya?
Lalu bagaimana dengan Dio, yang muncul tiba-tiba dengan segudang rahasia gelap dari masa lalu nya? Mungkinkah mereka saling menabur racun diatas hama? Atau justru saling jatuh cinta?
Ikuti kisah mereka, dalam Kau Berikan Madu, Maka Ku Berikan Racun. 🔥🔥🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jee Ulya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa?
"Pagi pak Arkan, siang ini bapak ada janji makan siang sama klien di Orchid hotel, pukul 12.00 lalu setelahnya bapak ada rapat evaluasi keuangan dengan tim 1 pada jam 13.45, selebihnya jadwal berjalan seperti biasa ya pak," sambut Ayu pagi ini sambil menggulir tab ditangannya.
"Baik, Yu. Terimakasih," Arkan melepas jas nya pada tiang gantungan pakaian disamping meja kerjanya.
Ayu yang hendak pergi meninggalkan ruangan itu berbalik badan membuat sleek high ponytail nya sedikit bergerak mengikuti tubuhnya.
"Mm, sepertinya bapak juga melupakan sesuatu. Ada janji yang bapak buat kemarin. Tapi bapak melupakannya," bisik Ayu menyinggung sesuatu sambil berkedip menggoda bosnya dengan sebelah mata.
"Maju, Yu..." Arkan menggerakkan tangan sedikit melambai pada sekretarisnya itu.
Tetapi bukannya Ayu yang bergerak melainkan Arkan yang mendekat.
"Jangan dikuncir gini, nanti saya tergoda," Arkan menarik scrunchie yang menahan rambutnya, untaian hitamnya itu tergerai begitu saja tanpa bisa Ayu cegah.
Ayu terkesiap, jantungnya seperti berhenti berdetak. Sedangkan Arkan kembali menjauh mengenakan kacamata anti radiasi nya dan menyalakan laptop. Membiarkan sekretarisnya itu menenangkan diri.
"O, iya. Maaf ya, semalam dudah melarangmu pergi, tapi saya nya malah ngga dateng," ujar Arkan seolah tanpa sesal.
Malam itu setelah Arkan mengirim pesan untuk Ayu, ia tidak langsung menuju apartemen bawahannya itu, melainkan dia memilih melajukan kendaraannya ke arah pantai di pinggiran kota.
Ia tak cukup berani untuk kembali kemanapun. Yang ia bisa hanyalah pergi sejenak, menikmati aroma laut yang menenangkan. Berjalan-jalan sendirian.
Sampai pagi ini, di meja kerjanya sekalipun dia belum kembali ke rumahnya. Belum bertemu Nadia maupun putrinya, ia masih terlalu takut. Dia memilih langsung menuju kantornya.
Arkan memandangi ponselnya lama, di layar menampilkan kontak istrinya, berulang kali mencoba untuk menekan tombol buka blokir. Tapi rasa takut masih menghalangi.
Sampai akhirnya, nomor tak dikenal memanggilnya dari telepon kantor. Arkan mengangkat dengan sedikit ragu.
"Halo, dengan bapak Arkan? Ini saya dari sekolah Bilqis. Bilqis nya belum dijemput, pak. Tetapi ibunya bilang tolong hubungi Ayahnya, ibu bilang dia juga sedang berada di UGD," suara di seberang terdengar tenang tetapi tegas.
Arkan menelan ludah, menutup telepon setelah mengucapkan kata "terima kasih". Namun panggilan itu meninggalkan beban di dadanya, sebuah pengingat bahwa tanggung jawabnya menunggu. Tidak bisa ditinggal lebih lama lagi.
Tak butuh waktu lama Arkan segera menjemput ke sekolah, menggendong Bilqis lalu menyetir menuju rumah sakit. Sesampainya disana mereka langsung menuju bangsal naratetama yang ditunjukkan. Ayu yang mengekor sudah mendapatkan kabar bahwa Asri lah yang sedang dirawat. Sementara Arkan tetap membopong Bilqis, ia berjalan cepat melintasi lorong berbau desinfektan itu.
Di dalam tampak Nadia sedang mencoba menyuapi Mamanya makanan yang disajikan. Sup bening berisi wortel.
Asri hanya menutup rapat bibirnya yang mulai keriput, sedangkan badannya ia miringkan ke kanan, membelakangi menantunya.
"Gimana, Ma?" Arkan tergopoh menanyai ibunya setelah sampai di ruangannya.
"Migrain mama kambuh, Mas. Makanya tadi jatuh di tangga," Nadia menanggapi.
Arkan terdiam menatap istrinya yang terlalu sempurna itu. Bagaimana dia masih bisa bersikap lembut pada orang yang beberapa kali menyakitinya.
"Eyang, cepat sembuh ya," Bilqis meraih punggung tangan Asri yang terpasang infus.
Asri sama sekali tidak berbalik. Nadia yang merasa putrinya itu diabaikan memilih mengajaknya keluar setelah menyapa sopan pada Ayu.
"Bagaimana pusing Mama nggak kambuh, kamu aja Mama suruh milih diantara gadis-gadis yang Mama kenalkan, tapi nggak ada cocok," Asri mengambil nafas sejenak,
"Mama nggak sembarangan milih mereka, mereka berpendidikan, dari keluarga yang tidak biasa-biasa saja." lanjut Asri tanpa jeda.
