Mati tertabrak truk? Klise.
Tapi bangun di dunia penuh sihir, monster, dan wanita cantik berbahaya?
Shen Hao tidak menyangka, nasib sialnya baru dimulai.
Sebagai pria modern yang tengil dan sarkastik, ia terjebak di dunia fantasi tanpa tahu cara bertahan hidup. Tapi setelah menyelamatkan seorang gadis misterius, hidupnya berubah total—karena gadis itu ternyata adik dari Heavenly Demon, wanita paling ditakuti sekaligus pemimpin sekte iblis surgawi!
Dan lebih gila lagi, dalam sebuah turnamen besar, Heavenly Demon itu menatapnya dan berkata di depan semua orang:
“Kau… akan menjadi orang di sisiku.”
Kini Shen Hao, pria biasa yang bahkan belum bisa mengontrol Qi, harus menjalani hidup sebagai suami dari wanita paling kuat, dingin, tapi diam-diam genit dan berbahaya.
Antara cinta, kekacauan, dan tawa konyol—kisah absurd sang suami Heavenly Demon pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZhoRaX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH 15
Sorakan dari arena masih bergema, tapi Shen Hao tidak mendengarnya sama sekali. Ia masih berdiri dengan napas tersengal, jantung berdebar karena terkejut.
“Hei! Kau pikir aku tidak punya jantung, hah!? Muncul begitu saja di depan orang tanpa suara—ingin membuatku mati mendadak, ya!?”
Suara Shen Hao menggema keras, membuat beberapa penonton di sekitarnya langsung menatap ke arahnya dengan ekspresi ngeri.
Tidak ada satu pun yang berani bernapas keras, apalagi bicara.
Di depannya, wanita berambut hitam panjang itu hanya berdiri diam.
Pakaian jubah merah-hitamnya berkibar lembut tertiup angin spiritual, matanya berwarna crimson tenang menatap lurus padanya.
Ia tidak menjawab. Tidak juga marah.
Hanya diam—dengan sedikit senyum di bibirnya yang seolah mengatakan, “Menarik sekali.”
Tapi Shen Hao, yang belum tahu siapa di depannya, justru makin kesal karena diabaikan.
“Kau pikir kau siapa, hah? Mau menatap-natap orang seperti itu?!”
“Kalau muncul tiba-tiba itu semacam hobi, ya!? Aku hampir—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, seseorang di sampingnya menarik lengan bajunya dengan tangan gemetar.
“H-Hei!… kau—kau sadar tidak… siapa wanita di depanmu itu…?”
Shen Hao menoleh setengah kesal.
“Memangnya siapa?”
Orang itu pucat pasi.
“Itu… itu Ketua Sekte Crimson Moon… sang Heavenly Demon, Nona Mei Xian’er sendiri…!”
Waktu seperti berhenti.
Shen Hao membeku di tempatnya.
Matanya melirik pelan ke arah wanita itu—yang kini menatapnya dengan lembut namun jelas menyimpan kekuatan luar biasa di balik tatapannya.
“Heh… Heh-heh-heh…”
Ia tertawa kaku.
Tangannya yang tadi menunjuk-nunjuk kini perlahan turun, gerakannya lambat seperti kura-kura yang takut salah langkah.
Wajahnya memucat, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
“S-saya hanya… ehm… latihan… vokal, ya… kebiasaan buruk kalau terkejut, he-he…”
Suara tawanya menggantung canggung di udara.
Semua mata tertuju padanya—beberapa penonton menutup wajah, tidak sanggup melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Namun, Mei Xian’er hanya tersenyum kecil.
Senyum yang tipis tapi menawan, dan entah kenapa… justru membuat Shen Hao semakin gugup.
Tatapannya tidak berubah, tetap lembut namun penuh rasa ingin tahu.
Dalam hati, sang Heavenly Demon hanya berpikir satu hal:
“Menarik… dia berbeda dari yang lain.”
Dan sementara semua orang menahan napas, menunggu ledakan amarah, yang keluar dari bibir Mei Xian’er justru adalah kalimat lembut namun menggema di seluruh arena:
“Namamu siapa?”
