 
                            Aprilia, gadis desa yang dijodohkan dengan Vernando, pria tampan dan kaya raya, harus menelan pil pahit kehidupan. 
Alih-alih kebahagiaan, ia justru menerima hinaan dan cacian. Vernando, yang merasa memiliki istri "jelek" dan "culun", tak segan merendahkan Aprilia di depan teman-temannya. 
Kesabaran Aprilia pun mencapai batasnya, dan kata "cerai" terlontar dari bibirnya. 
Mampukah Aprilia memulai hidup baru setelah terbebas dari neraka pernikahannya? Atau justru terjerat dalam masalah yang lebih pelik?
Dan Apakah Vernando akan menceraikan Aprilia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Surga Dunia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 6
Plak!
Suara tamparan menggema di ruangan itu, memecah keheningan pagi. Pipi Aprilia terasa panas dan berdenyut nyeri.
Warna merah langsung tercetak jelas di kulit putihnya yang yang berjerawat. Dengan tangan gemetar, ia menyentuh pipinya, mencoba meredakan sensasi terbakar yang menjalar.
"Kamu ini benar-benar tidak punya sopan santun!" bentak ayahnya, suaranya bergemuruh seperti badai yang siap menerjang.
"Apa yang kamu lakukan pada Vini kemarin itu sudah keterlaluan!"
Aprilia hanya bisa menunduk, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tahu ayahnya sangat marah.
"Vini itu adik kamu, Aprilia! Dia datang dengan niat baik, tapi malah diperlakukan seperti itu. Apa kamu tidak bisa menghargai sedikit saja perasaannya?" Ayah Aprilia terus meluapkan kekesalannya.
Aprilia ingin membela diri, menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, lidahnya terasa kelu. Ia tahu, menjelaskan pun tidak akan mengubah apapun. Ayahnya sudah terlanjur kecewa padanya.
Suasana tegang menyelimuti ruang tamu mewah itu.
"Minta maaf pada Vini sekarang juga!" bentak Bimo, suara baritonnya menggelegar, menusuk telinga Aprilia seperti jarum dingin.
Wajahnya memerah karena amarah, urat lehernya menonjol.
Aprilia meringis, pipinya terasa panas dan berdenyut nyeri akibat tamparan keras Bimo beberapa saat lalu.
Ia menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang mendesak keluar.
Di samping Bimo, Vini dan ibunya, Rose, bertukar pandang penuh makna. Senyum tipis, nyaris tak terlihat, tersungging di bibir mereka.
Mereka menikmati setiap detik penderitaan Aprilia, diam-diam merayakan luka yang tercipta.
"Kenapa kemarin Kak Lia menyuruh Mbok Ratmi mengusirku?" tanya Vini, suaranya mendadak berubah mendayu, dipenuhi nada kesedihan yang dibuat-buat.
Matanya mengerjap-ngerjap, sukses mengumpulkan embun yang seolah siap menetes.
Itu adalah jurus andalannya, sandiwara sempurna agar kemarahan Bimo semakin memuncak, menghantam Aprilia tanpa ampun.
"Vini, kamu tahu betul kemarin aku sakit... aku demam tinggi," ucap Aprilia, nadanya terdengar lemah, berusaha sekuat tenaga menjelaskan alasan di balik tindakannya.
Ia ingin merangkai kata, meredam kesalahpahaman.
Namun, Bimo tak memberinya kesempatan.
"Ya maka dari itu! Vini ingin menjenguk kamu, menunjukkan perhatiannya sebagai adik, dan kamu malah menyuruh pembantu rendahan itu mengusirnya! Jangan mentang-mentang sekarang kamu jadi nyonya besar, jadi seenaknya ke adikmu!" Bimo berteriak, suaranya pecah dipenuhi kekecewaan yang membebani bahunya.
Kata 'pembantu rendahan' itu terucap dengan nada meremehkan yang menusuk.
Aprilia mendongak, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya, tak percaya dengan tuduhan itu.
"Kan Ayah dulu yang menjodohkan aku dengan Mas Nando," jawab Aprilia, suaranya tercekat.
Pernikahan ini bukan murni keinginannya, itu adalah keputusan yang dipaksakan.
Bimo mendengus kasar. "Perjodohan itu dilakukan oleh keluarga saat itu, atas dasar kesepakatan bisnis! Karna kakek vernando sangat menyukai mu, Jika aku yang memulai perjodohan, mungkin Vernando akan aku jodohkan dengan Vini! Dia yang lebih pantas menjadi Nyonya Besar!"
Kata-kata itu menghantam Aprilia laksana godam, telak mengenai ulu hatinya. Udara seakan menipis.
Dunia di sekitarnya mendadak sunyi, hanya menyisakan gemuruh di dadanya sendiri.
Se-tidak pantas itukah ia di mata ayahnya? Semua pengorbanan, semua kepatuhan, seolah tak berarti di hadapan Vini yang lebih pantas itu. Hati Aprilia hancur berkeping, remuk redam.
Hembusan napas berat lolos dari bibir Aprilia. Pikirannya berperang hebat, antara keinginan untuk membela diri dan kebutuhan untuk menghentikan badai kemarahan yang bisa menghancurkan lebih banyak hal.
Keputusan telah dibuat.
