SINTA dan adiknya, ALIM, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat taat. Sejak kecil, Sinta adalah sosok yang sangat alim, menjunjung tinggi akidah Islam, dan memegang teguh keyakinannya. Dunia yang ia pahami—dunia yang damai dan dipenuhi janji surgawi—hancur berkeping-keping pada satu sore kelam.
Orang tua mereka, Adam dan Lela, tewas dalam sebuah insiden yang dicap sebagai bom bunuh diri. Latar belakang kejadian ini sangat kelam: pelaku bom tersebut mengakhiri hidupnya dan Adam/Lela, sambil meneriakkan kalimat sakral "Allahu Akbar".
Trauma ganda ini—kehilangan orang tua dan kontaminasi kalimat suci dengan tindakan keji—membuat keyakinan Sinta runtuh total. Ia mempertanyakan segala yang pernah ia yakini.
Saat ini, Sinta bekerja sebagai Suster Panti Jompo, berhadapan dengan kematian secara rutin, tetapi tanpa sedikit pun rasa takut pada alam baka. Alim, di sisi lain, kini menjadi Penggali Kubur, dikelilingi oleh kuburan, tetapi tetap teguh memegang sisa-sisa keyakinannya yang diw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam Karma dan Pengorbanan Tragis
😭 Sore yang Penuh Amarah
Sore hari di Panti Jompo "Senja Indah" seharusnya tenang. Namun, di salah satu kamar, suasana tegang terasa mencekik.
Pak Slamet kini ngambek. Ia tidak lagi merajuk manja seperti biasanya. Ia menangis kekanak-kanakan di kamarnya. Bukan karena kesepian, tetapi karena jiwanya yang tiba-tiba merasa terancam dan bersalah setelah konfrontasi dengan anak-anaknya pagi tadi.
Pikiran tentang masa lalu, tentang ketidakadilan yang ia lakukan, dan wajah Sinta yang misterius, mulai menghantuinya.
Sinta datang. Wajahnya tidak lagi memancarkan kehangatan seorang perawat teladan. Wajahnya penuh dengan santai, tetapi di balik mata itu, tersembunyi rasa dendam yang dingin, tajam, dan terencana. Ia telah menunggu momen ini.
Sinta menutup pintu kamar Slamet.
“Ada apa, Slamet?” tanya Sinta, menggunakan nama depannya tanpa embel-embel 'Kakek' yang biasa. Nada bicaranya sama sekali tidak menunjukkan simpati.
Pak Slamet, yang menyeka air matanya, menatap Sinta. “Aku tidak bisa tidur! Aku dihantui... aku terus memimpikan masa lalu, anak-anak itu, dan... dan kamu. Ada apa denganmu, Sinta?”
Sinta tersenyum tipis, sebuah senyum yang mematikan.
“Tidak bisa tidur, karna teringat waktu Bapak tinggal dikit lagi, ya? Bapak kan sudah banyak berbuat dosa kepada saya dan adik saya.”
Kata-kata itu, diucapkan dengan nada datar, menghantam Pak Slamet seperti palu godam.
🎭 Topeng yang Terbuka
Pak Slamet sontak bingung. Kepanikan merayap di wajahnya. “Dosa? Dosa apa? Aku tidak mengerti. Siapa kamu itu sebenarnya?”
Sinta melangkah maju. Cahaya sore dari jendela jatuh ke wajahnya, membuat ekspresinya terlihat seperti patung yang dingin.
“Siapa saya? Saya adalah korban Bapak dulu. Di pesantren itu, yang katanya penuh berkah, tapi isinya penuh neraka. Bapak adalah pengurus pesantren, yang tahu persis apa yang terjadi. Dan adik saya selaluh mendapat pelecehan mulu dari Bapak.”
Dinding-dinding kamar itu seolah runtuh. Rahasia kotor yang selama ini terkubur dalam-dalam kini terbuka. Sinta, si perawat yang paling dicintai, adalah anak yang pernah ia siksa, atau setidaknya, ia biarkan disiksa.
