Ayudia Larasati, gadis cantik yang sudah berkali - kali gagal mendapatkan pekerjaan itu, memilih pindah ke desa tempat kelahiran ibunya setelah mendapatkan kabar kalau di sana sedang ada banyak lowongan pekerjaan dengan posisi yang lumayan.
Selain itu, alasan lain kepindahannya adalah karena ingin menghindari mantan kekasihnya yang toxic dan playing victim.
Di sana, ia bertemu dengan seorang pria yang delapan tahun lebih tua darinya bernama Dimas Aryaseno. Pria tampan yang terkenal sebagai pangeran desa. Parasnya memang tampan, namun ia adalah orang yang cukup dingin dan pendiam pada lawan jenis, hingga di kira ia adalah pria 'belok'.
Rumah nenek Laras yang bersebelahan dengan rumah Dimas, membuat mereka cukup sering berinteraksi hingga hubungan mereka pun semakin dekat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fernanda Syafira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Tuntutan Menikah
Embun pagi menyapa wajah ayu gadis yang sedang bercengkrama dengan Utinya. Di rumah itu, mereka hanya tinggal berdua saja. Keluarga terdekat mereka adalah anak bungsu Uti yaitu Paklik Sunar, ayah Hilman yang tinggal di desa sebelah.
Pakde Supri, anak tertua Uti tinggal di Kabupaten lain yang membutuhkan waktu tempuh kurang lebih sekitar lima jam dari rumah Uti.
Sementara, Pakde Suyid, anak kedua Uti sama halnya dengan ibu Laras yang tinggal jauh, berbeda provinsi.
Namun, kondisi finansial Pakde Suyid sangatlah baik sehingga ia sering mengunjungi Uti walaupun jarak tempat tinggalnya lebih jauh dari tempat Laras.
Tak hanya itu, pakde Suyid juga selalu menjatah uang belanja untuk Uti dan uang jajan untuk para keponakannya yang masih sekolah. Ia rutin mengirimkannya setiap bulan dengan mentransfernya.
Pakde Suyid jugalah yang memberikan informasi tentang banyaknya lowongan pekerjaan yang akan di buka di wilayah kecamatan tempat Uti tinggal. Ia sendiri mengetahui hal itu dari rekan - rekannya.
"Kapan mulai buka pendaftarannya, nduk?" Tanya Uti. Mereka berdua sedang asyik mengoret rumput di kebun sayuran yang ada di halaman samping.
"Belum tau, Ti. Kata pakde, minggu - minggu ini, tapi nanti di kabari lagi kalau sudah ada link pendaftaran onlinenya." Jawab Laras.
"Mudah - mudahan keterima ya, nduk. Mosok cah pinter koyo ngene angel di terimo kerjo? Kowe ket sd intok beasiswa murid berprestasi terus nganti bar kuliahe. (Masak anak pintar kayak gini susah diterima kerja? Kamu sejak sd dapat beasiswa murid berprestasi terus sampai selesai kuliahnya)." Kata Uti.
"Kalau di sana, bukan lagi persaingan otak dan kemampuan, ti. Tapi duit dan orang dalam." Sahut Laras.
"Berdoa yang banyak, minta kemudahan pada gusti Allah. Gusti Allah mboten sare. Urung ngewehi penggawe ning kono, mungkin amergo luwih okeh mudhorote (Allah tidak tidur. Belum memberi pekerjaan di sana, mungkin karena lebih banyak mudhorotnya.)" Kata Uti menyemangati.
"Iya, ti." Jawab Laras dengan senyuman manisnya. Senyuman yang dihiasi dengan lesung pipi kecil di kedua ujung bibirnya
Laras merasa beruntung memiliki keluarga yang selalu mendukung setiap pilihannya. Jika pilihan itu belum benar pun, mereka akan menasihati tanpa menghakimi.
Dua wanita berbeda generasi itu tampak sangat menikmati waktu kebersamaan mereka yang baru sehari ini.
Tak jauh dari tempat mereka. Tampak sepasang mata mengawasi kegiatan nenek dan cucunya dari balik jendela.
