NovelToon NovelToon
Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Cinta Beda Dunia / Cinta Terlarang / Mata Batin / Romansa / Reinkarnasi
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14: Bhaskara & Dzaki Menikah

Tiga minggu setelah mimpi buruk itu, Arsyan dapat undangan pernikahan.

Dua undangan sekaligus.

Bhaskara sama Dzaki—sahabatnya sejak SMP—akhirnya nikah di hari yang sama. Kebetulan? Entahlah. Tapi yang jelas, mereka berdua kompak sampe urusan nikah pun barengan.

"Gas, lo dateng kan?" tanya Bhaskara pas mampir ke warung soto Arsyan, sambil bawa kotak undangan warna pink norak.

"Ya dateng lah. Emang gue tega nggak dateng?" Arsyan buka undangannya—kertas glossy penuh bunga-bunga. "Eh tapi Bhas... kenapa undangan lo pink?"

"Itu pilihan Nayla. Gue maunya biru, tapi dia ngamuk. Ya udah gue nurut aja."

Arsyan ketawa. "Lo udah dibawah sandal sebelum nikah, Bhas."

"Bodo amat. Yang penting gue nikah." Bhaskara nyengir lebar. "Eh Gas, lo bawa istri kan? Gue pengen kenalan lebih deket sama Wulan."

Arsyan langsung tegang. "Kenalan buat apa?"

"Ya buat... tau aja. Soalnya gue penasaran, Gas. Istri lo itu... misterius banget."

Arsyan nggak jawab. Dia cuma senyum tipis—tapi dalem hati, dia was-was.

Semoga aja nggak ada kejadian aneh-aneh.

Hari pernikahan tiba.

Sabtu sore, jam tiga. Matahari masih terik—tapi angin lumayan sepoi-sepoi. Pernikahan diadain di masjid besar kampung sebelah, yang lebih gede dan lebih mewah daripada masjid tempat Arsyan nikah dulu.

Arsyan sama Wulan dateng naik motor—motor bebek tua yang knalpotnya udah sember. Wulan duduk di belakang, peluk pinggang Arsyan erat, pake gamis hijau tosca sama kerudung sewarna.

"Mas... aku nervous," bisik Wulan di tengah perjalanan.

"Nervous kenapa?"

"Takut... takut ketemu banyak orang."

"Santai aja. Mereka baik-baik kok."

Tapi Arsyan ngerasain pelukan Wulan makin erat—kayak dia lagi takut sesuatu.

Sesampainya di masjid, tempatnya udah rame banget. Undangan Bhaskara sama Dzaki digabung—jadi makin rame, makin heboh.

"GASSS!" teriak Bhaskara dari kejauhan, pake baju pengantin adat Jawa—blangkon, beskap coklat keemasan, jarik. Mukanya bersinar—campuran seneng sama nervous.

Arsyan salim ke Bhaskara—lalu ketawa. "Bhas, lo keliatan kayak wayang."

"Emang. Nayla yang milih kostum. Katanya biar gagah." Bhaskara melipir lebih deket, bisik pelan. "Gas, gue nervous banget. Nanti ijab kabul gimana? Gue takut salah ngomong."

"Santai, Bhas. Ikutin aja kata pengantinnya."

"Lo gampang ngomong. Lo kan udah pernah."

Arsyan tepuk bahu Bhaskara. "Lo pasti bisa."

Di sisi lain, Dzaki duduk sendirian di pojok—pake baju koko putih polos, peci putih, muka pucat pasi kayak mau pingsan.

"Zak!" panggil Arsyan sambil mendekat. "Lo kenapa? Sakit?"

"Aku... aku takut, Mas Arsyan," bisik Dzaki—suaranya gemetar. "Takut nanti aku salah ucap. Takut nanti nggak sah. Takut—"

"Zak, lo hapal Qur'an 30 juz. Masa ucapan ijab kabul aja lo takut?"

"Ini beda, Mas! Ini... ini pernikahan! Ini... ini sakral!"

Arsyan ketawa geli. "Ya emang sakral. Makanya lo harus tenang. Nanti kalau lo gugup, malah makin salah."

Dzaki ngangguk-ngangguk cepet—tapi tetep keliatan pucat.

Akad nikah Bhaskara dimulai duluan.

Bhaskara duduk di depan penghulu—tangannya dilipat di paha, keringetan meskipun masjid sejuk.