Shen Hao yang masih gemetar hanya bisa menjawab pelan,
“S-Shen Hao… dan… tolong jangan bunuh saya dulu…”
Suasana arena mendadak hening.
Bahkan angin pun seolah berhenti berhembus.
Ribuan pasang mata dari tribun penonton, peserta, hingga para pengawal sekte terkuat semuanya terpaku pada satu pemandangan yang tak masuk akal—Ketua Sekte Crimson Moon, sang Heavenly Demon Mei Xian’er, berbicara lembut… pada seorang pria asing yang bahkan tidak memancarkan aura kuat sedikit pun.
Para penonton hanya saling berpandangan, wajah mereka campuran antara bingung, takut, dan tidak percaya.
“T-tadi… beliau tanya nama?”
“Dia tidak membunuh pria itu?!”
“Orang itu siapa sebenarnya?”
Bisik-bisik kecil mulai memenuhi tribun, tapi tak satu pun berani bicara terlalu keras.
Sementara itu, di tempat duduk para Penatua Agung—enam sosok kuat yang auranya bisa menekan gunung sekalipun—semuanya terpaku dengan ekspresi tak kalah terkejut.
Huo Lian, penatua dengan rambut merah menyala, mengangkat alis tinggi sambil berdecak pelan.
“Heh… sudah berabad-abad aku tidak melihat Ketua bersikap sehalus itu kepada seorang pria. Dunia ini benar-benar mulai menarik.”
Hu Yue, sang rubah berambut ungu, menyandarkan dagunya di tangan, ekornya bergoyang lembut di belakang kursi.
“Hmm~ siapa pun dia, aura mortalnya… aneh sekali. Aku tidak bisa menebaknya.”
Nada suaranya genit tapi matanya tajam, penuh rasa ingin tahu.
Shen Qiyue, penatua bermata petir, justru tampak tidak sabar.
“Aneh atau tidak, kalau dia berani bersikap seenaknya pada Ketua, aku sendiri yang akan menebas kepalanya.”
Namun Mei Ling’er, adik Xian’er, hanya tersenyum lembut, matanya berbinar dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan.
“Kakakku tidak pernah salah memilih orang untuk diperhatikan.”
Bai Zhenya dan Lan Xiuying hanya saling bertukar pandang—yang satu tenang seperti bayangan, yang lain datar seperti langit tanpa bintang.
Tapi keduanya tahu, jika sang Ketua sampai berdiri dan turun ke tribun hanya karena satu pria, maka pria itu tidak biasa.
---
Di bawah sana, Shen Hao masih berdiri kaku.
Keringatnya menetes, sementara Mei Xian’er melangkah perlahan mendekatinya.
Jarak mereka kini hanya beberapa langkah—cukup dekat hingga ia bisa mencium aroma lembut bunga merah yang samar menguar dari jubah sang ketua sekte.
“S-Shen Hao…” ia berdehem gugup, menegakkan tubuh dengan gaya formal setengah hati. “Saya cuma penonton, kebetulan lewat, tidak ada niat macam-macam…”
Mei Xian’er hanya menatapnya dalam diam.
Sorot matanya seolah menelusuri sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar wujud fisik.
Lalu, perlahan, senyum tipis kembali muncul di bibirnya.
“Menarik… sangat menarik.”
Shen Hao menelan ludah.
“K-kalau menarik dalam arti… ‘tidak akan dibunuh’, saya rasa itu kabar baik?”
Mei Xian’er tidak menjawab. Ia berbalik, jubahnya berayun lembut saat ia melangkah kembali menuju tribun kehormatannya.
Namun sebelum ia benar-benar pergi, suaranya yang lembut bergema di udara:
“Kau akan tetap di sini sampai turnamen berakhir, Shen Hao.”
Dan tanpa menjelaskan lebih jauh, sosoknya menghilang—menyisakan Shen Hao yang masih berdiri kaku dengan wajah kebingungan total.
“Eh? Apa tadi barusan aku… direkrut? Atau diancam mati dengan sopan?”
Beberapa penonton di sekitarnya menatapnya seperti melihat hantu.
Yang lain bergumam,
“Pria itu gila… dia bicara seperti itu pada Heavenly Demon dan masih hidup…”
Sementara Shen Hao hanya bisa menggaruk kepalanya, wajahnya campuran antara bingung dan pasrah.