"Kowe ndelok opo, le? Kok ngguya ngguyu dewe?. (Kamu lihat apa, le? Kok senyam senyum sendiri?). Itu sarapannya sudah matang." Kata bu Asih, ibu Dimas.
"Mboten, bu." Jawab Dimas sambil menutup gordyn jendela.
"Opo, sih? (Apa, sih?). Kok pake di tutup gordyn nya?." Bu Asih masih penasaran dan hendak melihat apa yang Dimas lihat.
"Gak ada apa - apa, bu. Ayo kita sarapan, bapak udah nungguin tu." Dimas segera membawa bu Asih keluar dari kamarnya.
Setelah selesai sarapan. Seperti biasa, Dimas yang merupakan anak semata wayang itu bersiap pergi ke tempat usahanya.
Berbekal meminjam modal dari bapaknya yang merupakan pengepul beras yang cukup terkenal di daerahnya, Dimas merintis usaha percetakan.
Ya, percetakan yang berkembang pesat itu, merupakan satu - satunya percetakan yang ada di kecamatan. Pria lulusan design grafis itu juga mampu mengembalikan modal yang ia pinjam dari bapaknya yang bernilai ratusan juta itu hanya dalam tempo dua tahun.
Tak hanya percetakan, iapun merambah dengan menjual ATK di bangunan yang sama dengan percetakannya.
"Le, nanti tolong antarkan beras ke rumah Uti. Kemarin Uti pesan beras." Pinta pak Sugeng.
"Njih, pak." Jawab Dimas.
"Arep enek opo yo, bu. Kok tumben tuku beras rodok okeh?. (Mau ada apa ya, bu. Kok tumben beli beras agak banyak?)." Tanya pak Sugeng pada istrinya.
"Mboh, wingi sedino yo ibu ora ketemu Uti. Wong ibu nggone yuk Lah, ngewangi masak nggawe among - among. (Gak tau, kemarin seharian ya ibu gak ketemu Uti. Oranv ibu tempat yuk Lah, bantuin masak buat among - among *makanan untuk mencurahkan rasa syukur.)" Jawab bu Asih.
"Opo putune wes teko, yo? (Apa cucunya sudah sampai, ya?)." Imbuh bu Asih.
"Woo, opo cah wedok sing lungguh neng lincak wingi sore kae, putune yo?. (Woo, apa anak perempuan yang duduk di lincak kemarin sore itu, cucunya ya?)" Kata pak Sugeng.
"Iyo, berati, pak. (Iya, berarti, pak.)" Sahut bu Asih yakin.
"Assalamualaikum...." Suara seorang wanita terdengar dari pintu samping rumah pak Sugeng.
Pak Sugeng dan bu Asih yang masih berada di ruang makan, tak jauh dari pintu samping rumah pun menjawab salam bersamaan. Bu Asih pun segera menuju ke pintu samping untuk melihat tamu mereka.
"Bu, mau nganter ini, sayuran dari Uti." Ujar Laras sembari menyerahkan keranjang berisi Terong, cabai dan tomat pada wanita di hadapannya.
"Oo ini cucunya Uti yang mau tinggal di sini, ya?." Tanya bu Asih.
"Iya, bu. Nama saya Laras." Laras memperkenalkan diri.
"Walah, Uti pasti seneng ini karena sekarang sudah ada yang nemani di rumah." Kekeh bu Asih yang membuat Laras tersenyum.
"Ayo masuk dulu mbak Laras." Ajak bu Asih.
"Oh, makasih, bu, tapi Laras mau langsung pulang, soalnya di ajak Uti ke pabrik." Jawab Laras.
Uti sendiri memiliki usaha yang masih bertahan sampai saat ini, yaitu kerupuk kulit. Kerupuk kulit dari pabrik milik Uti itu memang sangat terkenal hingga ke kabupaten.
Dari usaha kerupuk kulit yang di bangun bersama kakung dulu itu lah, menjadi salah satu tambahan pendapatan untuk menghidupi dan menyekolahkan anak - anaknya.
