Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 — Pengungkapan yang Menghancurkan
Malam telah berubah menjadi pagi, tetapi bagi Dion Arganata, waktu berhenti. Ia masih berada di ruang kerjanya yang steril, dikelilingi oleh dokumen-dokumen keuangan dan laporan yang kini tidak lagi penting. Di tangannya, ia memegang selembar foto Arvan dan laporan yang mengonfirmasi bahwa Aira Nadiya adalah Ibu kandungnya.
Kemarahan Dion bukan lagi api yang membakar, melainkan es yang menusuk. Ia merasa dikhianati, dipermainkan, dan yang paling menyakitkan, dibodohi. Aira telah melanggar aturan utama kontrak mereka: kejujuran.
Dion mengambil interkom. Suaranya datar, tanpa emosi, tetapi mengandung ancaman yang membuat Bi Surti di ujung sana segera menegang.
“Panggil Nyonya Aira. Suruh dia datang ke ruanganku. Sekarang.”
Aira, yang baru saja selesai sarapan dengan gelisah, merasakan firasat buruk yang dingin. Masuk ke ruang kerja Dion adalah pelanggaran aturan terlarang. Dipanggil ke sana adalah hukuman.
Ia berjalan di sepanjang koridor marmer. Jantungnya berdebar kencang di balik dada. Ia tahu ini ada hubungannya dengan keponakan yang ia kunjungi, dengan foto Arvan yang mungkin ia lupa sembunyikan dengan sempurna.
Aira berdiri di ambang pintu ruang kerja. Udara di ruangan itu terasa berat, dipenuhi aroma kopi pahit dan kemarahan yang terkendali. Ruangan itu besar dan dingin, dindingnya dilapisi kayu gelap, dengan meja mahoni besar yang memisahkan Dion dari dunia.
Dion duduk di kursi kebesarannya, tampak seperti Raja yang siap menjatuhkan vonis.
“Masuk, Aira,” perintah Dion, tanpa menoleh, suaranya pelan.
Aira melangkah masuk, berhenti di depan meja. Ia melihat sorot mata Dion—bukan mata yang penuh hasrat yang ia lihat di dapur, tapi mata yang beku, penuh penghinaan, dan penuh perhitungan.
“Ada apa, Tuan Arganata?” tanya Aira, berusaha terdengar tenang, meskipun lututnya gemetar.
Dion perlahan meletakkan tablet di mejanya. Di layarnya, terlihat jelas foto Arvan, diikuti oleh baris-baris teks: Nama Ibu Kandung: Aira Nadiya.
Aira memejamkan mata sejenak, menerima kekalahannya. Rahasianya telah terbongkar.
“Aku benci bertele-tele,” kata Dion, suaranya masih tenang. “Jadi, mari kita langsung ke intinya. Kau bilang dia adalah keponakanmu. Laporan ini mengatakan dia adalah putramu, Aira Nadiya.”
Dion bangkit. Pria itu kini berdiri, menjulang di balik meja kerjanya. Kehadirannya begitu besar, begitu mengancam, hingga Aira merasa tubuhnya mengecil.
“Kenapa kau berbohong?”
Pertanyaan itu sederhana, tapi membawa beban jutaan ton.
Aira mendongak, matanya bertemu dengan mata Dion. Ia harus mempertahankan kebohongan kedua: identitas Ayah Arvan.
“Saya minta maaf, Tuan Arganata. Saya… saya tidak punya pilihan,” ujar Aira, suaranya serak. “Dia memang putra saya.”
“Putramu?” Dion tertawa, tawa dingin yang mengiris. “Kau menyembunyikan fakta bahwa kau memiliki anak. Kau menandatangani kontrak pernikahan, kontrak yang sangat sensitif dengan persyaratan kebersihan reputasi yang ketat. Kau melanggar kepercayaan. Kau membawa kebohongan ke dalam rumah ini.”
Dion berjalan mengitari meja. Ia kini berdiri sangat dekat dengan Aira. Aira bisa merasakan panas tubuhnya, tetapi panas itu bukan lagi hasrat, melainkan ancaman.
“Siapa Ayahnya, Aira?” desak Dion.
Aira menelan ludah. Ini adalah bagian yang paling berbahaya. Jika Dion tahu ia adalah Ayahnya, semuanya akan berubah menjadi bencana yang lebih besar.
“Ayahnya… Ayahnya adalah mantan kekasih saya,” kata Aira, pandangannya merunduk. “Dia meninggalkan saya saat saya hamil. Dia menolak bertanggung jawab. Dia sudah lama menghilang.”
Aira berusaha membuat ceritanya terdengar menyedihkan dan meyakinkan, memainkan peran wanita yang dikhianati.
Dion meraih dagu Aira, memaksanya mendongak. Cengkeramannya kuat, menusuk.
“Mantan kekasih? Menghilang?” Dion mendesis. “Dan kau berani membawanya ke dalam kehidupan pernikahan kita sebagai keponakan? Kau pikir aku ini bodoh, Aira? Sejak awal, aku tahu kau menyembunyikan sesuatu. Aku hanya tidak tahu kau menyembunyikan hal yang semengerikan ini.”
“Saya mohon, Tuan Arganata,” kata Aira, air mata mulai menggenang. “Saya tidak punya pilihan. Saya butuh uang untuk biaya hidup, untuk Arvan. Jika saya jujur, Anda tidak akan mau menikahi saya. Saya melakukan ini demi dia.”
“Demi dia? Atau demi utang Ayahmu? Jangan menggunakan anak itu sebagai tameng!” Dion melepaskan cengkeramannya dari Aira, melangkah mundur sejenak untuk mengendalikan dirinya.
