Dunia Yumna tiba-tiba berubah ketika sebuah video syur seorang wanita yang wajahnya mirip dengan dirinya sedang bercinta dengan pria tampan, di putar di layar lebar pada hari pernikahan.
Azriel menuduh Yumna sudah menjual dirinya kepada pria lain, lalu menjatuhkan talak beberapa saat setelah mengucapkan ijab qobul.
Terusir dari kampung halamannya, Yumna pun pergi merantau ke ibukota dan bekerja sebagai office girl di sebuah perusahaan penyiaran televisi swasta.
Suatu hari di tempat Yumna bekerja, kedatangan pegawai baru—Arundaru—yang wajahnya mirip dengan pria yang ada pada video syur bersama Yumna.
Kehidupan Yumna di tempat kerja terusik ketika Azriel juga bekerja di sana sebagai HRD baru dan ingin kembali menjalin hubungan asmara dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
“Yumna!”
Langkah Yumna terhenti seketika. Dia mendengar suara yang pernah menjadi suara paling menenangkan dan paling menghancurkan dalam hidupnya, memanggil jelas di belakang. Ia menoleh pelan, berharap itu hanya halusinasi. Namun, begitu matanya menangkap sosok yang berdiri di bawah lampu jalan, dadanya langsung mengeras.
Azriel.
Rambut pria itu sedikit berantakan tertiup angin, baju kasual yang selalu menjadi setelan favoritnya, lalu tatapan matanya masih sama. Tatapan yang dulu membuatnya merasa aman, nyaman, dan deg-degan. Kini membuatnya ingin berbalik dan lari sejauh mungkin.
“Mau ke mana malam-malam begini?” tanya Azriel, tersenyum tipis. Senyum khas yang selalu muncul saat ia bertemu Yumna, seolah mereka masih sama seperti dulu.
Yumna menelan ludah. “Cuma mau cari angin saja,” jawabnya singkat, suaranya datar, hampir tanpa emosi.
Azriel melangkah sedikit mendekat. “Mau aku temani?”
Yumna segera menggeleng. “Tidak. Aku mau pulang, mau tidur.”
Wanita itu membalikkan badan cepat, hampir tergesa, lalu mempercepat langkahnya. Yumna bisa merasakan detak jantungnya memukul-mukul tulang rusuk. Dia tidak ingin kembali terjebak dalam pusaran perasaan yang pernah menghancurkannya.
Namun, baru beberapa langkah, suara langkah lain terdengar mengikutinya. Ia menoleh dengan kesal.
“Mau apa kamu mengikutiku?!” bentak Yumna kesal.
Azriel berhenti, mengangkat kedua tangan seolah memberi tanda damai. “Aku juga mau pulang,” katanya sambil tersenyum manis, senyum yang dulu bisa membuat hati Yumna klepek-klepek.
Yumna buru-buru memalingkan wajah. Senyum itu berbahaya, dia tahu itu. “Jangan bohong, kamu!” desisnya tajam. Luka lama menebal kembali—pengkhianatan, kebohongan, tuduhan tanpa dasar. Ia paling benci dibohongi, dan Azriel pernah memberi luka itu tanpa ampun.
Azriel terkekeh kecil. “Buat apa berbohong? Dosa, tahu.”
Nada santainya justru membuat Yumna makin panas. Dia kembali berjalan cepat, tidak ingin mendengar suara pria itu lagi. Namun, suara langkah mengikuti masih ada, ritmenya sama, jaraknya sama.
“Ya Allah ...!” Yumna merutuki dalam hati, lalu tanpa aba-aba ia berlari, rok panjangnya berkibar tertiup angin, ujung jilbab instannya ikut berkibar. Ia lari melewati gerbang kost dan langsung menuju kamarnya.
Ceklek!
Pintu kamar kostannya langsung ditutup rapat, lalu ia bersandar sambil terengah. Napasnya naik turun.
Setelah yakin aman, ia melongok sedikit dari jendela kecil. Di sanalah ia melihatnya.
Azriel membuka pintu kamar kost pojok, persis di seberang jalurnya.
Yumna terpaku. Mata membelalak. Mulut terbuka tanpa suara.
“Jadi, dia penghuni baru di kamar kost itu?!” teriak Yumna spontan dari balik pintu.
Gambaran buruk langsung menabrak pikirannya. Bertemu di kantor saja sudah membuatnya gelisah, apalagi tinggal satu tempat yang sama.
“Bagaimana ini, masa aku akan bertemu dengannya setiap hari?” gumam Yumna murung, wajahnya menunduk. Sungguh ia tidak siap dengan semua ini.
Sementara itu, Arundaru sedang berjalan di sekitar area kost. Tangan dimasukkan ke saku, langkah santai, namun matanya terus celingukan.
“Mana Yumna? Biasanya jam segini dia keluar beli makanan,” gumam Arundaru kecewa. Ia berdiri sebentar, menatap ke arah gerbang kost yang gelap.
“Apa Yumna sudah tidur, ya?” Arundaru menghela napas, lalu menggeleng sendiri.
“Pulang saja, lah!”
Pria itu menepuk pipi sendiri pelan, lalu berbalik pergi, tanpa tahu bahwa Yumna sedang meringkuk di dalam kamar dan Azriel sedang mengunci pintu kamar barunya.
