(Warisan Mutiara Hitam Season 2)
Setelah mengguncang Sekte Pedang Awan dan memenggal Jian Chen, Chen Kai mendapati bahwa kemenangannya hanyalah awal dari mimpi buruk baru. Sebuah surat berdarah mengungkap kebenaran yang meruntuhkan identitasnya: ia bukan anak Klan Chen, melainkan putra dari buronan legendaris berjuluk "Sang Pengkhianat Naga".
Kini, Klan Jian dari Ibu Kota memburunya bukan demi dendam semata, melainkan demi "Darah Naga" di nadinya—kunci hidup untuk membuka segel terlarang di Utara.
Demi melindungi adiknya dan mencari jati diri, Chen Kai menanggalkan gelar Juara dan mengasingkan diri ke Perbatasan Utara yang buas. Di tanah tanpa hukum yang dikuasai Reruntuhan Kuno, Sekte Iblis, dan Binatang Purba ini, Chen Kai harus bertahan hidup sebagai pemburu bayangan. Di tengah badai salju abadi, ia harus mengungkap misteri ayahnya sebelum darahnya ditumpahkan untuk membangkitkan malapetaka kuno.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gerbang Perak dan Darah Serigala
Keheningan di amfiteater Hutan Batu itu begitu berat hingga suara jatuhnya kerikil pun terdengar seperti ledakan.
Semua mata—baik dari murid Sekte Tulang Putih yang kehilangan pemimpin maupun Tentara Bayaran Serigala Besi yang tercengang—terpaku pada sosok Chen Kai yang berdiri tegak di atas pilar batu.
Aura Pembangunan Fondasi yang memancar darinya menekan dada setiap kultivator di sana, membuat mereka sulit bernapas.
"Pembangunan... Fondasi..." gagap wakil pemimpin Tentara Bayaran Serigala Besi, kakinya gemetar.
Namun, pemimpin mereka, pria berotot dengan kapak besar (Puncak Tingkat Sembilan), memiliki kilatan keserakahan di matanya yang mengalahkan rasa takut. Dia melihat Pedang Meteor Hitam—senjata utama Chen Kai—sudah tidak ada di tangannya karena dilemparkan ke dalam gerbang.
"Jangan takut!" teriak Pemimpin Serigala Besi, suaranya serak berusaha memecah ketakutan anak buahnya. "Dia tidak punya senjata! Dia baru saja membuang pedangnya! Dia sombong! Ini kesempatan kita!"
Dia menunjuk ke arah Plakat Giok Putih yang tergeletak di tanah di depan gerbang.
"Siapa pun yang mendapatkan kunci itu dan membunuh orang sombong ini akan mendapatkan 10.000 Batu Roh!"
Teriakan itu seperti mantra yang memecahkan hipnotis ketakutan. Keserakahan adalah motivasi terkuat bagi para tentara bayaran dan kultivator sesat.
"Bunuh dia!" "Dia tidak bersenjata!"
Sekitar tiga puluh tentara bayaran dan sisa murid Sekte Tulang Putih yang putus asa menyerbu ke arah Chen Kai secara bersamaan. Berbagai macam senjata dan teknik Qi melesat ke arah pilar batu tempatnya berdiri.
Chen Kai menatap gelombang serangan itu dengan tatapan datar.
"Bodoh," bisiknya.
Dia melompat turun.
Bukan menjauh, tapi langsung ke tengah kerumunan musuh.
"Kalian pikir aku butuh pedang untuk membunuh sampah?"
Saat kakinya menyentuh tanah, Chen Kai menghentakkan kakinya.
"Teknik Kaki: Hentakan Naga!"
BOOOOOM!
Tanah amfiteater itu meledak. Gelombang kejut fisik menyapu keluar dalam radius dua puluh meter.
Sepuluh penyerang terdepan langsung memuntahkan darah, tulang kaki mereka hancur seketika oleh getaran tanah, dan mereka terlempar ke belakang seperti boneka kain.
Chen Kai tidak berhenti. Dia bergerak maju. Tangan kanannya terkepal, diselimuti oleh aura merah tembaga dari 'Tulang Api'.
Seorang tentara bayaran Tingkat Delapan mencoba menusuknya dengan tombak. Chen Kai menangkap ujung tombak itu dengan tangan kosong, meremasnya hingga hancur, lalu menarik pria itu mendekat.
BUKK!
Satu pukulan sederhana ke dada. Baju zirah pria itu penyok ke dalam, dan dia mati seketika.
