Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.
Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.
Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.
Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 — Pengalihan Perhatian Penenun
Mei Lan tidak pernah menjadi petarung. Tangannya terbiasa dengan kelembutan sutra, bukan ketajaman senjata. Namun, setelah pengakuan malam itu di gudang padi, ia tidak lagi berpikir sebagai Gadis Penenun yang lemah; ia berpikir sebagai kekasih seorang Jenderal, dan ia harus bertindak seperti itu.
Jian sedang berlari ke hutan, membawa gulungan rahasia itu, dikejar oleh Bayangan Istana yang dipimpin oleh Letnan Han. Jika Jian tertangkap, Mei Lan akan kehilangan segalanya, dan Kekaisaran akan jatuh ke dalam kekacauan.
Mei Lan menoleh ke Balai Desa, tempat Letnan Han dan seorang anak buahnya baru saja berbalik untuk mengikuti Jian ke pinggir hutan. Shan Bo dan para pemuda desa yang kelelahan kini berlari mengejar bayangan Jian.
Mei Lan tahu, Jian membutuhkan waktu. Sedetik waktu yang dibeli adalah nyawa yang diselamatkan.
Tindakan Pertama: Sutra dan Api
Mei Lan melihat sekeliling. Gudang padi yang baru saja dihancurkan oleh Jian adalah target. Jika Shan Bo dan para pemuda kembali ke sana, mereka akan menyadari Mei Lan hilang dan tahu arah pelarian Jian.
Mei Lan berlari ke rumahnya terlebih dahulu. Ia mengambil baskom tembaga tua yang biasa digunakan untuk mencuci, sebotol kecil minyak lampu yang disembunyikan di bawah kompor, dan sisa benang sutra berwarna merah tua yang paling berharga.
Ia berlari cepat ke gudang padi. Saat ia tiba, Shan Bo dan beberapa pemuda baru saja kembali, memeriksa lubang di dinding.
“Gadis Penenun!” teriak Shan Bo, wajahnya dipenuhi amarah. “Kau pasti datang dari rumahmu! Kau tahu ke mana dia pergi, jalang kecil!”
Mei Lan mengabaikan Shan Bo. Ia tahu, berdebat hanya membuang waktu.
Ia melemparkan botol minyak lampu itu ke dalam gudang, isinya tumpah ke tumpukan jerami. Ia kemudian mengambil baskom tembaga dan mengambil segenggam bara api yang masih menyala dari tungku tetangga.
Shan Bo tercengang. “Apa yang kau lakukan?!”
Mei Lan menoleh ke Shan Bo, matanya dingin dan tenang—mata yang sama sekali baru, menakutkan, dan mengancam.
“Saya menyelamatkan Anda semua,” kata Mei Lan, suaranya dipenuhi otoritas yang dipinjam dari Jian. “Jika Istana menangkap Jian, mereka akan menyiksa seluruh desa ini untuk mencari gulungan yang dia bawa. Saya akan membakar bukti persembunyiannya.”
Ia melemparkan bara api itu ke dalam gudang yang sudah basah oleh minyak lampu dan jerami kering.
Api langsung menyala. Itu bukan hanya kebakaran kecil; jerami kering dan gandum tua adalah bahan bakar yang sempurna.
Shan Bo dan para pemuda itu berteriak kaget dan panik. “Api! Api! Gudang padi terbakar!”
Mei Lan tidak menunggu. Api yang mengepulkan asap hitam tebal ke langit adalah pengalihan yang ia butuhkan.
Tindakan Kedua: Chaos di Balai Desa
Gudang padi yang terbakar segera menarik perhatian. Bukan hanya penduduk desa, tetapi juga Letnan Han yang sedang mengejar Jian di pinggir hutan.
Letnan Han berbalik, melihat kolom asap hitam pekat itu. Ia mengerutkan kening. Pengepungan yang rapi kini berubah menjadi kekacauan.
“Sialan!” umpat Letnan Han. “Siapa yang melakukan ini? Pergi dan padamkan api itu! Kita tidak bisa membiarkan kerugian sebesar ini di depan Istana!”
Dua anak buah Letnan Han yang tadinya mengejar Jian, kini harus berbalik dan lari kembali ke desa untuk membantu memadamkan api yang mengancam akan menyebar ke rumah-rumah.
Mei Lan telah membeli waktu berharga Jian.
Sambil para penduduk desa berhamburan, berlari membawa ember air, Mei Lan berlari ke Balai Desa. Di sana, di atas meja Kepala Desa Liang, teronggok gulungan lamaran dari Keluarga Ling—gulungan yang dia tolak.
Mei Lan mengambil gulungan itu. Itu tidak penting, tetapi itu adalah simbol dari pengkhianatan Kepala Desa Liang terhadap rakyatnya sendiri.
Ia kemudian berlari ke alun-alun desa, tempat semua penduduk desa berkumpul.