Profesi Kakung sebagai guru di desa dulu, tak bisa memenuhi kebutuhan mereka. Sehingga mereka berdua mencari akal untuk menambah pemasukan agar kebutuhan mereka dan anak - anaknya bisa tercukupi.
"Njih, terima kasih ya mbak Laras. Kalau senggang, main - main ke sini lho, mbak." Pesan bu Asih.
"Iya bu, in syaa Allah kapan - kapan Laras main. Laras pamit dulu ya, bu. Assalamualaikum." Pamit Laras.
"Waalaikumsalam." Jawab bu Asih yang tak lama kemudian beranjak masuk.
"Siapa, bu?." Tanya Dimas yang tiba - tiba berada di belakang bu Asih.
"Ih! Kowe iki ngaget - ngageti wae lho, Dim! (Ih! Kamu ini mengagetkan saja loh, Dim!)" Omel bu Asih sambil memukul bahu putranya.
"Ini lho, cucunya Uti nganterin sayuran." Imbuh bu Asih.
"Ooo.." Sahut Dimas yang kemudian memanaskan motornya.
"Cantik lho cucunya Uti. Ramah, sopan lagi." Puji bu Asih yang hanya di tanggapi kedikan bahu oleh putranya.
"Oh iya, Dim. Besok anterin ibu, ya?."
"Kemana?" Tanya Dimas.
"Arisan di rumah bu Neti, temen ibu yang di kecamatan itu lho. Wes do janjian arep nggowo anak (Sudah pada janjian mau bawa anak.)" Kata bu Asih.
"Emoh lah, bu! Aku udu cah cilik kok. (Gak mau lah, bu! Aku bukan anak kecil kok)." Tolak Dimas.
"Ih, wong sing di gowo yo udu cah cilik kok e. Yo cah - cah baraan awakmu, sopo reti enek sing tok taksir. (Ih, orang yang di bawa ya bukan anak kecil kok. Ya anak - anak seumuranmu. Siapa tau ada yang kamu suka.)" Ujar bu Asih yang tak di tanggapi putranya.
"Kowe ki lho, Dim. Mesti ra gelem nak arep ibu kenalke karo anak wedok koncone ibu. Ngopo to sakjane? Ilingo, umurmu wes meh telung puluh taun. Konco - koncomu wae wes do ndue anak. Ibu lho yo pingin nduwe mantu, pingin momong putu. iki, piye arep rabi, wedok sing di jak dolan neng omah wae ra enek. (Kamu ini lho, Dim. Pasti menolak kalau mau ibu kenalkan sama anak perempuan teman ibu. Kenapa sih sebenernya? Inget, umurmu sudah mau tiga puluh tahun. Teman - temanmu saja sudah pada punya anak. Ibu juga pingin punya menantu, pingin mengasuh cucu. Ini, gimana mau nikah, perempuan yang di ajak main ke rumah aja gak ada.)" Cerocos bu Asih.
Hampir setiap hari Dimas mendengar omelan bu Asih yang memintanya untuk segera menikah. Belum lagi jika ibunya itu menjodoh - jodohkannya dengan putri teman - temannya.
"Dimas berangkat dulu, bu. Assalamualaikum." Pamit Dimas yang tak menghiraukan ucapan ibunya.
"Waalaikumsalam. Hiih, bocah kok! Kalau di ajak bahas gitu, pasti kabur." Kesal bu Asih.
"Jarno to bu, cah lanang iki, rabi rodok tuwek yo ra masalah. Dene ki yo bosen lho tok omeli ngono kuwi bendino. Ra melas to? Mengko nak enek sing di tenani lak yo di kenalke. (Biarin to, bu, anak laki ini, menikah agak tua ya gak masalah. Dia itu ya bosen lho, kamu omeli seperti itu tiap hari. Gak kasihan to? Nantu kalau ada yang di seriusin juga di kenalin.)" Kata pak Sugeng.
"Ih, bapak sama anak sama saja!" Gerutu bu Asih pada suaminya.
update trus y kk..
sk bngt ma critany