Ivy Cecilia, seorang perawat yang bertugas di salah satu rumah sakit harus rela kehilangan sang suami dalam kecelakaan tunggal saat pulang dari rumah sakit. Pesan terakhir suaminya adalah jasadnya harus dikebumikan di tanah kelahirannya, Tondo, di negara Filipina. Demi rasa cintanya, Ivy pun menyanggupi. Dengan membawa dua anak mereka yang masih kecil, Ivy mengurus keberangkatannya membawa jenazah suaminya ke Filipina. Karena belum pernah bertemu sebelumnya, Ivi berniat tindak lama di sana. Selesai misa pemakaman Ivi akan kembali ke Indonesia.
Namun, yang menanti Ivy di sana bukanlah sesuatu yang mudah. Bukanlah pertemuan dengan keluarga mertua yang seperti biasa. Kegelapan, darah, amarah, dan jebakan paling menyiksa sepanjang hidupnya sudah menanti Ivy di Tondo, Filipina.
Apakah Ivy berhasil melalui itu semua dan kembali ke Indonesia?
ataukah Ivy terjebak di sana seumur hidupnya?
Ayo, temani Ivy berpetualang di negeri seberang, Filipina, melaksanakan pesan terakhir mendiang suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ericka Kano, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 : Kedatangan Carmen ke rumah sakit
Ivy kehilangan banyak darah. Wajahnya pucat. Kakinya diperban dan tangannya diinfus. Ivy masih tertidur sejak dipindahkan dari UGD ke ruang inap VIP. Di mana Lukas? Jangan ditanya lagi. Lukas duduk di samping tempat tidur Ivy sedari tadi. Tidak beranjak. Dia memandangi wajah Ivy yang tertidur pulas.
"Nikahi Ivy," kata-kata Nyonya Christina kembali terngiang di kepala Lukas.
Lukas memejamkan matanya. Ivy cantik. Dia juga wanita pintar dan tidak murahan seperti Carmen. Lukas juga menyayangi Aiden dan Aiden juga sebaliknya. Semuanya mudah bagi Lukas untuk menikahi Ivy. Tapi kenyataan bahwa Ivy pernah jadi istri kakak nya menjadi satu ganjalan di hatinya. Dan dia takut Ivy menolak dia. Tapi ibunya sudah mengeluarkan perintah dan itu sulit untuk dibantah.
Lukas terus memandang wajah Ivy yang tertidur pulas hingga dering hp nya terdengar.
"Halo Ibu,"
"Bagaimana keadaan Ivy?," Nyonya Christina langsung bertanya
"Dokter sudah mengobati kakinya. Ada beberapa jahitan karena kakinya sobek. Dia kehilangan banyak darah," jawab Lukas dengan suara berat.
"Aku diberitahu Damon. Tetaplah disitu dan minta para pengawal berjaga di rumah sakit itu. Aku tidak mau ada tragedi,"
"Baik Ibu,"
Tanpa diperintah pun, Damon sudah menempatkan beberapa orang pengawal di rumah sakit. Di lantai satu dan juga di depan pintu kamar.
Pintu kamar terbuka. Damon masuk membawa makanan.
"Tuan, makanlah. Anda belum makan apapun dari tadi. Ini ada minuman juga dan buah," Damon membuka barang bawaannya dan mengaturnya di meja.
"Damon,"
"Ya, Tuan,"
"Apa rasa takut kehilangan adalah bagian dari rasa cinta?,"
Damon tersenyum.
"Tentu saja, Tuan. Cinta akan selalu ingin bersama. Ketika ada sesuatu yang menyebabkan potensi kehilangan maka cinta akan menimbulkan rasa takut yang teramat sangat di hati,"
"Apakah menganggap seseorang lebih penting dari bisnis itu adalah cinta?,"
"Itu sudah pasti Tuan. Cinta selalu memprioritaskan yang dicintai,"
Lukas menatap Damon yang baru selesai mengatur bawaannya di atas meja.
"Sejak kapan kamu jago dalam hal cinta, Damon?,"
Damon duduk di sofa kecil dekat Lukas.
"Tuan, kita semua tahu apa dan bagaimana itu cinta. Tapi dunia kita penuh dengan kekerasan, persaingan, darah, senjata, bisnis, membuat kita menjadi buta tentang cinta. Padahal kita sebenarnya tahu tentang cinta,"
Damon berbicara sambil menatap mata Lukas.
Lukas membuang pandangannya. Dia takut Damon membaca perasaannya.
"Maaf Tuan, jika boleh menebak, sepertinya Tuan sedang jatuh cinta," Damon tersenyum.
Lukas menatap Damon tajam. Lalu memandang wajah Ivy.
"Aku tidak tahu kapan aku mulai jatuh cinta," suara Lukas merendah.
