NovelToon NovelToon
She Is Mine

She Is Mine

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Duniahiburan / CEO
Popularitas:882
Nilai: 5
Nama Author: ArumSF

Berliana dan Exsel dulunya adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Sebuah insiden terjadi, hingga muncul kesalahpahaman diantara mereka.

Masing-masing saling membenci dan mengelak rasa sayang yang masih sama meskipun 5 tahun telah berlalu.

Dengan status dan kekuasaan Exsel, sangat sulit bagi Berliana untuk bisa lepas dari genggaman Exsel.

“Bagiku tak ada kata kembali! kaca yang pecah tak akan bisa memantulkan bayangan seperti semula.” ~Berliana

“Rasanya sulit melepaskan wanita itu, sekalipun dia yang salah. Kenapa?” ~Exsel

Jadi sebenarnya siapa yang salah? dan siapa yang benar?

Hingga perlahan-lahan kebenaran mulai terungkap, kesalahpahaman pun mulai terpecahkan. Hingga pada akhirnya menunjukkan Berliana tidak bersalah. Lalu bagaimana cara Exsel menebus kesalahpahaman itu pada sosok Berliana yang masih dicintainya?

Dan bagaimanakah sikap Berliana yang akan membalas ketidakadilan yang ia terima pada musuh-musuhnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ArumSF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Batalkan!!!

“Mana bisa seperti itu, kami sudah melakukan kontrak. Jadi tidak bisa membatalkan begitu saja.” Walaupun sebenarnya Blecky belum melakukan kontrak, tapi entah mengapa ia ingin menjahili kakak sepupunya.

“Aku yang akan mengganti biaya ganti ruginya.” Seolah tidak ingin di bantah. Tatapan Exsel kini berubah tajam menatap Blecky.

“Haha ..., tenanglah kak. Apakah kakak tidak bisa melupakan-”

“Batalkan!” potong Exsel lagi.

“Baiklah-baiklah, aku akan membatalkan kontrak. Asalkan mobil yang baru Kakak beli itu buat aku.”

Mobil yang baru di beli beberapa hari oleh Exsel, mobil itu merupakan mobil keluaran terbaru dan yang terbaik. Produksi mobilnya pun tidak lebih dari 3 di dunia.

“Oke.” Tidak ada paksaan dalam nada itu, meski itu sebuah mobil yang mahalnya selangit. Seolah bukan sebuah hal penting, Exsel menyetujuinya dengan mudah.

“Deal!!” Dengan puas Blecky setuju.

...*****...

Tidak seperti biasanya, kini Sinta melihat Berliana sedang menonton televisi di ruang tengah. Tatapan Berliana terlihat sedikit melamun. “ Hey, kenapa?” tanya Sinta

Berliana langsung menoleh. “Tidak apa-apa,” jawab Berliana acuh tapi tidak seacuh dulu.

Sinta mendekat, ia duduk di kursi yang berada dekat dengan Berliana. “Anggap saja aku seperti Kakak kamu, mengapa tidak berbagi beban denganku saja jika memang kamu sedang butuh sandaran.”

Lebih tepatnya, Sinta ingin Berliana bertukar pikiran dengannya, mungkin saja dengan begitu beban masalah yang Berliana hadapi sedikit berkurang.

Berliana diam, ia menatap Sinta tapi dengan kebisuan yang membuat suasana hening.

“Katakan saja!” Sinta kembali berkata, ia merasa lelah jika harus menanggung rasa penasaran, ia juga lelah dengan sikap menjaga jarak dari Berliana. Penghalang itu ..., penghalang yang tidak terlihat. Yang seolah membuat Sinta harus menyadari posisinya, hingga ia tidak bisa bersikap dekat dengan Berliana.

Sinta merasa jika ia sudah cukup untuk bersabar dan menerima hal itu. Tidak bisa di pungkiri, selama bekerja bersama dengan seorang Berliana, rasa sayang seorang kakak seolah muncul dalam dirinya.

Sikap kerja keras dan pantang menyerah dari Berliana sering di lihatnya, bahkan di saat Berliana lelah dengan masalah dan kehidupannya, dan seolah hanya hidup sendiri, Berliana tidak pernah menunjukkan sisi terlemahnya pada siapapun.

Sinta berfikir, apakah Berliana tidak lelah harus terlihat sempurna?. Sinta yakin jika setiap orang punya masa di mana mereka berada di titik terendah dan butuh sandaran.

“Kamu nggak akan ngerti.” Kini, Berliana seolah sengaja membuat Sinta marah.

“Bagaimana aku bisa ngerti, jika aku saja tidak tahu apa masalah yang sedang kamu tanggung. Ayolah, jangan selalu bersikap seolah kamu kuat, kamu juga manusia biasa. Cobalah untuk tunjukkan segala ekspresi yang kamu rasakan. Jangan terlalu di pendam sendiri,” kesal Sinta.

Baru kali ini Sinta berkata panjang lembar, mungkin memang benar jika ia terkesan jutek, tapi nyatanya ia benar-benar orang yang sangat peduli pada orang yang ia anggap penting.

Berliana menghela nafas panjang, seakan banyak beban dan masalah berat yang berusaha ia keluarkan. “Aku nggak bisa.”“Maaf,”lanjutnya.

Sinta menatap Berliana dalam.