“Utang Ayahmu sudah lunas. Sekarang, aku yang menuntut harga untuk pengkhianatan ini. Kau telah melanggar kontrak, Aira. Aku bisa menceraikanmu sekarang, tanpa memberimu apa-apa, dan menghancurkan reputasimu di kota ini.”
Aira tersentak. Tidak mendapatkan apa-apa berarti ia akan kehilangan kesempatan untuk menafkahi Arvan dan Ibunya lagi. Ia akan kembali ke nol.
“Tolong,” Aira berlutut di lantai marmer, tindakan yang didorong oleh keputusasaan murni. “Tolong jangan lakukan itu. Jangan hukum Arvan. Dia tidak bersalah. Ambil apa saja dariku. Ambil seluruh hidupku. Tapi biarkan saya tetap bekerja sebagai Nyonya Arganata. Biarkan saya memenuhi kontrak ini.”
Dion menatap Aira yang berlutut di kakinya. Ekspresinya tidak menunjukkan belas kasihan, tetapi ada kilatan yang sangat gelap di matanya—kilatan dominasi total.
“Berdiri,” perintah Dion.
Aira bangkit, air mata membasahi wajahnya. Ia menunggu vonis.
Dion berjalan ke jendelanya, memandang ke cakrawala Kota Arganata. Ia menghabiskan beberapa menit dalam keheningan yang menakutkan, membiarkan Aira merasakan ketidakpastian.
“Kau benar,” kata Dion, akhirnya. “Aku tidak akan menceraikanmu. Tidak sekarang.”
Aira menghela napas lega yang rapuh.
“Tapi, kau akan membayar harga yang jauh lebih mahal daripada uang,” lanjut Dion, berbalik. Mata gelapnya menatap lurus ke jiwa Aira. “Kau telah mengganggu rencanaku. Kau telah membawa kebohongan ke dalam rumah ini. Sekarang, aku yang akan menetapkan aturan baru.”
Dion melangkah mendekat, perlahan, setiap langkahnya terasa seperti pukulan di hati Aira.
“Mulai sekarang, pernikahan ini tidak lagi menjadi formalitas belaka. Aku akan menjadi suamimu, dalam arti yang sebenarnya.”
Aira menegang. “Tuan Arganata, saya sudah bilang, saya tidak ingin—”
“Kau tidak punya pilihan,” potong Dion, suaranya menjadi mutlak. “Kau berutang padaku. Dan aku akan mengklaim pembayaran penuh. Setiap malam, kau akan datang ke kamarku. Kau akan memuaskan hasratku. Ini adalah hukuman untuk setiap kebohongan yang kau ucapkan, dan cara untuk memastikan aku memegang kendali penuh atas dirimu.”
Dion mendekat hingga wajah mereka hampir bersentuhan. “Aku akan mengklaim apa yang menjadi milikku, tubuh dan jiwamu.”
Aira menggeleng, air mata mengalir deras. Ini lebih buruk daripada kehancuran finansial. Ini adalah penghancuran diri.
“Tapi… Arvan,” Aira mencoba mengajukan pembelaan terakhirnya.
Dion tersenyum, senyum yang sama sekali tidak lucu, tetapi dingin dan kejam. “Ya, Arvan.”
Dion kembali ke meja kerjanya, mengambil foto Arvan, dan melemparkannya ke meja di depan Aira.
“Mulai minggu depan,” kata Dion, nadanya memerintah, “kau akan membawa anak itu ke kota ini. Dia akan tinggal di sini, di penthouse ini.”
Aira terkejut. “Tidak! Jangan! Dia tidak boleh di sini. Dia akan mengganggu Anda. Dia akan baik-baik saja di kampung.”
“Aku yang memutuskan apa yang menggangguku,” bentak Dion. “Dia adalah alasanmu berbohong. Dia adalah kelemahanmu. Dan aku tidak mengizinkan kelemahanku berada di tempat yang tidak bisa aku lihat.”
Dion mencondongkan tubuhnya ke meja, tatapannya menusuk Aira.
“Dia akan menjadi anak yang kau urus di bawah atapku. Dia akan melihat kemewahan yang kau dapatkan karena menikahiku. Dia akan menjadi pengingat yang konstan bagimu tentang apa yang akan hilang jika kau berani melawanku, atau jika kau berani berbohong lagi.”
Dion mengambil map tebal dari laci. “Aku akan memberinya kamar, sekolah elit, dan segala yang terbaik. Dia akan tinggal di sini. Tapi ingat, Aira. Dia adalah anakmu. Bukan anakku. Kau akan terus menjaganya tetap sebagai keponakan di depan umum. Dan dia adalah sandera.”
Vonis telah dijatuhkan. Aira tidak hanya harus menghadapi kenyataan bahwa ia kini harus menyerahkan dirinya sepenuhnya pada Dion, tetapi ia juga harus membawa putranya, Arvan, ke dalam sarang singa, di bawah pengawasan Ayah kandungnya sendiri yang tidak menyadari kebenarannya.
Aira tidak bisa lagi menahan isak tangisnya. Ia ambruk di meja, kepalanya di atas marmer yang dingin, air matanya membasahi laporan yang mengungkap putranya.
“Aku ingin kau melakukannya sekarang,” perintah Dion, suaranya tanpa ampun. “Hubungi ibumu. Beri tahu dia bahwa Arvan akan pindah ke sini. Jangan pernah berbohong padaku lagi, Aira. Atau kau akan tahu apa artinya kehilangan segalanya.”
Dion berbalik dan berjalan ke jendela. Aira tahu, konfrontasi ini baru saja berakhir, dan perang yang sebenarnya baru saja dimulai. Ia telah kehilangan semua benteng pertahanannya.
semoga cepet up lagi