Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25
Gumpalan awan hitam yang begitu mencekam secara perlahan mulai menyelimuti keindahan langit Jakarta yang awalnya dipenuhi oleh banyaknya bintang bersinar terang, membuat gemerlap malam seakan tersamarkan oleh nuansa kelabu yang menggantung berat di udara.
Suara gemuruh terdengar dari kejauhan, menyusul angin malam yang mulai berembus dengan sangat kencang, meniupkan aroma hujan pekat dan familiar ke setiap sudut kota. Lampu-lampu jalan mulai berpendar lebih terang seiring angkasa yang semakin bertambah gelap, memantulkan cahaya kekuningan pada genangan kecil di pinggir-pinggir trotoar.
Dari kejauhan, kilatan petir membelah langit sesaat, menampilkan siluet gedung-gedung tinggi yang berdiri kokoh di antara bayang-bayang metropolitan yang tidak pernah benar-benar tertidur setiap saat.
Di dalam ruangan tengah sebuah apartemen mewah nan megah, terlihat sosok Azka sedang asyik bermain game di dalam layar tablet miliknya sambil membiarkan Pixel tertidur dengan sangat nyenyak di atas pangkuannya.
Azka dengan begitu sangat mahir menggerakkan jari-jemarinya, membuat karakter game miliknya bergerak sangat lincah—seolah dirinya ingin menghapus semua pikiran negatif yang sedari tadi terus-menerus masuk dan berputar-putar di dalam benaknya.
Menit demi menit berlalu, karakter game milik Azka terus-menerus menari, seakan tidak ada karakter lain yang bisa menandingi. Namun, itu tidak berlangsung lama lagi, karena Azka sesegera mungkin menghentikan gerakan tangannya saat tiba-tiba saja mendengar suara bel apartemen miliknya berbunyi.
Azka refleks mengalihkan pandangan ke kanan, menatap ke arah pintu masuk ruangan apartemen miliknya sambil secara perlahan-lahan mulai mengerutkan kening.
“Siapa yang malam-malam gini datang? Mana di luar lagi hujan lebat banget lagi,” gumam Azka, menaruh tablet di atas meja, sebelum mulai bangun dari atas tempat duduk sambil menggendong Pixel yang sudah terbangun dari tidurnya, “Sorry, ya, Pixel … ada yang ganggu.”
Setelah mengatakan hal itu, Azka mulai melangkahkan kaki menuju pintu masuk utama ruangan apartemen miliknya, sembari memberikan elusan lembut di punggung Pixel—merasakan kenyamanan serta kelembutan dari bulu kucing peliharaannya itu.
Begitu tiba, Azka dengan gerakan pelan mulai membuka daun pintu agar dapat melihat sosok seseorang yang telah mengunjunginya pada malam hari ini. Ia memutar bola mata malas sambil mengembuskan napas panjang saat pintu mulai terbuka—menampilkan sosok seorang cewek yang begitu sangat dirinya kenali dan benci.
“Dari mana lu tahu gue ada di sini?” tanya Azka—to the point—suaranya terdengar sangat ketus dan malas.
Vanessa—sosok cewek itu—mengukir senyuman manis seraya menyingkirkan serta menyelipkan beberapa helai rambut panjangnya yang sudah sangat basah ke belakang telinga. “Ha-Hai, Az … Ak-Aku bo-boleh ma-masuk dulu nggak? Di-dingin banget di luar.”
Azka tidak langsung memberikan jawaban. Ia justru terlebih dahulu melihat penampilan Vanessa dari ujung rambut hingga ujung kaki—menyadari bahwa cewek itu sudah basah kuyup saat ini, hingga membuat pakaian dalam yang sedang dikenakan dapat dilihat dari luar.
Menyadari akan hal itu, Azka kembali menghela napas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala pelan, lantas tanpa mengatakan apa-apa segera berbalik badan dan melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan apartemen—pertanda bahwa dirinya memberikan izin bagi Vanessa masuk—meskipun ada rasa malas dan tidak rela bila ruangan pribadinya dimasukin oleh sosok cewek yang selalu dijodohkan dengan dirinya itu.
Vanessa mengukir senyuman samar penuh akan arti, sebelum pada akhirnya mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam apartemen milik Azka. Suara langkah kakinya terdengar jelas karena rok mini yang sedang dirinya kenakan sudah terlalu basah—meneteskan air ke lantai marmer yang begitu sangat dingin.
Azka meletakkan Pixel di atas sofa, lantas mengambil handuk kecil yang akhir-akhir ini selalu dirinya gunakan untuk mengeringkan bulu kucingnya, lantas melemparkannya begitu saja ke arah Vanessa tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun ke arah cewek itu.
