Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5
Pagi itu, Yun Sia bangun dengan posisi yang… tidak manusiawi, kakinya di atas bantal.
Kepalanya di ujung ranjang, selimutnya entah sudah kabur ke mana.
A-yang yang melihatnya hanya bisa berdiri di pintu sambil memijit pelipis. “Bagaimana bisa seseorang… tidur seperti ini?”
Yun Sia membuka mata, melihat A-yang, lalu tersenyum.
“Pagi, Ayang.”
A-yang langsung salah napas. “B–bukan Ayang…”
“Kamu malu? Hehe.” tanya Yun Sia dengan tawanya
Pipinya memerah. Lagi.
Liyan dari belakang ikut muncul sambil membawa ember air. “Selamat pagi, nona Yun Sia.”
Yun Sia mengangguk, "Selamat pagi Yan" lalu menengok lagi ke A-yang.
“Ayang, kamu lihat aku tidur nggak sopan ya?” tanya Yun Sia
“…Aku tidak bilang begitu.” jawab A-yang
“Tapi wajahmu bilang begitu.” ujar Yun Sia
“…Diam.” seru A-yang
Liyan hanya bisa menatap langit."Tuan… kapan Anda mengakui saja kalau Anda suka dipanggil Ayang?"
----
Yun Sia merentangkan tangan. “Oke! Hari ini kita cari ikan! Aku mau masak ikan goreng cabe!”
A-yang langsung refleks, “Aku ikut.”
“Kenapa ikut? Kamu kan sibuk jadi Ayang… eh maksudnya jadi lelaki dingin.” ujar Yun Sia
“Tidak ada yang lebih penting dari menjaga keselamatanmu.” jawab A-yang cepat
Liyan tersedak udara. "Tuan… Anda barusan… mengaku begitu romantis sekali, saya pingsan…"
Yun Sia tidak sadar apa-apa, hanya menjawab, “Bagus! Kalau gitu Ayang bawa embernya!”
A-yang mematung. “…Aku pembawa ember?”
Yun Sia menoleh ke A-yang, “Ya dong. Kamu kan kuat.”
A-yang tersenyum kecil, “…Baik.”
Liyan melongo."Tuan?? Menuruti dia semudah itu??" gumamnya
A-yang memandang tajam Liyan dan itu membuat Pengawal Liyan kabur
----
Air sungai mengalir jernih. Yun Sia langsung melepas sepatu dan nyemplung.
WUSH!
“Kyaa dingin! Ayang! Airnya dingin!” seru Yun Sia
“Kau yang lompat sendiri…” jawab A-yang
“Ya tapi kamu harus pura-pura khawatir!” ujar Yun Sia
A-yang memejamkan mata sebentar, kalah oleh logika Yun Sia. “…Hati-hati. Jangan jatuh lagi.”
“Gitu dong! Ayang ku !” seru Yun Sia
A-yang hampir masuk sungai karena keseleo emosi. “A-apa?!”
“Kan kamu suka kalau aku manja” ujar Yun Sia usil
“S-siapa yang bilang? Tidak. Aku— Bukan—” ujar A-yang
Liyan menyerah Ia duduk di batu, memeluk lutut. “Aku harusnya menjadi pengawal, bukan saksi romantis mereka…”
Yun Sia Menangkap Ikan… Dengan Cara Yun Sia
Ketika A-yang sedang mengambil air, Yun Sia mencondongkan tubuh ke sungai. “Eh! Ikan itu lucu banget!”
Ia mengulurkan tangan.
Dan—PLAK!
Ia menangkap satu ikan langsung dengan tangan kosong.
A-yang membelalakkan mata. “Kau… bagaimana kau melakukannya?”
“Insting lapar.” jawab Yun Sia
“…”
Liyan menutup wajah. "Nona, itu bukan jawaban…"
A-yang dan Yun Sia menanda Pengawal Liyan dingin dan membuat nya tutup mulut
Beberapa menit kemudian…
PLAK!
PLUK!
JLEP!
Yun Sia menangkap ikan demi ikan.
Sementara A-yang hanya bisa berdiri dengan perasaan campur aduk.
Yun Sia memeluk satu ikan hidup-hidup dan berkata penuh sayang, “Ayang… ikan ini lucu banget. Aku tidak mau makan dia.”
A-yang tersentak. “Kau lebih memilih ikan itu… daripada makananku?”
Hening.
Liyan memegangi dada karena kelamaan menahan tawa.