Penghulu mulai membaca ijab. "Saya nikahkan dan kawenkan Nayla Khatulistiwa binti Bambang... kepada Saudara Bhaskara Adinata bin Agus... dengan mas kawin seperangkat alat shalat, dibayar tunai. Silakan diucapkan."

Bhaskara menarik napas dalam. "Saya terima nikahnya Nayla Khatus—eh, Khatulis—"

Orang-orang ketawa.

Bhaskara mukanya merah. "Maaf, ulang. Saya terima nikahnya Nayla Khatulistiwa binti Bambang... dengan mas kawin seperangkat alat shalat, dibayar tunai."

Penghulu senyum. "Sah."

Tepuk tangan meriah. Bhaskara langsung lemes—kayak abis lari marathon.

"Alhamdulillah..." gumamnya lega.

Giliran Dzaki.

Dzaki jalan ke depan dengan langkah kaku—kayak robot. Duduk di hadapan penghulu, tangan gemetar, kening penuh keringat.

"Saudara Dzaki, sudah siap?" tanya penghulu.

Dzaki ngangguk cepet—tapi napasnya pendek-pendek.

Penghulu mulai ijab. "Saya nikahkan dan kawenkan Amira Bintang binti Hadi... kepada Saudara Dzaki Maulidan bin Fauzi... dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan Al-Qur'an, dibayar tunai. Silakan diucapkan."

Saya terima nikahnya hadi binti Amira Bintang dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan Al-Qur'an... dibayar tunai."

hening...

hahahahahha ...

Wkwkwkwkwkwk... gkgkgkgkgkgkg...

Semua orang tertawa terbahak bahak apalagi Bhaskara dia berkata dengan mulut pedesnya..

"....hahahahah dzaki lo mau nikahin anaknya atau bokapnya.... hahahaha ".ucap Bhaskara

" baik saya ulang tenang saudara dZaki..!"ucap penghulu

Saudara Dzaki, sudah siap?" tanya penghulu.

Dzaki ngangguk cepet—tapi napasnya pendek-pendek.

Penghulu mulai ijab. "Saya nikahkan dan kawenkan Amira Bintang binti Hadi... kepada Saudara Dzaki Maulidan bin Fauzi... dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan Al-Qur'an, dibayar tunai. Silakan diucapkan."

Dzaki buka mulut—tapi nggak ada suara keluar.

Orang-orang mulai bisik-bisik.

"Zak, ngomong!" bisik Arsyan dari belakang.

Dzaki tarik napas—lalu ngomong cepet banget kayak kejar setoran. "Sayaterimanikahnyadankawenannya—"

"Pelan-pelan, Saudara," potong penghulu sambil senyum sabar.

Dzaki napas lagi—kali ini lebih pelan. "Saya terima nikahnya Amira Bintang binti Hadi... dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan Al-Qur'an... dibayar tunai."

"Sah."

Dzaki langsung ambruk lemas—kayak abis ujian skripsi.

Selesai akad, acara dilanjut makan-makan.

Nayla—istri Bhaskara—ternyata cewek pendek, agak chubby, tapi senyumnya manis banget. Mukanya bulat, pipi tembem, ramah. Tapi matanya... tajam. Kayak tipe cewek yang kalau cemburuan bisa ngamuk.

"Kak Arsyan!" sapa Nayla ramah sambil salim. "Akhirnya ketemu! Bhaskara cerita banyak tentang Kakak."

"Semoga cerita yang baik-baik ya," jawab Arsyan sambil senyum.

"Yaa... sebagian," Nayla nyengir. "Eh, ini istri Kakak?"

Wulan yang dari tadi berdiri di belakang Arsyan langsung maju—salim sopan. "Assalamu'alaikum. Saya Wulan."

Nayla menatap Wulan lama—agak lama—kayak lagi ngukur.

"Wah... cantik banget. Pantesan Bhaskara bilang Kak Arsyan dapet istri kayak bidadari."

Wulan tersenyum tipis—tapi nggak ngomong banyak.

Nayla masih natap Wulan—lalu tiba-tiba dia bilang pelan, "Mbak Wulan... kenapa tangannya dingin banget?"

Arsyan langsung tegang.

Wulan langsung tarik tangannya cepet. "Oh... saya... saya memang dinginan."

"Dinginan tapi nggak keringetan?" Nayla mikir sebentar. "Aneh ya... biasanya orang dinginan malah keringetan..."

Arsyan langsung alihkan pembicaraan. "Nayla, selamat ya udah nikah. Semoga langgeng."

"Aamiin. Makasih, Kak."