“Bapak tidak pernah ada kata maaf ataupun apa ke saya dan ke adik saya, karna ulah bejat Bapak.”
Pak Slamet menggigil. Rasa takut menenggelamkannya, lebih dalam dari rasa takut akan kematian itu sendiri. Ia berusaha membela diri, putus asa.
“Tidak! Itu sudah lama! Aku... aku sudah lupa! Lagipula, aku melakukan itu karena... karena aku sendiri juga sudah tidak percaya. Saya begitu karna saya tidak mempercayai adanya Tuhan! Saya juga tidak percaya terhadap dengan agama! Itu hanyalah mainan saja biar orang pada takut dengan ancaman-nya!”
Di tengah rasa bersalah yang menggerogoti, Slamet mengungkapkan sinisme yang sama dengan Sinta. Sinisme itu adalah benang merah yang ironis dan tragis yang menghubungkan korban dan pelaku.
Sinta tidak menunjukkan kemenangan. Ia hanya melihat Slamet, matanya tenang.
“Kalau begitu, buktikanlah, Pak.”
Kata-kata Sinta adalah tantangan terakhir yang dingin. Wajahnya santai dan misterius—seolah ia menawarkan kesempatan terakhir untuk penebusan yang sesungguhnya: membuktikan bahwa tidak ada siksa kubur, dengan cara mati.
🩸 Penebusan yang Mengerikan
Slamet, didorong oleh kepanikan, rasa bersalah yang tak tertahankan, dan kebutuhan untuk membuktikan teori ateis/sinis yang baru saja ia bagi dengan korban lamanya, melakukan hal yang paling mengerikan.
Ia tersentak, pikirannya kacau balau. Ia meraih pisau buah kecil yang mungkin ia sembunyikan untuk memotong apel, atau yang ada di meja kamar.
Dia berteriak, suaranya parau dan histeris.
“Dengar, kalian semua!”
Teriakan itu terdengar hingga ke koridor. Para perawat lain dan beberapa lansia yang sedang berjalan di lorong panik, bergegas menuju kamar Slamet.
Slamet menatap Sinta, ada perpaduan antara rasa takut dan semacam permohonan maaf terakhir di matanya.
“Kalian tidak akan disiksa kubur! Karna di alam kubur kita tidur tenang saja! Kita tidak ada namanya penyiksaan di kuburan! Siksa kubur hanyalah main-mainan agama saja biar kamu percaya, Sinta! Aku akan membantumu!”
Di hadapan Sinta, di hadapan rekan-rekannya, dan di hadapan lansia yang kebingungan dan takut yang baru datang, sontak Slamet langsung menusuk perutnya sendiri dengan pisau itu.
Darah menyembur, mewarnai seprai putih dengan noda merah pekat. Tubuh Slamet ambruk ke lantai.
Semua yang melihat pada teriak dan ketakutan.
Suster Erna menjerit. Lansia yang menyaksikan, seperti Opa Hardi dan Ibu Rosa, berteriak ketakutan dan beberapa hampir pingsan. Pak Slamet tewas.
Sinta, di tengah kekacauan itu, tidak bergerak, tidak menjerit, tidak menangis. Wajahnya masih santai namun dingin.
Ia baru saja menyaksikan—atau lebih tepatnya, memprovokasi—sebuah penebusan yang brutal. Slamet telah membayar dosanya dengan nyawanya sendiri, dan ia telah membuktikan, di mata Sinta yang sinis, bahwa siksa kubur hanyalah omong kosong. Kematian adalah tidur, bukan hukuman.