“Ayang… kamu cemburu sama ikan?” Tanya Yun Sia
“…Tidak.” jawab A-yang
“Sedikit?” tanya Yun Sia
“Tidak!” jawab A-yang
“Kamu cemburu ikan ini aku peluk?” tanya Yun Sia
“…Diam.” seru A-yang, Wajah A-yang merah. Sangat merah.
Yun Sia mencolek pipinya. “Ikan namanya Oci. Kamu jangan marah sama Oci.”
A-yang memandang ikan itu seolah ikan itu musuh kerajaan. “Kenapa kau memberinya nama?”
“Karena aku sayang dia.” jawab Yun Sia
“…Kau tidak boleh terlalu dekat dengan… ikan.” ujar A-yang kesal
Yun Sia memeluk ikan lebih erat.
A-yang hampir menjatuhkan ember.
A-yang Melakukan Hal Tidak Terduga
Saat Yun Sia sibuk mengelus kepala ikan, A-yang tiba-tiba menarik keranjang, mengambil Oci… dan—
PLAK!
Dia melempar Oci kembali ke sungai.
Yun Sia teriak.
“AYANG!!!”
A-yang berkacak pinggang, muka dingin tapi telinga merah.“Ikan itu… mengganggu.”
Yun Sia menutup mulut terkejut. “Ayang… kamu cemburu?!?!”
A-yang cepat-cepat memalingkan wajah.“TIDAK!”
“Terus kenapa kamu lempar Oci?!” tanya Yun Sia
A-yang mendengus.“…Aku tidak ingin kau memeluk sesuatu selain aku.”
Hening.
Liyan jatuh terduduk. “TUANNYA NGAKU!!! YA AMPUN AKU MELELEH—”
Yun Sia mematung.
A-yang sadar apa yang ia katakan dan langsung panik. “Maksudku— tidak seperti itu— maksudku— bukan seperti—”
Yun Sia menepuk bahunya. “Ayang…”
“…Apa?” tanya A-yang
“Kamu lucu kalo cemburu.” jawab Yun Sia
A-yang membeku.
Lalu…
Yun Sia menatap sungai.
“Semoga Oci bahagia di alam liar.”
Liyan berbisik, “Kasihan Oce… eh Oci.”
----
Setelah itu mereka kembali ke Rumah Kecil
Yun Sia masak ikan lain yang mereka dapat. Rumah kecil itu penuh aroma sedap.
A-yang duduk di dekatnya, wajahnya masih merah karena insiden Oci.
“Yun Sia…” katanya pelan.
“Hm?”
“…Jangan terlalu memeluk hewan.”
“Oh. Kamu mau aku peluk kamu aja?”
A-yang tersedak sup.
Yun Sia menepuk punggungnya.
“Ayang, kamu suka ya?”
“…Tidak.”
“Kalo nggak suka kenapa merah?”
“…Diam.”
----
Saat malam turun, Yun Sia berjalan keluar rumah untuk menjemur kain.
Karena gelap, ia tersandung batu.
“WAA—”
A-yang langsung menangkap pinggangnya sebelum ia jatuh.
Lengan A-yang kuat, hangat, dan terlalu dekat.
Wajah mereka hanya berjarak beberapa jari.
Yun Sia menelan ludah.
A-yang menatap matanya.
“Berhati-hatilah. Kau selalu membuatku khawatir.”
“Ehm… A-Ayang…”
“Ya?”
“Kamu wangi hari ini…”
A-yang makin merah.
“Kau… jangan bicara seperti itu.”
“Kenapa?”
“Karena aku bisa—”
Ia berhenti.
Yun Sia mendekat sedikit.
“Bisa apa?”
A-yang memalingkan wajah cepat sekali.
“Tidur! Sudah malam!”
“Eh? Ayang mau kabur?”
“Bukan kabur! Istirahat!”
Liyan dari kejauhan menjerit pelan.
“TUAAANNN… ANDA NYARIS NGOMONG YANG ROMANTIS!!”
----
Malam itu, Yun Sia tidur sambil memeluk bantal sambil berbisik,“Ayang lucu banget kalo cemburu…”
Di luar, A-yang duduk sendirian di depan rumah sambil menyentuh dadanya.
Nada suaranya rendah sekali.“Kenapa… aku begini setiap dekat dia?”
Ia tidak sadar bahwa ia jatuh cinta semakin dalam.
Dan Yun Sia pun… mulai merasakan hal yang sama.
Perjalanan mereka baru dimulai.
Bersambung