Sementara itu, Amira—istri Dzaki—kebalikan total dari Nayla.

Amira tinggi, kurus, muka serius, kalem banget. Rambutnya diikat rapi, pake kacamata minus, aura-nya kayak guru.

"Assalamu'alaikum, Mas Arsyan," sapanya sopan.

"Wa'alaikumsalam. Selamat ya, Mir."

"Terima kasih. Semoga Mas Arsyan juga bahagia sama istri."

Arsyan senyum. "Aamiin."

Amira natap Wulan sebentar—lalu senyum ramah. "Mbak Wulan, salam kenal."

"Salam kenal juga," jawab Wulan lembut.

Beda banget sama Nayla, Amira nggak banyak nanya. Dia cuma senyum, terus pergi bantuin nyiapin makanan.

Acara berlanjut dengan makan bareng.

Di meja makan, Bhaskara sama Dzaki duduk bersebelahan—masih pake baju pengantin, tapi udah agak kusut.

"Gue lega banget, Gas," kata Bhaskara sambil nyendok nasi. "Kirain gue bakal gagal."

"Lo emang hampir gagal. Masa 'Khatulistiwa' aja salah sebut," sahut Arsyan sambil ketawa.

"Namanya susah banget! Harusnya Nayla pake nama simpel kayak... Siti atau Ani."

Dzaki nyeletuk pelan. "Aku juga hampir pingsan tadi."

"Lo mah dari awal udah kayak mau pingsan, Zak," kata Bhaskara. "Muka lo pucat kayak pocong."

"Aku nervous! Wajar kan?"

"Wajar sih. Tapi lo hapal Qur'an segitu banyak, masa takut ngomong?"

"Ini beda, Bhas! Ini ijab kabul! Kalau salah dikit, nggak sah!"

Mereka bertiga ketawa—kayak dulu waktu masih SMP. Momen ini... hangat. Sederhana. Tulus.

Tapi di tengah tawa itu, Arsyan ngeliat Wulan.

Wulan duduk sendirian di pojok—nggak makan, cuma megang gelas air putih, natap kosong ke depan.

Arsyan langsung mendekat. "Wulan... kenapa nggak makan?"

"Aku... nggak laper, Mas."

"Kamu dari tadi nggak makan. Seenggaknya makan dikit."

"Aku nggak bisa, Mas. Perutku... nggak enak."

Arsyan khawatir. Tapi dia nggak mau maksa.

Pas acara mau selesai, tiba-tiba Nayla duduk di sebelah Wulan—tanpa izin—senyum lebar.

"Mbak Wulan... boleh aku nanya sesuatu?"

Wulan mengangguk pelan.

"Mbak... asalnya dari mana sih? Kok aku nggak pernah liat Mbak di kampung."

Wulan diam sebentar. "Aku... dari jauh."

"Jauh mana?"

"Jauh... yang nggak bisa dijelaskan."

Nayla mikir—lalu senyum lagi. "Wah... misterius banget. Pantesan Kak Arsyan jatuh cinta."

Tapi matanya Nayla... masih curiga.

Sore itu, pas Arsyan sama Wulan mau pulang, Bhaskara ngejar.

"Gas, tunggu!"

Arsyan berhenti. "Ada apa?"

Bhaskara natap Wulan sebentar—lalu bisik ke Arsyan. "Gas... istri lo... kok aku ngerasa... aneh ya?"

"Aneh gimana?"

"Dia... nggak ada bayangan, Gas. Aku perhatiin tadi pas dia duduk di bawah matahari. Nggak ada bayangan sama sekali."

Arsyan jantungnya langsung dingin.

"Lo... lo yakin?"

"Sangat yakin. Dan... Nayla juga notice. Dia bilang tangan Wulan dingin banget—kayak es."

Arsyan nggak bisa jawab. Mulutnya kelu.

Bhaskara pegang bahu Arsyan. "Gas... aku nggak mau ikut campur. Tapi... hati-hati, ya. Aku takut lo kenapa-kenapa."

Arsyan ngangguk pelan.

Pas pulang naik motor, Wulan peluk pinggang Arsyan lebih erat dari biasanya.

"Mas..." bisiknya lirih. "Aku... aku takut."

"Takut apa?"

"Takut... orang-orang mulai curiga."

Arsyan nggak jawab. Karena dia tau—Wulan bener.

Orang-orang mulai curiga.

Dan cepat atau lambat... rahasia bakal terbongkar.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!