Sinta akhirnya mendapatkan keadilan dan penegasan filosofisnya, dengan harga yang mengerikan.🌧️ Pemakaman dan Ustaz
Dua hari setelah insiden mengerikan di Panti Jompo “Senja Indah”, suasana terasa berat. Pihak Panti Jompo berhasil mengelola situasi dengan menyatakan bahwa Pak Slamet menderita depresi akut dan melakukan bunuh diri tanpa ada intervensi dari luar. Sinta, dengan ketenangannya yang dingin, melewati interogasi polisi dengan lancar; ia hanya memberikan kesaksian bahwa Slamet tiba-tiba histeris dan panik.
Pak Slamet kini dimandikan dan disiapkan untuk pemakaman.
Di sebuah pekuburan yang tenang, di bawah langit mendung yang seolah ikut berduka, jenazah Pak Slamet dikebumikan. Keluarga intinya (anak-anaknya yang serakah) hadir dengan wajah datar, lebih peduli pada warisan yang ditinggalkan daripada duka.
Di antara kerumunan orang yang melayat, berdiri Sinta. Ia berpakaian hitam, membaur, wajahnya tanpa ekspresi, hanya mengamati prosesi itu dari jauh. Kehadirannya adalah penegasan: ia datang untuk melihat akhir dari teka-teki moralnya.
Tak jauh darinya, berdiri Ustaz Fikri (yang pernah datang bersama Alim), yang memimpin doa pemakaman dengan suara yang bergetar penuh duka. Ustaz Fikri merasa bertanggung jawab karena ia tahu Sinta dan Slamet memiliki keterkaitan yang gelap.
Setelah prosesi selesai, dan orang-orang pada pulang satu per satu, hanya menyisakan beberapa pekerja kuburan. Sinta melihat Ustaz Fikri masih berdiri di samping kuburan yang baru ditimbun, tampak merenung.
Sinta berjalan menghampirinya.
❓ Konfrontasi Kedua: Ujian Keyakinan
Sinta berdiri di samping Ustaz Fikri, menatap tanah merah yang basah.
“Pak, saya mau bicara sama Bapak,” kata Sinta, nadanya sinis dan menantang.
Ustaz Fikri menoleh, sorot matanya sedih. “Nak Sinta. Saya tahu kamu datang untuk melihat. Apakah kamu sudah mendapatkan jawaban?”
Sinta tidak menjawab pertanyaan itu. Ia langsung melontarkan pertanyaan yang sama dengan malam itu, tetapi kini dengan bukti yang lebih gelap:
“Apakah benar akan ada siksa kubur setelah kematian?”
Ustaz Fikri menghela napas. Ia tahu, setelah apa yang terjadi pada Slamet, Sinta membutuhkan jawaban yang kuat, bukan sekadar janji.
Ustaz itu menjelaskan lagi dengan sabar, mengulangi bahwa siksa kubur adalah alam ghaib, bagian dari keyakinan. Ia mencoba mengaitkan dengan naluri keadilan manusia.
“Nak Sinta, Slamet melakukan perbuatan yang sangat keji di masa lalu, dan ia mengakhiri hidupnya dengan tragis. Keyakinan akan siksa kubur adalah penegasan bahwa setiap perbuatan—baik yang tersembunyi maupun yang terlihat—akan dibalas. Allah Maha Adil. Jika ia tidak dihukum di dunia, maka ia akan mempertanggungjawabkannya di alam barzakh. Tuhan tidak membiarkan kejahatan lolos begitu saja.”
Ustaz Fikri mencoba melembutkan hati Sinta. “Bukankah kamu sendiri yang mencari keadilan? Keyakinan ini adalah janji keadilan tertinggi.”
💥 Pembantahan Sinta
Namun, Sinta membantah. Senyum sinis kembali terukir di bibirnya.
“Keadilan? Saya sudah mendapatkan keadilan saya. Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri. Keadilan datang dari rasa bersalah Slamet, dari ketakutan yang menggerogoti hingga ia mengambil nyawanya sendiri. Ia sudah menghukum dirinya sendiri di dunia, Pak. Saya tidak percaya bahwa siksa kubur hanyalah mainan saja atau akal-akalan agama saja untuk mengendalikan orang.”