"Apa?!" Pemimpin Serigala Besi terbelalak. "Kekuatan fisiknya..."
Chen Kai bergerak seperti badai. Tanpa pedang, dia justru lebih cepat. Dia menggunakan tinju, siku, dan lututnya sebagai senjata mematikan. Setiap serangan adalah satu nyawa. Tidak ada teknik yang rumit, hanya efisiensi brutal dari seorang ahli Pembangunan Fondasi melawan semut.
Dalam waktu kurang dari satu menit, setengah dari penyerang sudah tergeletak di tanah, mati atau lumpuh.
Sisa tentara bayaran itu mundur dengan ngeri.
"Mundur! Dia monster!"
Chen Kai berdiri di tengah mayat-mayat itu. Jubahnya tidak ternoda setetes darah pun karena aura pelindungnya menangkis semuanya. Dia menatap langsung ke arah Pemimpin Serigala Besi.
"Giliranmu," kata Chen Kai.
Pemimpin itu gemetar. Dia meraung putus asa, mengaktifkan teknik terlarang yang membakar darahnya untuk meningkatkan kekuatan sementara, dan melompat menerjang Chen Kai dengan kapak besarnya.
"MATI KAU!"
Kapak itu, yang dialiri Qi Puncak Tingkat Sembilan, menebas ke arah leher Chen Kai.
Chen Kai mengangkat tangan kanannya. Gauntlet 'Cakar Naga Api Merah'-nya muncul seketika, menutupi lengannya dengan sisik logam merah.
Dia tidak menghindar. Dia meninju bilah kapak itu.
KRAAAANG!
Suara logam yang menyakitkan telinga terdengar.
Kapak besar itu... retak. Lalu pecah berkeping-keping.
Tinju Chen Kai terus melaju, menembus serpihan kapak, dan menghantam wajah Pemimpin Serigala Besi.
SPLAT!
Tidak ada teriakan. Pemimpin itu terlempar ke belakang, menabrak dinding batu amfiteater dengan keras, dan merosot jatuh. Mati.
Keheningan kembali melanda. Kali ini, keheningan yang absolut. Sisa murid Sekte Tulang Putih dan tentara bayaran menjatuhkan senjata mereka dan lari tunggang langgang ke dalam kabut, tidak berani menoleh ke belakang.
Chen Kai mengabaikan mereka. Dia berjalan tenang menuju gerbang batu.
Dia membungkuk dan memungut Plakat Giok Putih (pecahan kunci) yang tadi dijatuhkan oleh pemimpin Sekte Tulang Putih.
"Manajer Sun, Xiao Mei," panggil Chen Kai tanpa menoleh. "Keluar. Jalan sudah bersih."
Manajer Sun dan Xiao Mei keluar dari persembunyian mereka dengan wajah pucat. Mereka telah melihat Chen Kai bertarung sebelumnya, tapi melihatnya membantai pasukan elit tanpa senjata memberikan rasa ngeri yang berbeda.
"Tuan Muda..." Manajer Sun menelan ludah. "Kekuatanmu... semakin tidak masuk akal."
"Dunia ini tidak masuk akal," jawab Chen Kai.
Dia mengeluarkan pecahan kunci miliknya (yang diberikan Manajer Sun sebelumnya) dan menyatukannya dengan pecahan yang baru dia dapatkan.
KLIK.
Kedua pecahan giok itu menyatu secara magnetis, membentuk sebuah kunci utuh yang bersinar terang.
Chen Kai melemparkan kunci utuh itu ke arah pusaran perak di gerbang.
ZIIIING!
Kunci itu melayang, terserap ke dalam pusaran. Petir-petir perak yang tidak stabil di gerbang itu tiba-tiba menjadi tenang. Pusaran yang bergejolak itu berubah menjadi permukaan cermin perak yang halus dan stabil.
Gerbang Warisan telah terbuka sepenuhnya.
"Ayo," kata Chen Kai. "Pedangku ada di dalam. Dan aku tidak suka meninggalkan barangku sembarangan."
Dia melangkah masuk ke dalam cermin perak itu dan menghilang.
Manajer Sun dan Xiao Mei saling berpandangan, menarik napas dalam-dalam, lalu melompat menyusulnya.
Di Dalam Gerbang Warisan.
Sensasi mual akibat teleportasi hanya berlangsung sesaat.
Saat Chen Kai membuka matanya, dia tidak lagi berada di hutan batu yang berkabut dan suram.
