Olivia Xera Hilson, gadis cantik dan berwibawa yang tumbuh dalam bayang-bayang kekuasaan, terpaksa menerima tawaran pernikahan dari Vincent Lucashe Verhaag seorang pria karismatik sekaligus pewaris tunggal keluarga bisnis paling berpengaruh di Amerika.
Namun di balik cincin dan janji suci itu, tersembunyi dua rahasia kelam yang sama-sama mereka lindungi.
Olivia bukan wanita biasa ia menyimpan identitas berbahaya yang dia simpan sendiri, sementara Vincent pun menutupi sisi gelap nya yang sangat berpengaruh di dunia bawah.
Ketika cinta dan tipu daya mulai saling bertabrakan, keduanya harus memutuskan. apakah pernikahan ini akan menjadi awal kebahagiaan, atau perang paling mematikan yang pernah mereka hadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Handayani Sr., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Mereka akhirnya tiba di dek lantai satu. Di sana terbentang restoran mewah bergaya hotel bintang lima lantai marmer putih berkilau, lampu gantung kristal berayun lembut mengikuti gerakan kapal, dan aroma kopi bercampur roti panggang memenuhi udara.
Para tamu tampak menikmati sarapan bersama keluarga mereka; tawa anak-anak kecil terdengar bercampur dengan denting sendok dan garpu.
“Luar biasa…” gumam Olivia kagum, matanya tak lepas dari pemandangan laut biru di balik kaca besar restoran. “Aku masih tak percaya bisa naik kapal pesiar semewah ini... secara cuma-cuma.”
Mereka duduk di kursi dekat jendela besar, menghadap lautan lepas.
Vincent membuka percakapan dengan nada datarnya yang khas.
“Sebentar lagi temanku akan datang. Kau tidak keberatan kalau kita sarapan bersama mereka?”
“Teman?” Olivia menaikkan alis. “Kau… punya teman?”
Vincent hanya menatapnya sekilas sambil tersenyum samar.
“Tentu saja.”
Tak lama kemudian, seorang pria muncul bersama istri dan bayi mungilnya.
“Hei, Vincent!” sapa pria itu hangat.
“Roger, kemarilah,” jawab Vincent datar tapi ramah.
Olivia langsung mengenali pria itu.
“Ah… ini pria yang kemarin di mansion.” batinnya.
“Kenalkan, ini Roger dan istrinya,” ujar Vincent kemudian, menatap Olivia. “Dan ini… istriku.”
“Senang bertemu denganmu, Nona Olivia. Aku Roger Smith, ini istriku, Anya, dan putri kecil kami, Seva Kelle Smith,” ucap Roger ramah.
“Senang berkenalan,” jawab Olivia tersenyum lembut.
Mereka berbincang santai. Suasana terasa hangat dan penuh tawa, sampai Roger tiba-tiba mencondongkan tubuh, suaranya nyaris berbisik.
“Bagaimana menurutmu, Vin? Apa mereka akan bergerak malam ini?”
Suara itu pelan, tapi cukup bagi Olivia untuk mendengarnya.
Vincent meneguk kopinya perlahan.
“Kemungkinan besar. Kau sudah minta bantuan?”
“Sudah. Agent intelijen mulai bergerak.”
Roger menjawab dengan nada tegang.
Mata Olivia melebar. “Ternyata tugas Captain adalah melindungi keluarga Roger Smith…” pikirnya kaget.
* * * *
Flashback
Beberapa hari sebelumnya, Roger datang ke mansion Vincent.
“Tumben kau datang ke sini,” ucap Vincent datar sambil menatap sahabat lamanya.
“Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas pernikahanmu,” jawab Roger tersenyum kecil.
“Terima kasih… tapi aku yakin bukan itu tujuan utamamu, kan?” balas Vincent tajam.
Roger terdiam sejenak, lalu menunduk.
“Kau benar… aku butuh bantuanmu, Vin. Keluargaku sedang diincar mafia Prancis. Kami sudah berpindah-pindah tempat, tapi mereka selalu menemukan kami.”
“Kenapa mereka memburumu?” tanya Vincent penasaran.
“Karena istriku... dia adalah wanita yang dulu dicintai pemimpin mafia itu. Tapi ia memilihku. Sekarang, setelah putriku lahir, mereka ingin balas dendam. Aku hanya ingin hidup damai bersama keluargaku…”
Suara Roger bergetar.
Vincent terdiam beberapa saat, lalu berkata pelan.
“Baiklah. Besok kapalku berlayar ke Maldives. Kalian ikut. Di sana ada vila milikku aman dan dijaga ketat. Aku akan menyewa agen intelijen untuk kalian, dan menempatkan beberapa anak buahku di sana.”
Roger menatap Vincent dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih… kau menyelamatkan kami, Vin.”
Flashback off.
* * * *
Olivia kini berbincang hangat dengan Anya di meja makan.
“Bayimu sangat manis,” ucap Olivia gemas melihat Seva.
“Terima kasih, nona. Dia cahaya hidup kami,” balas Anya tersenyum bahagia.
Melihat bayi mungil itu, hati Olivia terasa lembut. 'Aku ingin melindungi mereka.' batinnya.
Beberapa menit kemudian, Olivia berpamitan menuju toilet.
Begitu pintu terkunci, ia langsung menelpon Captain Joseph.
“Halo, Captain. Ternyata Tuan Smith adalah teman suamiku. Aku akan menjaga mereka dari dalam. Kalian fokus menghalangi siapapun yang mencoba mendekat.”
Suara Olivia pelan tapi tegas.