Keesokan paginya, suasana terminal kecil di depan kost sudah ramai oleh pedagang sarapan, suara orang dan hiruk-pikuk pekerja pagi.
Arundaru duduk di bangku kayu panjang dekat halte. Ia memegang kopi sachet panas, uapnya mengepul terkena sinar matahari pagi yang hangat. Namun, pandangannya tidak pernah lepas dari pintu gerbang kost.
Setiap detik ia menunggu. Setiap orang yang lewat ia harap Yumna.
“Tuh… tuh… akhirnya keluar juga,” gumamnya lega.
Senyumnya merekah begitu melihat sosok Yumna berjalan cepat sambil merapikan tas selempang. Wajah wanita itu bersih walau tampak masih mengantuk. Senyum Arundaru semakin melebar.
Akan tetapi, senyum itu langsung pudar dalam hitungan detik. Karena ada seseorang berjalan beberapa langkah di belakang Yumna.
Arundaru menyipitkan mata. “Siapa itu?”
Semakin dekat, wajah pria itu makin jelas. Penampilannya rapi, berwajah tampan, dan terlihat dewasa.
Arundaru mengenal pria itu.
Azriel.
Arundaru langsung berdiri, napasnya tercekat.
“Kenapa dia bisa bersama dengan Yumna?” gumam Arundaru bingung, suara tercampur panik.
“Jangan-jangan mereka kembali rujuk!” Nada suaranya meninggi tanpa sadar.
“Tidak! Tidak mungkin. Tidak boleh!” Arundaru hampir melompat dari tempat duduknya. “Yumna tidak boleh rujuk sama mantannya!” Tanpa pikir panjang, ia bergegas berlari kecil ke arah Yumna.
Yumna melihatnya dari jauh dan langsung tersenyum. Namun, ia menahan tawa kecil karena Arundaru berjalan lebih cepat dari biasanya, wajahnya seperti baru melihat hantu.
“Mas Arun, kenapa?” tanya Yumna begitu mereka semakin dekat.
Alih-alih menjawab, tangan Arundaru langsung menggandeng tangan Yumna. Gerakannya cepat, seolah takut Yumna menghilang kalau terlambat sedetik saja.
Azriel yang berada di belakang langsung berhenti. Matanya melebar.
Arundaru menatap Azriel dengan sorot tajam, penuh peringatan. Tatapan yang jelas berkata, “Jangan coba-coba mendekati Yumna. Dia milikku!”
Azriel menggertakkan rahang. Tangannya mengepal. Dadanya panas.
“Berani-beraninya dia ....” batin Azriel, cemburu.
Bus datang sebelum Yumna sempat protes. Arundaru menarik Yumna masuk ke dalam. Mereka duduk berdampingan di kursi dua.
Azriel masuk beberapa detik kemudian dan duduk di kursi sebelah, tepat di garis pandang Yumna. Tatapannya tidak lepas dari wanita itu.
Arundaru memelototinya balik. “Ish, apa-apaan dia melototin Yumna?” gerutunya dalam hati.
Yumna sendiri tidak nyaman sama sekali. Duduk di antara dua pria yang keduanya sama-sama punya urusan dengannya terasa seperti terjepit perang dingin.
Napasnya pendek. “Duh, kenapa hidupku begini amat!” keluhnya dalam hati.
“Mas Arun,” bisik Yumna pelan, mencoba halus. “Tolong lepaskan tanganku.”
Arundaru menunduk. Tangannya memang masih menggenggam tangan Yumna erat seperti takut kehilangan boneka kesayangan.
“Diamlah,” balas Arundaru dengan suara lirih, tapi tegas. “Aku takut kamu tiba-tiba hilang.”
“Hilang?” Yumna mengerutkan dahi. “Hilang ke mana?”
Arundaru mendekatkan wajah sedikit, berbisik. “Dibawa sama makhluk tak tahu diri.”
“Hah?! Siapa?”
Arundaru melirik Azriel.
Yumna langsung memejamkan mata. “Ya Tuhan, dua-duanya sudah gila!”
Azriel yang sejak tadi menatap Yumna akhirnya bersuara, suaranya dingin namun jelas ditujukan untuk Arundaru.
“Kamu tidak perlu pegang-pegang Yumna seperti itu.”
Arundaru menoleh dengan ekspresi menantang.
“Oh? Memangnya kamu siapa sampai bisa ngatur-ngatur aku?”
Azriel mengangkat dagu. “Aku orang yang pernah bertanggung jawab atas Yumna.”
“Pernah,” tekan Arundaru. “Sekarang? Tidak.”
Yumna menunduk, ingin menghilang dari permukaan bumi saat itu juga.
Bus terus melaju, membawa tiga hati yang bergejolak. Satu penuh luka, satu penuh rasa bersalah, dan satu lagi penuh kecemburuan. Itulah awal dari hari yang jauh lebih rumit dari yang Yumna bayangkan.
***
Semoga hari ini bisa crazy up, ya.
semoga keluarga Arun bisa menerima Yumna
ibunya arun gmn setujua g sm yumna
secara yumna kan bukan kalangann atas