“Tuh, lap sendiri … jangan bikin lantai apartemen gue becek,” kata Azka dengan suara begitu sangat dingin, nyaris seperti tidak memiliki empati sama sekali.
Vanessa meremas handuk itu sejenak, lantas menatap ke arah Azka dengan mata mulai berubah menjadi merah—entah karena hujan atau sesuatu yang lain.
“Makasih … dan … Ma-maaf udah ganggu kamu malam-malam gini.” Vanessa mulai mengeringkan rambut dan wajah cantiknya, sembari sesekali mencuri pandang ke arah Azka yang saat ini sedang berjongkok memberikan makan pada Pixel.
Azka tidak memberikan tanggapan sama sekali. Raut wajahnya tetap datar dan fokusnya hanya pada Pixel seorang, tetapi Vanessa masih bisa melihat rahangnya yang mengeras.
“A-Az … sebenarnya … aku datang ke sini itu—”
Azka menghentikan gerakannya. Ia secara perlahan-lahan bangun dari posisi jongkok dan menoleh ke arah Vanessa, sebelum berjalan mendekati tempat cewek itu berada—hingga jarak di antara mereka berdua hanya tersisa beberapa sentimeter saja.
“Gue udah bilang dari dulu, kan … kalau gue nggak akan pernah mau dijodohin dan nikah sama lu … Dan lu pasti nggak tuli sampai nggak bisa dengar akan hal itu … Lu ta—”
“Tapi, kenapa kamu selalu nolak, Az? Kedua orang tua kita udah ngasih restu … dan aku juga cantik banget buat bisa jadi pendamping hidup kamu? Apa alasannya? Aku rela ngelakuin apa pun asalkan kamu mau nerima perjodohan kita … bahkan … bahkan kalau hari jadi … bu-bu-budak kamu,” potong Vanessa, menatap wajah tampan Azka, dengan bola mata sedikit bergetar.
Azka refleks merubah tatapan menjadi semakin datar saat mendengar potongan itu, lantas semakin mendekatkan tubuh mereka berdua. “Lu yakin? Kalau lu yakin … Sekarang juga lepas semua pakaian lu … terus jongkok layaknya seorang budak.”
Vanessa terdiam seribu bahasa dengan tubuh menegang seketika saat mendengar hal itu. Ia tidak pernah menyangka kalau Azka akan benar-benar menyuruhnya melakukan hal semenjijikan dan sehina itu, tetapi itu tidak berlangsung lama, karena dirinya secara perlahan-lahan mulai mengangguk pelan sambil menggerakkan kedua tangan untuk melepaskan semua pakaiannya yang sudah begitu sangat basah.
Azka mengusap wajahnya kasar sambil mengembuskan napas panjang saat melihat Vanessa mulai menuruti permintaannya. Namun, itu tidak berselang lama, karena dirinya sesegera mungkin menghentikan hal yang sedang Vanessa lakukan saat cewek berparas cantik itu hendak melepaskan bra yang sedang dikenakan.
“Gue nggak pernah nyangka bakalan ketemu sama cewek nggak punya harga diri kayak lu … Asal lu tahu … ini salah satu hal yang bikin gue nggak pernah mau nerima perjodohan di antara kita berdua,” jelas Azka, suaranya terdengar begitu sangat pelan dan dalam—dipenuhi oleh emosi yang sedang sangat menggebu-gebu, “Keluar dari dalam apartemen gue sekarang! Jangan pernah lagi lu datang ke sini!”
Vanessa membeku di tempat, kedua tangannya yang tadi hendak menarik bra kini terhenti di udara, dengan sangat bergetar. Air mata perlahan turun dari sudut matanya, membasahi pipinya yang sudah dingin karena beberapa saat lalu terkena air hujan.
“Az … a-aku….”
“Keluar,” ulang Azka, lebih pelan, tetapi jauh lebih tegas dan menusuk.
Tanpa pilihan lain, Vanessa membungkuk cepat, mengambil kembali tas kecilnya yang sudah basah, lalu melangkah pergi dengan langkah gontai.
Azka tidak menutup pintu sampai cewek itu benar-benar keluar, hanya mematung sambil mengeratkan genggaman pada Pixel yang kini mengeong pelan—seolah merasakan ketegangan pemiliknya.
Begitu pintu tertutup, Azka menundukkan kepala sambil kembali mengembuskan napas panjang. Ia berusaha mencari sebuah ketenangan, tetapi justru wajah Aira yang datang dan melintas di dalam benaknya, membuat dadanya tanpa aba-aba berubah menjadi sangat sesak.