“Baik. Rencana kita berubah,” jawab Captain singkat.
Olivia menutup sambungan, menatap pantulan wajahnya di cermin.
“Mungkin… aku dan Vincent juga akan jadi incaran mereka.”
* * * *
Malam mulai turun. Di kamar, Olivia menatap Vincent dengan hati-hati.
“Tadi temanmu itu… kelihatannya gelisah. Ada apa sebenarnya?”
“Tidak ada apa-apa. Mereka hanya akan pindah ke Maldives,” jawab Vincent tenang.
Olivia mengerutkan kening. 'Pria ini… jelas menyembunyikan sesuatu.'
“Baiklah. Aku akan menemui mereka nanti,” ujarnya pura-pura santai.
Vincent langsung menatap tajam.
“Untuk apa?”
“Bermain dengan bayinya. Kenapa kau menatapku begitu?”
“Mereka dalam bahaya, Olivia. Jika kita terlalu dekat, kita bisa jadi sasaran juga.”
Nada Vincent berubah dingin.
“Bahaya? Maksudmu apa?” tanya Olivia panik.
“Aku tak bisa menjelaskan sekarang. Tapi dengarkan aku jangan dekat-dekat dengan mereka.”
Olivia menatapnya, tulus.
“Tapi… kalau mereka dalam bahaya, bagaimana dengan bayi itu? Aku tidak bisa berpura-pura tidak peduli.”
Vincent terdiam. Kata-kata istrinya menusuk.
Akhirnya ia berkata pelan,
“Baik. Tapi tetap di sisiku. Ingat, di depan umum kita pasangan sungguhan. Jangan biarkan siapapun curiga.”
Olivia mengangguk. Ia lalu duduk di balkon, memainkan ponselnya sambil menatap langit yang mulai gelap. Vincent menyusul, membawa segelas vodka dan iPad-nya. Mereka menghabiskan sore dalam diam, hanya suara ombak dan angin laut menemani.
* * * *
Sementara itu, di bagian paling bawah kapal, segerombolan pria berseragam hitam berdiri di balik kontainer.
“Kita harus bergerak hati-hati. Pastikan semuanya bersih dan tanpa keributan,” ucap pemimpin mereka tegas.
“Apakah kita harus membunuh keduanya?” tanya salah satu.
“Tentu. Tapi Nona Anya harus dibawa hidup-hidup,” jawab bos itu dingin.
“Malam ini ada pesta topeng. Gunakan kesempatan itu. Sebelum kapal mencapai tengah laut, semuanya harus selesai,” perintahnya tajam.
Mereka mengangguk serempak.
* * * *
“Kau tidak mau makan malam?” tanya Olivia gugup.
“Baiklah. Ayo.” Vincent menutup iPad dan berdiri.
“Tunggu sebentar, aku bersiap dulu,” ujar Olivia sambil mengambil dress elegannya. Ia masuk ke kamar mandi, sementara Vincent merapikan jas hitamnya.
Malam itu mereka menuju dek lima, tempat pesta topeng berlangsung.
“Ingat, kita harus terlihat seperti pasangan sungguhan,” bisik Vincent di telinganya.
Olivia mengangguk pelan. Musik klasik menggema, lampu gantung berkilau, dan para tamu menari dengan topeng indah di wajah mereka.
“Acara apa ini, kenapa semua berpakaian formal?” tanya Olivia berbisik.
“Pesta topeng,” jawab Vincent datar. “Kau ingin melihatnya?”
Namun Olivia tiba-tiba menangkap sinyal dari Captain-nya di kejauhan.
Ia menoleh cepat ke arah meja lain dan merasakan ada beberapa sosok mencurigakan.
“Aku kepikiran keluarga temanmu, mereka di mana ya?” katanya lirih.
Vincent menatap sekeliling. Ia juga menyadari hal yang sama ada beberapa orang berwajah dingin memperhatikan mereka. Bahaya sudah dekat.
“Selesaikan makanmu. Kita harus ke kamar mereka sekarang,” ucapnya datar.
Mereka bergegas ke dek lima belas. Vincent mengetuk pintu, dan Roger langsung membuka dengan wajah tegang.
“Kalian tidak aman,” kata Vincent tanpa basa-basi.
Olivia segera menghampiri Anya dan menggendong bayi kecil itu.
“Kami harus bagaimana?” tanya Anya panik.
“Tenang. Kami akan melindungi kalian,” ujar Olivia lembut.
“Bagaimana situasi di luar?” tanya Roger pada Vincent.
“Beberapa orang mencurigakan di restoran. Mereka mungkin akan bergerak malam ini.”
Anya menggenggam tangan suaminya erat. Vincent mengetik pesan cepat di ponselnya, menghubungi anak buahnya untuk segera ke kamar itu.
Namun belum sempat bantuan datang…
Tok… tok… tok…
Ketiganya saling menatap.
“Apa kalian memesan makanan?” tanya Vincent pelan.
“Tidak,” jawab Roger dengan wajah pucat.
Dan tepat detik berikutnya
DOR! DOR! DOR!
Peluru menembus pintu kayu. Olivia segera menarik Anya dan bayinya berlindung di balik sofa, sementara Vincent membalik meja, menarik pistol dari balik jasnya.
Suara teriakan, kaca pecah, dan derap langkah kaki terdengar dari luar.
“Lindungi mereka!” teriak Vincent dingin sambil membalas tembakan ke arah pintu.
Udara kamar penuh asap mesiu. Kapal pesiar mewah itu seketika berubah menjadi medan perang rahasia di tengah laut.