"Apakah Madame orang yang Anda maksud, Tuan?,"
Lukas kembali menatap Damon. Kali ini bukan tatapan tajam. Tapi tatapan keputusasaan.
"Aku telah salah mencintai, Damon. Kenapa harus dia," Lukas mengusap wajahnya.
Damon hanya tersenyum.
"Aku bingung dengan perasaan ini, Damon. Aku takut aku salah mengartikan perasaan ini dan...,"
"Dan apa Tuan?,"
"Aku takut kalau rasa ini hanya aku yang merasakannya dan dia tidak,"
**
"Kamu yakin itu dia?," tanya Carmen kepada orang yang menelponnya
"Sangat yakin Carmen. Walaupun tidak sekelas tapi kan kita pernah satu sekolah mana mungkin aku salah lihat," jawab si penelpon.
"Aku akan ke sana sebentar. Bantu aku untuk bisa mengakses ruangan VIP," ujar Carmen
"Akan ku bantu. Jangan lupa membawa 'oleh-oleh,"
"Tenang saja. Sudah ku siapkan,"
**
"Aku ingin pulang," ujar Ivy sambil mencoba duduk dan bersandar dibantu Lukas
"Lihat kakimu. Berdiri saja kamu tidak mampu bagaimana akan pulang,"
Ivy meringis. Kakinya masih terasa sakit. Wajahnya tampak lelah.
"Bagaimana dengan Aiden,"
"Aiden tidak kehabisan orang untuk mengurusnya di rumah,"
Ivy memegang perutnya.
"Anda harus makan Madame," Damon membawa semangkuk sup.
Ivy mengangkat tangannya hendak mengambil mangkuk.
"Kata dokter, Anda tidak boleh banyak bergerak. Dokter menyarankan Anda makan harus disuap. Lagi pula, tangan kanan Anda kan sedang diinfus. Tuan Lukas akan menyuapi Anda," Damon memberikan mangkuk pada Lukas. Lukas yang terkejut agak gelagapan tapi secepat mungkin mampu menguasai diri.
"Makanlah lalu minum obatmu," ujar Lukas sambil mengaduk sup yang masih panas itu.
"Tuan, jangan lupa ditiup dulu sebelum disuap," saran Damon sambil menirukan gerakan meniup.
Damn. dia sengaja mempermainkan ku, batin Lukas.
Lukas meniup sup sebelum menyodorkannya ke mulut Ivy. Ivy menerima suapan pertama. Dan Lukas melakukannya hingga suapan ke sekian.
"Saya ke kantor dulu Tuan. Ada yang harus diurus. Telpon saja jika ada perlu," Damon memakai kembali jaketnya.
"Tolong bawakan laptop kerja ku," ujar Lukas.
"Baik, Tuan. Jangan lupa suapi Madame hingga sup nya habis, Tuan," Damon mengedipkan matanya pada Lukas dan tersenyum nakal.
Lukas menatap Damon.
Awas kamu nanti, batin Lukas.
"Lukas, sepertinya aku sudah kenyang,"
"Kalau begitu saatnya minum," Lukas menyodorkan Tumbler berisi air hangat untuk Ivy.
**
Carmen sedang duduk di ruang tunggu rumah sakit. Tangannya memegang buket bunga berwarna merah.
"Hai," sapa Joice, wanita berbaju perawat, yang tadi menelpon Carmen. Joice ada salah satu dari perawat yang mengurus Ivy saat di UGD.
"Hai, Jo," Carmen berdiri dan menyisipkan sesuatu di tangan Joice. Joice tersenyum.
"Dia di kamar VIP nomor 1. Aku antar kau ke sana,"
Setiba di area VIP, mereka berdua melihat dua orang pengawal berjaga di depan.
"Kamu tunggu di sini. Begitu kamu lihat dua pengawal itu pergi denganku, kamu segera masuk," perintah Joice. Carmen mengangguk.
Joice berjalan mendekat dua pengawal.
"Maaf tuan-tuan, bisakah Anda membantu saya sebentar?," kedua pengawal berwajah sangar itu saling pandang.
"Saya hanya ingin kalian berdua membantu saya memindahkan plastik sampah besar itu ke dekat tangga darurat. Keberadaan nya cukup mengganggu kenyamanan pasien," Joice tersenyum dan sedikit membusungkan dada sengaja menunjukan dadanya yang besar.
Kedua pengawal itu tidak curiga sama sekali. Mereka langsung mengikuti apa yang Joice katakan. Saat mereka berdua menuju ke plastik sampah, posisi mereka membelakangi Carmen sehingga Carmen punya waktu untuk menyelinap masuk ke kamar Ivy.
**
Ivy selesai meminum obatnya.
"Sekarang kamu bisa istirahat lagi," ujar Lukas.