"Cukup, Ma." Arkan mengehentikan omong kosong ibunya.
"Lalu, apa? Kamu mau nunggu Mama mati?" Asri berbalik menatap keduanya.
"Ma, Mama nggak inget, Nadia, Ma. Perempuan yang selalu Mama perlakukan semena-mena. Tapi dia masih mau merawat Mama dengan tulus," bela Arkan pada istrinya yang berada diluar.
"Mama nggak nyuruh kalian bercerai... Tapi kamu nikah lagi, kasih Mama cucu dari darah dagingmu sendiri. Itu yang Mama minta!" pertegasnya.
Ayu menggigit bibir dalamnya kuat. Menahan napas melihat ketegangan itu.
"Cukup, Ma. Renungkan lagi kata-kata Mama. Aku pergi dulu. Ada janji."
Arkan pergi diikuti sekretarisnya setelah berpamitan pada Nyonya Besar keluarga itu.
"Hubungi Nadia, bilang saya sudah pergi karena ada janji. Bilang saja, nanti saya makan malam dirumah." Pinta Arkan pada Ayu, Ia belum berani bertatap muka langsung dengan istrinya, meskipun dari kejauhan Ia melihatnya sedang menemani putrinya di area play ground rumah sakit.
Kali ini Ayu yang dipilih untuk menyetir, memang sedari awal niat Arkan mengajak Ayu adalah agar bisa dimintai tolong jaga-jaga jika Arkan mendadak tiba mampu mengemudi.
Arkan duduk disebelah Ayu, sedikit menurunkan joknya supaya lebih rileks. Lengannya bertumpu pada wajahnya dan menutup matanya. Penampilannya sudah tidak serapi tadi pagi. Dasinya sedikit longgar kancing lengannya sudah terlepas.
Hening sesaat, hanya ada deru napas Arkan yang terasa kasar. Ayu menoleh sekilas lalu tetap fokus pada jalanan. Ia tahu seberapa berat beban yang ditanggung lelaki dewasa disebelahnya itu.
"Menepi sejenak, Yu. Masih cukup waktu, kan?" Arkan memberi perintah tanpa membuka matanya.
"Baik, Pak!" Ayu mengehentikan laju kendaraannya di bahu jalan, memilih tempat agar tidak menggangu pengendara lain.
"Saya... Saya cuma butuh pelukan. Peluk saya, Yu..." pinta Arkan putus asa. Tidak ada arogansi, tidak ada kesombongan, hanya kerapuhan yang terpancar dari suaranya.
"Pak..." Ayu tidak lagi memiliki hasrat memiliki, hanya rasa iba yang menguar di kabin mobil itu.
Hening, tidak ada jawaban. Ayu melepas seat beltnya. Mendekat pada bosnya, tangan Arkan sigap menarik pinggang berisinya. Ayu jatuh diatas tubuh bos nya dalam posisi tengkurap.
Nafas mereka bertemu. Ketegangan di dalamnya cukup terasa. Napas ayu yang tertahan, juga pikiran Arkan yang terlampau rumit.
Ayu tidak kuasa menahan degupan dadanya, ia hendak bangkit, saat tangan kekar itu meraihnya kuat.
"Sebentar aja, Yu..." Arkan menenggelamkan kepalannya dipundak Ayu.
Sesaat kemudian, keduanya saling menatap, masih dengan posisi yang sama. Ayu memberanikan diri untuk membelai area bibir bosnya, permukaan kasar karena jenggot nya yang mulai mulai tumbuh, membuat keduanya larut.
Arkan yang merasa Ayu bisa mengerti perasaannya mulai terpejam, egonya runtuh dihadapan sang sekretaris. Ia merasai hembusan nafas mereka. Tanpa sadar bibir mereka sudah bertaut.
Arkan melepaskan setiap rasa yang ia hadapi saat ini. Pikirannya terbang seiring pergumulan tidak sengajanya dengan Ayu siang itu.
"Yu..." suara serak Arkan memanggil namanya, "terimakasih, Yu. Saya belum pernah merasa selega ini sebelumnya,"
Tidak ada yang lebih indah selain penyatuan mereka yang membuang emosi masing-masing, meskipun dengan jalan menjijikkan.
"Tidak apa, pak. Itu sudah tugas saya menolong bapak," Ayu tersenyum manis, bagi Ayu ini adalah sebuah kemenangan mutlak. Ia yakin bosnya itu tak akan mudah berpaling darinya setelah ini.
Arkan mengambil alih kemudinya, mereka melanjutkan menuju hotel Orchid sesuai yang dijadwalkan.
Sedikit bau pandan menguar diantara parfum lavender Ayu dan aroma kayu dari tubuh Arkan.
"Pak, sepertinya saya tidak bisa ikut makan siang..." Ayu memecah kesunyian.
"Kenap..." Arkan menggantung pertanyaannya saat melihat kondisi sekretarisnya itu, "kita balik ke apartemen kamu dulu."
jangnlah dulu di matiin itu si ayunya Thor..Lom terkuak Lo itu kebusukan dia ..biar tmbh kejang2 itu si asri sama Arkan kalo tau belang ayu..
dengan itu sudah membuktikan..kalo ternyata ayu bukan hamil anak arkah..hahahahahahahaha..sakno Kowe..