“Yah… setidaknya dia cantik. Kalau nanti aku mati, semoga matinya bukan dengan cara yang jelek-jelek banget.”
Suasana turnamen yang semula penuh sorakan kini berubah menjadi campuran panas antara rasa iri, murka, dan kebingungan.
Para peserta yang tersisa saling berpandangan, wajah mereka menegang. Beberapa yang tadinya tidak ingin bertarung lagi—bahkan sudah hendak mundur—kini justru maju ke arena dengan aura yang berkobar penuh amarah.
Salah satu dari mereka, Jiang Tian dari Heavenly Sword Sect, mencabut pedangnya dengan gerakan tajam hingga udara di sekitarnya bergetar. Tatapan matanya menembus arah tribun tempat Shen Hao duduk.
“Seorang mortal berani membuat Ketua Sekte Crimson Moon turun langsung ke arahnya… dan masih hidup?”
Nada bicaranya dingin, penuh ejekan.
“Apakah dunia ini sudah benar-benar gila?”
Di sebelahnya, seorang pria berambut putih panjang dari Iron Spirit Sect menertawakan dengan sinis.
“Huh, mungkin wanita itu tertarik pada wajah tampan rendahan itu. Lihat saja, pria itu bahkan tidak punya sedikit pun aura kultivasi tinggi, tapi berani berdiri seenaknya.”
Mereka bukan satu-satunya.
Satu demi satu peserta mulai memancarkan aura membara—ada yang marah, ada yang iri, ada pula yang matanya penuh niat membunuh.
Sebagian hanya ingin menarik perhatian Mei Xian’er, sebagian lagi merasa harga diri mereka diinjak oleh seorang pria lemah yang “tidak pantas”.
---
Dari atas singgasananya, Mei Xian’er duduk kembali dengan tenang.
Sekilas, ia tampak seperti tidak memperhatikan kekacauan yang mulai membara di arena, namun mata crimson-nya terus menatap satu arah—Shen Hao.
Jari lentiknya menelusuri gagang cangkir teh di sampingnya, lalu ia berbisik lirih, nyaris tidak terdengar:
“Mengapa… auramu terasa begitu asing, dan begitu akrab di waktu yang sama?”
Mei Ling’er, yang duduk di sebelahnya, melirik penasaran.
“Kakak, apakah pria itu benar-benar istimewa?”
Mei Xian’er tidak menjawab, hanya mengangkat alis sedikit sambil tetap menatap ke bawah.
Namun Huo Lian, si Penatua Api, tersenyum miring.
“Heh, kalau para peserta itu terus melihat ke arah bocah itu bukannya ke lawan mereka, aku jamin mereka akan mati duluan sebelum tahu siapa dia sebenarnya.”
Hu Yue terkekeh pelan, ekor rubahnya bergoyang lembut.
“Dan lihatlah, Ketua kita… matanya tidak lepas dari pria itu bahkan sedetik pun. Aku sudah mencium aroma kisah menarik di sini~”
Shen Qiyue hanya menghela napas berat.
“Yang benar saja. Dunia ini memang selalu penuh kejutan…”
---
Sementara itu, Shen Hao yang masih di kursi penonton umum, mulai merasa udara di sekelilingnya berat.
Mata-mata tajam dari arena menatapnya seolah ingin menelannya hidup-hidup.
“Kenapa mereka semua melihat ke arahku begini…?” gumamnya pelan.
Ia menoleh ke kanan-kiri, lalu menyadari banyak penonton yang menjauh darinya dengan wajah panik.
“Eh? Apa aku melakukan sesuatu salah lagi?”
Aura para peserta di arena mulai meningkat, medan energi mereka bertabrakan satu sama lain, menimbulkan badai spiritual yang mengguncang pelindung arena.
Sorakan penonton berubah menjadi riuh yang tegang, sementara tatapan Mei Xian’er yang tajam masih tertuju padanya—datar, tenang, namun dalam.
Dan di tengah semua itu, Shen Hao hanya bisa menghela napas panjang sambil bergumam lirih:
“Rasanya… aku akan disalahkan atas sesuatu yang aku sendiri tidak mengerti.”