Sinta menunjuk tanah kuburan Slamet. “Lihat. Dia tenang sekarang. Tubuhnya akan membusuk menjadi tanah, sama seperti yang dikatakan Sains. Tidak ada malaikat, tidak ada palu godam, tidak ada ular. Yang ada hanya tidur. Tidur yang panjang setelah lelah disiksa di dunia.”
Ia menatap Ustaz Fikri dengan dingin. “Saya melihat betapa bahayanya keyakinan itu, Pak. Keyakinan yang bisa membuat orang menyiksa anak-anak di pesantren. Keyakinan yang membuat orang bunuh diri. Saya tidak mau terperangkap dalam ketakutan yang sama.”
Ustaz Fikri menyadari, ia tidak bisa memenangkan perdebatan ini. Iman Sinta telah dibajak oleh trauma masa lalunya.
“Sinta, carilah kedamaian dalam hatimu. Bukan dengan menantang alam ghaib, tapi dengan memaafkan dan menerima takdirmu,” kata Ustaz Fikri dengan sedih.
Ustaz akhirnya pulang dengan langkah berat, meninggalkan Sinta sendirian di sisi kuburan.
🌑 Rencana Radikal
Begitu Ustaz Fikri menghilang, Sinta berbalik. Ia melihat ke kejauhan. Di sudut pekuburan, ia melihat seorang pria muda sedang membereskan peralatan menggali—Adil.
Adil (26), kini seorang pekerja keras dan pendiam yang mencari nafkah sebagai penggali kubur. Ia adalah satu-satunya orang yang berbagi trauma dengan Sinta.
Sinta berjalan ke arahnya.
“Adil,” panggil Sinta.
Adil menoleh, terkejut melihat kakaknya di pekuburan itu. Ia tahu Sinta ada di sana untuk melihat pemakaman Slamet.
“Mbak Sinta. Sudah selesai?” tanya Adil, suaranya pelan.
Sinta berdiri di samping Adil. Ekspresi sinisnya kini mereda, digantikan oleh keraguan dan tekad yang gila.
“Aku sudah bicara dengan Ustaz tadi. Aku membantahnya. Tapi... aku masih agak percaya siksa kubur itu ada.”
Adil mengerutkan kening. “Maksud Mbak? Bukannya Mbak sudah yakin itu hanya bualan?”
“Aku yakin itu bualan, Adil. Tapi ada sesuatu yang menggangguku. Orang-orang yang mengatasnamakan agama itu, yang dengan mudahnya membunuh orang dengan bom, mereka yakin sekali dengan janji surga dan neraka. Keyakinan mereka begitu kuat sampai mereka rela mati. Aku harus tahu bagaimana rasanya tidur di kuburan,” Sinta berbisik, matanya menatap tajam ke arah gundukan tanah baru.
Adil menatap Sinta, wajahnya pucat. “Mbak Sinta, jangan gila. Apa maksud Mbak?”
Sinta memegang lengan Adil, tatapannya dingin dan memaksa.
“Nanti malam, kamu ikut aku.”
Adil menahan napas, menatap kakaknya yang kini tampak seperti bayangan masa lalunya yang pemberani, tapi kini dipenuhi oleh kegilaan.
“Aku harus membuktikannya, Adil. Jika siksa kubur itu hanya main-mainan, maka orang yang mengatasnamakan agama itu dengan bom tidak akan pernah bisa mengendalikan kita lagi. Aku harus membuktikannya, dengan cara kita sendiri.”
Sinta menunjuk ke arah gundukan kuburan yang kosong.
“Aku langsung tidur saja di kuburan nanti malam. Kamu yang jaga. Kita lihat, apakah aku akan disiksa. Kalau aku tidak disiksa, berarti Slamet benar. Dan kita bebas selamanya.”
Adil tahu, jika Sinta sudah bertekad seperti ini, tidak ada yang bisa menghentikannya. Sinta, si wanita yang merawat hidup, kini akan menantang mati.