Tindakan Ketiga: Deklarasi Publik dan Sutra Merah
Mei Lan naik ke atas batu yang biasa digunakan untuk mengikat kuda. Di bawahnya, penduduk desa berteriak, panik, dan sibuk memadamkan api.
“BERHENTI! DENGARKAN SAYA!” teriak Mei Lan.
Kepala Desa Liang, wajahnya hitam karena asap dan amarah, berbalik. “Kau! Kau membakar gudang padi! Kau akan mati!”
Mei Lan mengabaikannya. Ia memegang gulungan lamaran itu di satu tangan, dan di tangan lainnya, ia memegang benang sutra merah tua yang ia bawa dari rumah. Benang sutra termahal dan paling berharga milik keluarganya.
“Dengarkan saya, para penduduk Desa Kain Sutra!” seru Mei Lan, suaranya memotong kebisingan api. “Kalian menuduh saya mencoreng kehormatan desa dengan seorang pria yang kalian sebut penjahat! Kalian menuduh saya menghancurkan takdir kita!”
Ia merobek gulungan lamaran dari Keluarga Ling menjadi dua, dan melemparkan potongan-potongan itu ke tanah.
“Inilah yang menghancurkan kita!” seru Mei Lan, menunjuk ke Kepala Desa Liang. “Bukan Jian! Kepala Desa Liang menjual kita semua kepada pedagang korup untuk menutupi hutang dan keserakahannya sendiri!”
Mei Lan tahu, kata-katanya tidak akan dipercaya sepenuhnya, tetapi ia tidak ingin mereka percaya. Ia ingin mereka ragu.
Ia mengangkat benang sutra merah tua itu, sutra yang ditenun dengan keterampilan sempurna, sutra yang seharusnya menjadi mahar pernikahannya.
“Saya adalah penenun. Dan saya tahu bagaimana menganyam benang takdir,” kata Mei Lan, dengan air mata mengalir di pipinya, tetapi suaranya dipenuhi kepercayaan diri. “Saya telah menganyam nasib saya dengan nasib Jian. Dia adalah Jenderal sejati, yang mengorbankan segalanya untuk kita semua, untuk Kekaisaran! Dia membawa kebenaran yang akan menyelamatkan kita!”
Ia melilitkan benang sutra merah itu ke pergelangan tangannya sendiri, sebuah ikatan yang menandakan komitmen.
“Mereka datang bukan untuk menangkap Jian, tetapi untuk membungkam kebenaran!” teriak Mei Lan. “Jika kalian membiarkan mereka menangkapnya, kalian akan selamanya menjadi budak dari Kepala Desa Liang dan Istana yang korup!”
Kekacauan Sempurna
Pidato Mei Lan tidak mengubah pikiran semua orang. Banyak yang tetap takut dan marah. Tetapi ia telah menaburkan benih keraguan. Beberapa penduduk desa, terutama yang paling miskin dan tertindas oleh Kepala Desa Liang, mulai bertanya-tanya.
Di tengah kekacauan, Shan Bo berlari ke arah Mei Lan. “Kau gila! Aku akan menyerahkanmu kepada Letnan Han!”
Sebelum Shan Bo sempat menyentuhnya, Mei Lan sudah bersiap. Jian telah memberinya pelajaran singkat—bagaimana menggunakan berat tubuh untuk pertahanan.
Mei Lan hanya sedikit mundur, dan saat Shan Bo maju, Mei Lan menendang tanah dengan kakinya, melemparkan debu dan kerikil ke wajah Shan Bo yang penuh keringat dan asap. Shan Bo tersentak, menutup matanya.
Saat itulah Mei Lan berlari, melompat dari batu dan melewati kerumunan yang sibuk memadamkan api.
Letnan Han, yang kembali ke desa karena api dan keributan itu, melihat Mei Lan berlari menuju hutan, ke arah yang sama dengan Jian melarikan diri.
Letnan Han tersenyum. Senyumnya penuh kekejaman. Ia menyadari. Wanita ini, Gadis Penenun ini, bukanlah korban, tetapi sekutu.
“Lupakan apinya!” teriak Letnan Han kepada anak buahnya yang lain. “Tangkap wanita itu! Dia pasti tahu di mana gulungan itu! Wanita itu lebih penting dari api!”
Mei Lan mendengar teriakannya. Ia telah berhasil. Ia telah mengalihkan perhatian dan memecah pengejaran. Ia telah menjadi target utama, tetapi itu berarti Jian memiliki waktu berharga untuk bersembunyi.
Mei Lan berlari secepat yang ia bisa, menuju pinggir hutan, ke tempat di mana ia telah berjanji untuk bertemu Jian. Ia tahu, sekarang, ia benar-benar sendirian, dikejar oleh Bayangan Istana. Kehidupan baru mereka baru saja dimulai dalam pelarian yang mendebarkan.