Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Udara malam terasa menusuk, seperti seluruh dingin dunia berkumpul di sekitar gudang tua itu. Angin berdesir lewat celah-celah papan lapuk, membawa aroma debu bercampur darah yang belum mengering. Lampu-lampu kendaraan yang baru tiba mulai menerangi area tersebut dengan cahaya putih yang kejam—terlalu terang untuk sebuah tragedi, terlalu dingin untuk sebuah harapan.
Reno berlari ke arah pintu belakang gudang begitu ia mendengar suara tubuh jatuh di dalam. Keyla yang setengah sadar dan gemetar berusaha mengejarnya, tetapi langkahnya goyah. Reno sempat menahan bahunya agar tidak ikut masuk, namun Keyla mendorongnya lemah—dan air mata sudah mengalir tanpa ia sadar.
“Aku harus lihat dia…” suaranya hampir hilang.
“Keyla—tunggu—”
Tapi Keyla sudah menyingkir, tubuhnya bergerak lebih cepat dari logikanya.
Reno menahan sumpah kasar dan mengikutinya.
Begitu pintu gudang tua itu terbuka lebih lebar, bau darah langsung menusuk hingga membuat Keyla terhuyung. Namun bukan bau itu yang membuat lututnya hampir roboh—melainkan pemandangan di tengah lantai retak itu.
Kenny tergeletak di sana.
Tubuhnya miring, salah satu lengannya terhampar tak berdaya. Bajunya basah oleh darah yang terus mengalir dari luka di perut. Wajahnya pucat, seolah seluruh cahaya telah dihisap keluar darinya. Matanya tertutup—dan itu membuat Keyla tidak bisa bernapas.
“K… Kenny…” suara Keyla pecah—lebih seperti erangan ketimbang kata.
Ia langsung jatuh berlutut di samping tubuh itu, tangannya gemetar saat menyentuh pipi Kenny yang dingin. “Kenny… Kenny bangun. Dengar aku… tolong…”
Tidak ada reaksi.
Tidak ada gerakan dada yang terlihat jelas.
Tidak ada gumaman, tidak ada tarikan napas kasar seperti biasanya.
Hanya keheningan yang mengiris.
Keyla menjerit.
Jeritan itu memantul ke seluruh gudang, menghantam dinding logam dan menggema seperti suara seseorang yang baru kehilangan dunia.
“Kenny!! Buka matamu! Tolong buka!”
Ia menepuk pipi Kenny. Pelan. Lalu panik. Lalu putus asa.
Namun Kenny tetap diam.
Reno akhirnya menyusul, nafasnya terengah ketika melihat sahabatnya terbaring dengan darah mengalir deras. Mata Reno membesar, wajahnya menegang dalam ketakutan yang jarang ia perlihatkan.
“T-Tuhan…” Reno berlutut, memeriksa nadi Kenny di lehernya. Setetes keringat meluncur di pelipisnya. “Masih ada… sangat lemah… tapi masih ada!”
Keyla langsung menggenggam tangan Kenny erat, air matanya jatuh membasahi kulit yang dingin. “Kenny… aku di sini… aku di sini…”
Suara langkah kaki ramai mulai terdengar dari belakang. Dua puluh lebih anak buah Kenny datang, beberapa membawa kotak medis, beberapa langsung mengepung area, memastikan tidak ada ancaman lain.
Salah satu anak buah yang berpakaian serba hitam menghampiri dengan tergesa. “Bos! Kami sudah—”
Begitu ia melihat Kenny, kata-katanya mati di tenggorokan.
“Cepat panggil tim medis! Bawa tandu!” Reno berteriak.
Dua anak buah bergerak cepat, sementara yang lain mengelilingi mereka, menyalakan lampu tambahan, menyinari area luka dengan terang brutal.
Keyla menunduk, wajahnya penuh ketakutan yang tidak pernah ia rasakan seumur hidupnya. Tangan Kenny masih dalam genggamannya, seolah jika ia melepas sesaat saja, dunia akan runtuh.
“Kenny… kenapa kamu nekat banget…” ia menangis, suaranya hancur. “Kamu janji mau pulang sama aku… kamu janji selalu ada…”
Reno mendengar itu, dan dadanya ikut perih.
Ia mengalihkan pandangannya dari Keyla—karena melihat dua orang yang saling mencintai terbelah oleh kemungkinan kematian adalah sesuatu yang terlalu menyakitkan untuk disaksikan terus.
“Dia tidak boleh mati.”
Suara Keyla tiba-tiba muncul lagi, kali ini lebih rendah, lebih bergetar… dan penuh teror.
Reno menatapnya.
Keyla tak lagi menangis histeris—tetapi tatapannya kosong, seperti seseorang yang sedang melihat kembali bayangan masa lalu yang gelap. Ketakutan yang ia simpan bertahun-tahun, ketakutan yang tidak ia mengerti sepenuhnya, kini pecah.
“Dia memanggilku… Dira…” gumamnya. “Pria itu… memanggilku begitu… dan sekarang Kenny—karena aku—”
“Jangan,” Reno menyela dengan tegas. “Ini bukan salahmu.”