"Maafkan aku, Vini," ucap Aprilia, suaranya nyaris berbisik, tercekat di tenggorokan yang terasa kering.
Kata-kata itu terasa pahit di lidahnya, sebuah pengakuan bersalah palsu demi kedamaian yang fana.
Ia menundukkan kepala, membiarkan rambutnya menutupi ekspresi matanya yang pedih.
Bimo menatap Aprilia dengan mata menyala. "Jangan sekali-kali kamu menyakiti Vini lagi, mengerti!" bentaknya, suaranya masih bergetar hebat menahan emosi.
Itu bukan sekadar peringatan, melainkan sebuah ancaman keras.
"Iya, Ayah," jawab Aprilia pelan, pasrah.
Sebuah pemberontakan membara dalam hatinya. Ia ingin berteriak, menjelaskan kebenaran yang diputarbalikkan, membalas tatapan sinis Vini dan Rose.
Namun, ia tak berdaya. Ia tahu betul, jika ia melawan, badai ini tidak hanya akan menghantamnya.
Dirinya hanya seorang diri. Tidak ada yang membelanya di rumah itu.
Kelemahannya adalah sang Nenek. Nenek yang renta dan tinggal di kampung itu adalah satu-satunya pelabuhan hatinya.
Aprilia tahu persis, Vini tidak akan ragu menggunakan kelemahan nya itu.
Gadis licik itu akan menyerang nenek Aprilia, memastikan Neneknya terkena imbas jika ia berani melawan.
Maka, Aprilia memilih untuk menelan ludah, menekan gejolak amarahnya dalam-dalam.
Ia berdiri di sana, rapuh dan terkalahkan, membiarkan dirinya menjadi karpet penyeka kaki demi melindungi satu-satunya orang yang ia sayangi.
***
Aprilia melangkah menjauh dari kediaman Bimo, meninggalkan hawa mencekik penuh drama dan penghakiman.
Langkah kakinya membawa ia ke sebuah taman kota, sebuah oase ketenangan yang kontras dengan kekacauan batinnya.
Di bawah naungan pepohonan rindang, ia membiarkan pandangannya menyapu sekeliling.
Ia melihat pasangan-pasangan yang tertawa renyah, sepasang sahabat yang berbagi rahasia, dan keluarga harmonis yang bermain bersama di rerumputan hijau.
Diam-diam, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. Ia ikut merasakan remah-remah kebahagiaan universal yang terpancar dari orang-orang itu, meskipun hatinya sendiri baru saja tercabik-cabik.
Karena terlalu asyik mengamati, Aprilia tidak memperhatikan langkahnya.
Bruk!
Ia menabrak sesuatu, atau lebih tepatnya, seseorang.
Ia terhuyung sedikit, dan di depannya berdiri seorang pria. Pria itu mengenakan setelan jas biru tua yang rapih—terlalu formal untuk suasana taman.
Tatapannya tajam, celingukan ke sekeliling seolah mencari harta karun yang hilang. Di belakangnya, beberapa orang berpakaian serba hitam, dengan postur tegap khas pengawal, juga tampak gelisah, menyisir area taman dengan mata waspada.
"Maaf," ujar Aprilia cepat, merasa tidak enak karena kecerobohannya.
Pria itu hanya menyahut dengan deheman singkat, ekspresi wajahnya datar, tidak menunjukkan kekesalan, namun juga tidak menunjukkan perhatian.
"Hmmm," gumamnya, kemudian segera melanjutkan pencariannya yang misterius.
Aprilia menghela napas, lantas melanjutkan jalannya dengan santai. Matanya tertuju pada sebuah gerobak es krim di seberang jalan setapak.
Godaan manis itu terlalu kuat untuk diabaikan. Ia menyeberang dan membeli sepotong es krim vanila.
"Mau... mau..."
Sebuah suara mungil menarik perhatian Aprilia. Seorang anak kecil, mungkin berusia sekitar tiga tahun, berdiri di depan gerobak es krim dengan mata berbinar penuh harap.
"Mana orang tuamu, Nak? Mana uangnya?" tanya si penjual es krim dengan nada lembut.
Aprilia yang hatinya mudah tersentuh, segera menghampiri. Ia tidak tega melihat mata polos itu memancarkan kekecewaan.
Tanpa pikir panjang, Aprilia membayarkan es krim untuk anak kecil itu.
Mereka duduk berdampingan di bangku taman. Aprilia menikmati es krimnya, sementara anak itu yang ternyata adalah seorang laki-laki, melahap es krimnya dengan lahap, wajahnya belepotan penuh krim.
"Siapa namamu, Nak? Mana orang tuamu?" tanya Aprilia, menyeka sisa es krim di pipi anak itu.
"Zio," jawab si kecil sambil menjilati sendoknya.
"Di sana," katanya, menunjuk ke arah lain taman yang rimbun, tanpa antusias.
"Ayo, Kakak antar," ajak Aprilia.
"Tidak mau! Zio mau makan es krim saja," tolak Zio dengan keras kepala.
Aprilia tersenyum geli, namun ia mulai berpikir. Anak sekecil ini berjalan sendirian, menolak diantar pulang, Sepertinya, Zio baru saja melakukan pelarian kecil demi mendapatkan kebahagiaan manis tanpa sepengetahuan orang tuanya.
 
                     
                     
                    