"Lukas, boleh kah aku minta tolong?,"
"Katakan,"
"Aku kesulitan mengikat rambutku. Boleh dibantu?," Ujar Ivy sambil menyodorkan ikat rambut kecil yang tadinya di rambutnya tapi sudah lepas.
Lukas berdiri dari tempat duduknya. Dia mendekati Ivy. Lukas mulai mengumpulkan rambut Ivy untuk diikat. Dadanya begitu dekat dengan wajah Ivy sehingga Ivy dapat mencium dengan jelas harum parfum Lukas. Lukas pun tidak kalah deg-degan nya. Bisa menyentuh Ivy dan berada dalam jarak yang sangat dekat dengan Ivy, membuat dia takut ada yang tegang di bawah sana.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Carmen terpaku melihat pemandangan di depannya. Posisi Lukas terlihat seperti sedang bermesraan dengan Ivy.
"Wow, sepertinya aku salah waktu," ujar Carmen sambil menutup pintu. Lukas yang terkejut segera meraba sakunya untuk mengambil pistol.
"Sabar Lukas, ini aku," Carmen maju dan hendak memberi ciuman ke pipi Lukas tapi Lukas segera mengangkat telapak tangannya menahan Carmen.
"Maaf nona Carmen. Tolong menjaga sikap," Carmen terhenti. Dia tertawa sinis lalu meletakan buket bunga yang di bawahnya di atas meja.
"Tuan putri sedang sakit rupanya. Kenapa dengan kakimu, apa Lukas tidak bisa menjagamu?," Carmen berdiri di ujung tempat tidur Ivy.
Ivy berdehem.
"Lukas selalu menjagaku. Dia yang membawaku ke sini. Dia juga menggendongku ke ruang UGD. Aku terluka karena tidak hati-hati," Ivy membalas.
"Heh, tidak hati-hati rupanya. Untung hari ini kaki mu bisa saja besok kepalamu," Carmen tersenyum licik
"Nona Carmen, jika tidak ada keperluan, silakan meninggalkan ruangan ini. Dan satu lagi Anda pasti menggunakan cara licik untuk bisa masuk karena ini ruang VIP," Lukas berdiri dan menatap Carmen
"Lukas, come on, kita bukan orang asing. Kita saling kenal sejak usia 13 tahun. Kenapa bicaramu begitu formal,"
"Seorang pasien di rumah sakit pasti butuh istirahat, nona Carmen. Jadi sepatutnya memberi ruang untuk pasien beristirahat," sela Ivy.
"Heh, beristirahat.. Ya, beristirahat. Bilang saja kamu terganggu karena aku datang saat kamu dan Lukas sedang berciuman,"
"Kami ti..,"
"Ya, benar," Lukas menyela, "Nona Carmen datang di waktu yang tidak tepat saat kami sedang menikmati waktu berdua. Kami merasa terganggu,"
Wajah Carmen memerah.
"Untung aku cepat datang jika tidak mungkin kalian sudah bercinta di tempat ini," sindir Carmen
"Kami buk..,"
"Tentu saja," Lukas menyela lagi," apa yang akan dilakukan dua orang dewasa di ruangan tertutup seperti ini. Infus dan perban kaki tidak bisa menghalangi jika keinginan itu datang. Toh, Ivy tidak harus berbuat apa, dia hanya diam saja, aku yang bergerak," Lukas membelai rambut Ivy.
Mata Ivy terbelalak mendengar kalimat Lukas.
Apa-apan ini. Kenapa kalimatnya begitu vulgar, batin Ivy.
"Aku takjub pada perubahan mu Lukas. sekarang kamu sudah mulai agresif. Saat kita bersama dulu, aku yang selalu mulai mencium mu. Kamu terlalu pasif," Carmen sarkas.
"Lelaki akan bereaksi lebih dalam saat bersama wanita yang diinginkannya. Sampai di sini paham, nona?,"
"Dasar laki-laki bajingan. Sekarang setelah ada dia, kamu ingin berkata bahwa dulu sebenarnya kamu tidak menginginkan ku? Begitu?,"
"Kalau itu kenyataannya aku harus bagaimana. Lagipula, aku dan Ivy akan segera menikah. Jadi tidak ada yang akan melarang kalau aku bersikap agresif,"
Carmen terkejut.
"Menikah?,"
"Ya, menikah. Kami sebenarnya belum ingin menikah tapi apa daya Nyonya Christina, ibuku, ingin kami segera menikah," Lukas menggenggam tangan kiri Ivy.
Amarah Carmen memuncak. Dadanya turun naik. Niatnya ingin mengganggu Ivy malah jadi bumerang. Dia mendapat kabar seperti ini.
Tidak berkata apa-apa lagi, Carmen segera keluar dan menutup pintu dengan kasar.
Ivy membuang napas kesal. Sementara tangan kirinya masih digenggam Lukas.