Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.
Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Matahari belum terlalu tinggi ketika Nathan tiba di depan kafe tempat mereka biasa bertemu. Kayla sudah duduk di dalam, memainkan sedotan dalam gelas jus jeruknya sambil sesekali melirik jam tangan.
Hari ini bukan kali pertama mereka bertemu setelah obrolan tentang bisnis baru yang menggantung di udara. Selama empat hari terakhir, mereka masih saling menyapa, tertawa, bahkan bertukar pelukan. Tapi tetap, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Nathan tentang hal yang sebenarnya membuat Kayla terus memikirkannya.
"Maaf ya, macet," ucap Nathan sambil duduk dan menarik napas. "Kamu udah pesan?"
Kayla mengangguk. "Aku pesan sandwich favorit kamu sekalian. Tadi kamu bilang belum sarapan, kan?"
"Sayang, kamu memang tahu aku banget," katanya, tersenyum lebar.
Tapi senyum itu hanya menutupi sesuatu. Kayla bisa melihatnya. Ada yang disembunyikan di balik ekspresi lembut Nathan. Setiap kali obrolan mereka hampir menyentuh hal-hal serius, terutama soal pekerjaan, Nathan selalu cepat mengganti topik. Kadang dengan candaan, kadang dengan kecupan singkat di kening, seolah memintanya untuk tidak bertanya lebih jauh.
Kayla menuruti. Ia memang pernah bilang ingin memberi waktu, dan ia berusaha menepatinya. Tapi memberi waktu ternyata bukan berarti mengusir rasa penasaran. Selama mereka mengobrol, matanya beberapa kali menangkap tatapan Nathan yang terlihat lelah, meski bibirnya tetap melengkung.
***
Malamnya, Kayla sudah berganti piyama dan duduk di tepi ranjang. Ponselnya tergeletak di samping bantal, layarnya gelap. Ia menatapnya lama, seolah berharap benda itu bisa menjawab pertanyaannya sendiri.
Kalau bukan karena cinta, mungkin ia sudah pergi. Tapi cinta itu pula yang membuatnya ingin mengerti. Ingin jadi orang pertama yang Nathan percayai untuk berbagi.
Namun, di antara semua nama yang memenuhi kepalanya malam ini, satu nama lain muncul tanpa diundang. Davin. Mereka memang tak sedekat dulu, tapi ia tahu Davin cukup dekat dengan Nathan untuk tahu apa yang sedang terjadi.
Tangannya meraih ponsel. Jemarinya nyaris membuka kontak Davin, tapi ia berhenti. Menghubungi Davin berarti mengakui kalau ia tak lagi cukup dipercaya oleh Nathan.
Ia memejamkan mata, mencoba mengabaikannya. Tapi, yang ada justru bayangan wajah Nathan yang terlihat lelah akhir-akhir ini. Senyumnya masih hangat, tapi tidak utuh.
"Cuma bisnis baru," gumam Kayla pelan, hampir sinis. "Kalau memang cuma itu, kenapa kayak ada yang begitu berat?"
'Apa aku harus terus desak dia buat cerita, ya?' pikirnya. Tapi pertanyaan itu langsung ia tepis. Ia sudah janji memberi waktu. Ia harus menepatinya.
'Tapi bagaimana kalau waktu itu justru menjauhkan mereka dari hal-hal penting?'
Kayla menatap layar ponselnya yang kini menampilkan foto dirinya dan Nathan, tertawa di bawah cahaya lampu taman. Ada sesuatu yang menyesak di dadanya.
Kenapa harus berat sekali untuk menceritakan soal bisnis?
Itu bukan sesuatu yang kelam, bukan trauma masa lalu, bukan juga konflik keluarga.
Setidaknya... itu yang Kayla tahu.
"Atau... justru ada sesuatu yang lebih dari sekedar bisnis?" gumamnya pelan.
Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke arah jendela, membuka tirai sedikit dan menatap langit malam yang nyaris kosong. Suara detik jam terdengar lebih jelas di ruang sepi itu. Kayla memeluk dirinya sendiri.
Perasaan tak enak itu kembali menyelinap. Sejak obrolan terakhir mereka di kafe, Nathan makin hangat secara fisik. Pelukan yang lebih lama, genggaman tangan yang lebih erat, tapi justru semakin dingin secara emosional.
Dan di antara semua kemungkinan, hanya satu yang terus menerornya diam-diam.
Apa dia menyembunyikan sesuatu... atau seseorang?
Tangannya kembali meraih ponsel. Nama Davin masih ada di layar.
Ia menghela napas.
"Sekali ini aja aku egois, ya, Nath."
Kayla menatap nama Davin cukup lama. Jemarinya sudah berada di atas layar, siap mengetik pesan. Tapi untuk beberapa detik yang terasa seperti menit, ia hanya berdiri mematung, jantungnya berdetak tak beraturan.
'Kalau aku tanya sekarang, dan ternyata ada sesuatu yang lebih besar... aku siap nggak, sih?'
Ia menggigit bibir bawahnya.
Layar ponsel meredup, lalu mati. Tapi Kayla segera mengetuknya lagi, membuat cahaya biru pucat itu kembali menerangi wajahnya.
Kepalanya penuh kalimat yang belum ia pilih. Tapi akhirnya, ia menulis sesuatu yang sederhana.
Pelan, hati-hati.
[Hai, Vin. Kamu sibuk? Bisa ngobrol bentar nggak?
Ia menatap pesan itu cukup lama, lalu menekuk ponselnya ke arah dada, seperti ingin mendengarkan sendiri degup ragu yang sudah sejak tadi ada di sana.
Kayla tahu, begitu pesan itu terkirim, tidak ada jalan mundur. Ia sudah memutuskan untuk tidak menunggu Nathan menjawab sendiri teka-teki ini. Tapi lebih dari itu, ia juga sedang bertaruh pada keyakinannya sendiri, bahwa Nathan masih jujur. Bahwa tidak ada yang lebih gelap dari apa yang ia bayangkan.
Ponselnya bergetar. Satu pesan masuk.
[Ngobrol sekarang? Telepon aja atau mau ketemu?]
Kayla sempat tertegun. Tidak menyangka Davin akan secepat itu membalas.
[Ketemu aja bisa? Besok? Nggak lama, kok. Aku cuma mau tanya sesuatu.]
Balasan berikutnya muncul beberapa detik kemudian.
[Bisa. Di mana?]
[Angkringan deket kantor kamu bisa? Jam lima sore, ya.]
[Serius di angkringan?] balas Davin seolah tak percaya.
[Iya, ngobrol santai aja kok. Udah lama juga nggak nongki di sana. Bosen di cafe mulu.]
Kayla menaruh ponsel di nakas. Matanya terpejam, tapi kepalanya masih penuh bayangan. Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya setelah empat hari diam, ia merasa... setidaknya sedang bergerak.