Dia berdiri di sebuah taman kuno yang indah namun terbengkalai.
Langit di sini berwarna biru cerah—ilusi magis yang sempurna. Tanaman-tanaman obat yang sudah punah di dunia luar tumbuh liar di mana-mana, meskipun sebagian besar sudah layu karena ribuan tahun tidak dirawat.
Di tengah taman itu, terdapat sebuah pendopo batu putih.
Dan di depan pendopo itu, tertancap di tanah... adalah Pedang Meteor Hitam.
Pedang itu menancap menembus dada mayat pemimpin Sekte Tulang Putih yang tadi terlempar masuk. Pria itu mati dengan mata melotot, tangannya masih berusaha mencabut pedang yang membunuhnya.
Chen Kai berjalan mendekat, mencabut pedangnya dengan satu gerakan sentakan. Dia mengibaskan darah dari bilahnya.
"Selamat datang kembali," gumamnya pada pedangnya.
"Tempat apa ini?" Xiao Mei melihat sekeliling dengan takjub. "Qi di sini... sangat murni! Jauh lebih murni daripada di sekte!"
"Ini adalah 'Kebun Obat Roh' kuno," kata Manajer Sun, naluri pedagangnya langsung menyala saat melihat tanaman di sekitarnya. "Lihat itu! Itu 'Bunga Tujuh Warna'! Dan itu 'Akar Naga Tanah'! Ya Tuhan... tempat ini adalah tambang emas!"
Namun, Chen Kai tidak melihat ke tanaman. Dia melihat ke arah pendopo batu di tengah taman.
Di sana, duduk sebuah kerangka manusia yang mengenakan jubah alkemis kuno yang sudah lapuk. Di pangkuannya, ada sebuah kotak kayu dan sebuah gulungan.
"Jangan sentuh apa pun dulu," peringat Chen Kai. "Yao, apa kau merasakan bahaya?"
"Tidak ada jebakan aktif," jawab Kaisar Yao. "Tapi kerangka itu... dia memegang sesuatu yang memancarkan aura 'Api'. Bukan api biasa... ini Api Alkimia."
Chen Kai berjalan mendekati kerangka itu. Dia membungkuk hormat sebentar—kebiasaan menghormati senior—lalu mengambil gulungan di pangkuan kerangka itu.
Dia membukanya.
Tulisan di dalamnya kuno, tapi masih bisa dibaca.
"Aku, Master Alkemis Gu Yun, mengasingkan diri di sini untuk lari dari perang besar. Aku gagal mencapai terobosan dan mati karena usia tua. Siapa pun yang menemukan tempat ini, jika kau seorang Alkemis, kau boleh mewarisi 'Api Inti Bumi' milikku dan catatan alkimiaku. Tapi sebagai gantinya, kau harus bersumpah untuk membawa abuku kembali ke Klan Gu di Benua Tengah."
"Api Inti Bumi?" mata Chen Kai berbinar.
Dia melihat ke kotak kayu di pangkuan kerangka itu. Dia membukanya.
Di dalamnya, tidak ada pil. Hanya ada nyala api kecil berwarna oranye pekat yang melayang-layang, tidak padam meski bertahun-tahun telah berlalu. Itu memancarkan panas yang lembut namun sangat murni.
"Ini adalah Api Peringkat Roh Tingkat Tinggi!" seru Kaisar Yao bersemangat. "Bocah, ini keberuntungan besar! Jika kau menyerap api ini... kemampuan alkimiamu akan melonjak, dan 'Api Roh Naga'-mu akan berevolusi!"
"Dan itu akan membantumu menstabilkan fondasimu lebih jauh," tambah Yao.
Chen Kai tersenyum. Perjudiannya masuk ke gerbang ini terbayar lunas.
"Manajer Sun, Xiao Mei," kata Chen Kai. "Kumpulkan semua tanaman obat yang bisa kalian bawa. Aku akan bermeditasi sebentar untuk mengambil 'hadiah' ini."
"Baik, Tuan Muda!" Manajer Sun sudah mengeluarkan sekop kecil dengan mata berbinar-binar.
Chen Kai duduk bersila di depan kerangka itu. Dia menatap api oranye di dalam kotak.
"Terima kasih, Senior Gu Yun," bisik Chen Kai. "Aku akan membawa abumu. Sekarang... pinjamkan aku apimu."
Dia membuka mulutnya dan menghisap nyala api purba itu.
Seketika, suhu di taman itu melonjak.