Tapi Keyla tidak mendengar.
Ia membelai wajah Kenny, menyeka darah yang mengering di pelipisnya. “Jangan tinggalkan aku… jangan tinggalin aku seperti dulu… jangan…”
Kata terakhir itu membuat Reno menegang.
Seperti dulu?
Sebelum ia sempat bertanya, beberapa anak buah membawa tandu lipat.
“Bos Reno, siap!” seru mereka.
Reno bangkit dan memberi instruksi cepat. “Angkat dia perlahan. Tekan luka itu! Jangan biarkan pendarahan makin parah.”
Dua orang berlutut, memindahkan tubuh Kenny dengan hati-hati. Keyla berdiri di samping mereka, tangannya tetap menggenggam lengan Kenny, tidak mau melepas sedetik pun.
Ketika mereka mengangkat Kenny ke tandu, tubuh pria itu sedikit terguncang, membuat darah segar merembes lagi dari lukanya.
Keyla tersentak dan hampir menjerit lagi. “Hati-hati! Tolong… hati-hati…”
“Kami tahu, Bu Keyla,” salah satu anak buah berkata lembut. “Kami akan pastikan dia sampai ke mobil dengan selamat.”
Keyla berjalan di sisi tandu seperti bayangan yang tak terpisahkan.
Di luar, hujan rintik mulai turun, memukul tanah dalam ritme lambat namun simpatik, seolah malam pun ikut berduka.
Ketika mereka tiba di luar gudang, lampu-lampu mobil terlihat seperti garis cahaya di antara kabut. Anak buah lain sudah membuka pintu mobil besar yang digunakan sebagai kendaraan darurat.
Begitu Kenny diletakkan, dua orang langsung menekan perban besar di perutnya untuk menghentikan pendarahan. Satu lainnya memasang selang oksigen.
“Ayo,” Reno berkata. “Kita ke rumah sakit. Sekarang.”
Namun tepat sebelum Keyla naik, seseorang dari tim pengintai datang berlari.
Wajahnya pucat.
“Bos Reno… kami menemukan sesuatu.”
“Apa?”
Pria itu menelan ludah. “Nggak cuma penculik itu yang ada di sini. Kami temukan simbol di tembok belakang… tanda organisasi lama.”
Reno membeku.
“Apa maksudmu?” suaranya menurun, dingin.
Pria itu melihat ke arah Keyla sebentar, lalu kembali menatap Reno. “Itu tanda khusus… dari grup yang dulu memburu… ‘Dira’.”
Keyla mencengkeram kusen pintu mobil hingga buku jarinya memutih.
Nama itu.
Nama yang membuat penculik tadi menyeringai.
Nama yang ia benci meski tidak mengerti sepenuhnya.
Dira.
Wajahnya berubah mendadak—ketakutan yang ia sembunyikan bertahun-tahun muncul lagi, menghantamnya dengan keras.
“Kau yakin?” tanya Reno pelan.
Pengintai itu mengangguk.
“Ya. Dan satu lagi… kami temukan ponsel di dekat penculik. Ada pesan baru masuk. Pesan terakhir.”
“Apa isinya?”
Pria itu menghela napas tajam.
“‘Kalau dia berhasil kabur… ambil yang paling berharga darinya.’”
Suasana di sekitar mobil berubah membeku.
Semua orang tahu arti kalimat itu.
Keyla menutup mulutnya, tubuhnya gemetar hebat. “Jadi… mereka benar-benar datang untukku… dan Kenny kena karena dia… menyelamatkan aku…”
Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini berbeda. Ada rasa bersalah yang menghancurkan. Ada ketakutan yang merusak.
Dan ada kemarahan kecil di dasar hatinya—marah pada masa lalu yang tak pernah ia pilih, dan pada bayangan yang terus mengejarnya.
Reno naik ke mobil dan menatap langsung ke mata Keyla.
“Dengarkan aku,” katanya tegas. “Siapa pun yang memerintahkan serangan ini, siapa pun yang menginginkanmu… akan kami cari.”
Keyla menggeleng lemah. “Tapi Kenny—”
“Kenny butuh kamu fokus. Dia butuh kamu di sisinya. Kalau kamu jatuh… dia tidak punya siapa-siapa.”
Keyla memejamkan mata, menahan isak. Reno jarang berbicara seperti itu—penuh tekanan, tapi hangat sekaligus.
Hening sejenak.
Kemudian Keyla naik ke dalam mobil, duduk di samping tubuh Kenny. Ia menggenggam tangan suaminya seerat mungkin.
“Jangan mati…” bisiknya. “Aku mohon…”
Reno menutup pintu, lalu memberi sinyal pada sopir.
Konvoi mobil melaju menembus hujan, meninggalkan gudang tua dan darah yang belum mengering.
Namun sesuatu berubah malam itu.
Mereka bukan hanya menyelamatkan Kenny.
Mereka baru saja membuka pintu ke masa lalu yang jauh lebih gelap.
Dan seseorang di luar sana—
Seseorang yang pernah mengenal nama Dira—
sedang menunggu momentumnya untuk kembali.