“Baiklah jika itu keputusan kamu.” Sinta tak ingin memaksa jika Berliana memang sesulit itu untuk bercerita. “Satu hal yang harus kamu tahu, kamu bisa cerita apapun padaku. Masalah kamu, atau kesedihan kamu, dan rasa lelah yang kamu rasa” Sambil menepuk pundaknya Sinta melanjutkan, “Pundak ini selalu siap untuk menerima keluh kesah dan rasa lelah kamu.” Tanpa di duga, satu tetes air mata jatuh dari mata Berliana.

“Aku ke kamar,” pamit Berliana yang langsung memasuki kamarnya.

Sejak kejadian hari itu.

Berliana seolah semakin menjaga jarak dengan Sinta, ia bahkan semakin irit saat bicara.

“Sepertinya akan baik jika kita memperpanjang kontrak dalam produksi drama film ini.” Sinta menunjuk pada sebuah dokumen, dan Berliana hanya mengangguk. “Kalau ini, kita tolak saja.” Sinta menatap tidak suka ke sebuah dokumen bermap biru.

“Mereka telah melanggar perjanjian dengan kita waktu itu, masih untung nggak kita tuntut. Dasar nggak tahu diri.” Melemparkan map biru itu, Sinta menginjak kesal dokumen yang membuatnya kesal.

Jika saja Berliana setuju untuk menuntut orang yang telah melanggar sebuah perjanjian kontrak dengannya, mungkin orang itu akan mendapat kerugian yang besar. Sayangnya, Berliana justru tidak ingin memperpanjang masalah itu.

Berliana hanya mengangguk tanda setuju, ia tidak berkomentar banyak akan hal itu.

“Kenapa sih kamu-” Sinta ingin bertanya kenapa Berliana hanya diam saja. Apa karena kejadian di hari itu, sayangnya ucapannya terhenti saat ada seorang wanita yang memasuki ruang tempat Berliana biasa beristirahat. “Nona Berliana, sudah saatnya kita melakukan pemotretan”

“Sudahlah, sana kamu kerja dengan benar!”

Berjalan-jalan sebentar melepas kejenuhan. Berliana kini sedang berkeliling di sebuah taman yang tidak jauh dari lokasinya syuting.

Menjadi seorang aktris dan model tidaklah mudah untuk dirinya, banyak hal yang harus ia relakan. Seperti halnya waktu, ia tidak bisa sebebas orang lain yang bisa menikmati weekend bersama keluarga ataupun orang tercinta.

Di saat orang lain sibuk menikmati weekend mereka, justru dia sibuk dengan syuting dan pemotretan yang sangat menyita waktunya.

“Huh, seandainya aku punya hal yang bisa membuat aku menikmati suasana weekend. Mungkin hidup ini nggak akan terasa hambar seperti ini.” Berhenti melangkah, Berliana lalu duduk di sebuah kursi yang terlindungi oleh pohon rindang.

Tersenyum kecil di balik penutup wajah yang terpasang, ia terlihat senang memperhatikan anak-anak yang sedang bermain.

“Hey, kembalikan. Itu 'kan permen ku.” Seorang bocah perempuan berusaha meraih permen yang di rampas oleh anak laki-laki.

Tinggi anak laki-laki yang sedikit lebih tinggi di bandingkan anak perempuan itu, membuat si anak perempuan kesulitan meraih permennya.

“Ambil saja jika kamu bisa. Dasar pendek.” Dengan sombong anak laki-laki itu terus saja mengangkat tinggi-tinggi permen yang ia pegang.

Hap ....

Tanpa di duga permen itu kini telah berpindah tangan.

Menoleh dan sedikit mendongak, si anak lelaki itu sedikit terkejut melihat seseorang yang memakai jaket tebal dengan penutup wajah.

“Kamu juga pendek bagi kakak,” Suaranya yang terdengar lembut, meski nada bicaranya terkesan acuh.

“Kakak kembalikan kepada kamu.” Memberikan permen itu kepada anak perempuan tadi. Dengan gemas Berliana langsung mengusap rambut bocah perempuan.

“Terima kasih Kak.”

“Ya sama-sama.”

“Hey, siapa kamu! Berani-beraninya ya bantuin anak cengeng itu.” Si anak lelaki tadi berkata dengan kesal. Jika di perhatikan usianya sekitar 7 tahun.

Berliana hanya diam, tatapan dalam dengan sedikit menerawang, membuatnya sedikit melamun.

“Jangan seperti itu. Suatu saat kamu bisa saja suka padanya, aku hanya berusaha menyelamatkan kamu, setidaknya bocah lucu tadi tidak terlalu membencimu.” Berliana terkesan sombong saat mengatakan hal itu.

“Memang aku peduli,” acuh anak laki-laki itu.

“Siapa namamu?” tanya Berliana.

“Untuk apa kamu tanya-tanya namaku”

“Siapa namamu!” Kini nada Berliana terkesan galak dan tidak ingin di bantah.

“Brian,” jawab bocah laki-laki sedikit terpaksa.

“Brian, nama yang indah.” Mengambil sesuatu dari jaketnya. Berlian memberikan sesuatu.

“Untuk kamu bocah nakal, jangan lupa namaku Ana.” Setelahnya, Berliana pergi meninggalkan bocah itu yang terlihat hanya terbengong.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!