"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Rewang
Hanin pulang dengan perasaan bahagia karena baru saja mendapat gaji dari Ko Yusuf. Seperti biasa, ia akan memberikan separuh gajinya pada Bu Daning sebelum wanita paruh baya itu meminta lebih dulu.
"Bu, aku baru gajian. Ini buat Ibu." Hanin menyodorkan uang sebesar lima ratus ribu.
Alhamdulillah, bulan ini Ko Yusuf menaikkan gajinya dan kini genap satu juta ia peroleh dalam sebulan.
Bu Daning yang sedang menonton tivi menerima uang itu dan memasukkannya ke dalam saku dasternya. Sebenarnya, ia malu jika menerima uang itu. Namun, untuk menolak ia tak bisa
karena membutuhkannya untuk tambahan biaya sehari- hari. Sementara Lisna sendiri tak pernah memberinya uang.
"Bu, mau aku belikan sesuatu nggak mumpung aku baru gajian?" tawar Hanin.
Bu Daning menghela napas panjang. la menatap Hanin dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kamu nanti mau ke rumah Pak Faisal?"tanyanya, tanpa memedulikan tawaran Hanin.
"Iya, Bu. Nanti habis isya aku kesana. Nanti waktu hari H, aku libur buat rewang dari pagi," jawab Hanin.
"Ya audah, uang yang kamu punya mending simpan saja buat peganganmu sama buat ngasih amplop sama Bu Indah, Nin."
Hanin mengangguk. "Iya, Bu.Makasih." la tersenyum. Ibunya sepertinya sudah tak marah lagi padanya karena masalah Lisna tempo hari.
"Hanin?" panggil Bu Daning saat gadis itu hendak beranjak.
"Iya, Bu?"
"Arya punya kenalan di kantor Papanya. Siapa tahu dia cocok sama kamu dan kamu cocok sama dia. Coba kalian kenalan dulu," ujar Bu Daning yang membuat Hanin membuang napas panjang.
"Maaf, Bu. Aku belum berminat untuk hal itu."
"Mau sampai kapan kamu merecoki Lisna sama Arya? Niat Arya kan baik, Nin!"
Hanin memejamkan mata, berusaha mengontrol emosinya."Aku tidak pernah merecoki hubungan Lisna sama Arya, Bu," sahutnya. la menatap ibunya dengan pandangan nanar.
"Maaf, kalau aku selalu membuat masalah.
Mulai sekarang, apa pun yang terjadi sama Lisna, aku akan bersikap tidak peduli," sambungnya.
Bu Daning mendengkus. "Kamu emang sombong, Nin!"
"Terserah Ibu saja mau menilai aku seperti apa." Hanin tersenyum. Lantas, kembali berjalan ke
kamarnya.
Malam harinya, Hanin bersiap berangkat ke rumah Bu Faisal.Sudah menjadi tradisi di kampung jika ada keluarga hendak melaksanakan hajatan, maka para tetangga akan berkumpul untuk membantu. Bahkan, tak jarang adayang sampai begadang.
"Assalamu' alaikum, Bu Indah Pak Faisal," salam Hanin ketika melihat si empunya hajat ada di
depan rumahnya.
"Wa' alaikum salam, Hanin.Wah, kamu datang. Sendirian?" tanya Bu Indah.
"Iya, Bu Indah. Kata Ibu, tadi Ibu udah rewang di sini sampai sore."
Bu Indah terkekeh. "Iya, ibumu pasti lelah sekali. Ya udah, kamu makan dulu, Nin. Habis itu baru deh lihat- lihat ke dapur."
"Saya masih kenyang, Bu. Saya langsung ke dapur saja. Di sana ada Santi, kan?" Hanin menanyakan sahabatnya, jika ada Santi maka ia tak akan merasa bosan nanti.
"Ada. Santi anaknya rajin. Kamu lihat gih! Dia bagian ngawasin ibu- ibu yang bukannya bantuin tapi malah gibah," celetuk Bu Indah seraya berbisik.
"Hush! Jangan gitu, Bu. Takut ada yang denger. Gak enak samayang lain," tegur Pak Faisal yang disambut tawa oleh Hanin.
"Iya, tapi yang aku bicarain bener, kan?" Bu Indah tak mau kalah. Ia lantas menyuruh Hanin masuk.
Suasana dapur belakang rumah Bu Indah begitu ramai. Semua orang sibuk dengan pekerjaannya masing- masing, tentunya disambi bergosip. Hanin mencari keberadaan Santi dengan menyisir pandangan. Sampai ia menemukan
sosok gadis yang sedang mengupas kulit kelapa.
"Santi!"
"Loh, Nin? Kamu sendirian?" Santi menggeser posisinya. Lalu, memberikan pisau untuk Hanin."Nih, kamu ke sini buat rewang, Rewang kan?"
Hanin mengulum senyum. "Kok tahu?"
"Iyalah. Masa iya ke sini buat godain calon pengantin?" Santi tergelak dengan ucapannya sendiri.
"Ngawur! Lagian gak mungkin aku godain Amel." Hanin duduk dikursi jongkok. Lalu ikut mengupas kulit kelapa.
"Bukan pengantin wanita. Tapi, pengantin pria. Kan pengantin prianya ada di sini," bisik Santi.
"Hah? Beneran?" Santi mengangguk.
"Baru sampai. Sepertinya mau ngasih sesuatu sama calon istrinya."
"Ohh, ya biarin aja. Bukan urusan kita," sahut Hanin. "Ini nanti kelapanya langsung diparut, kah?"
"Iya. Cuci dulu, lalu parut, Nin. Buat kue jadah itu."
"Oh, oke!"
Hanin mulai memarut kelapa, disusul oleh Santi. Hanya merekaberdua yang bekerja di bagian inikarena hari sudah malam dan orang- orang lebih memilih pulang dan tidur.
Hanin yang mulai mengantuk tidak fokus sampai jarinya ikut tergores. Gegas ia berlari ke tempat
cuci piring dan membilas jarinya.
"Perih," gumamnya. Hanin teringat pada Raffa.
Bukankah pria itu pernah memberikan hansaplas padanya? Bahkan pria itu menyuruhnya
membawa benda itu kemana pun ia pergi. Hanin merogoh sakunya dan mengambil hansaplas itu lalu memakainya di jari.
"Aneh. Apa lelaki itu punya indra ke enam?"gumam Hanin. Ia menggeleng, lalu kembali ke tempat Santi.
"Jarimu gak papa, Nin?" tanya Santi.
"Gak papa. Cum kegores dikit."
"Udah kamu perban. Ternyata udah sedia payung sebelum hujan." Santi tertawa.
"Bukan aku, sih yang menyediakan, San. Aku sama pria itu disuruh bawa hansaplas yang dia kasih ke mana pun aku pergi."
Kening Santi berkerut. "Pria? Siapa?"
"Itu... pria yang pernah berantem di pasar. Raffa namanya."
"What?! Kok, bisa? Emang kapan kamu ketemu sama dia, Nin?" Santi terlihat syok, sampai tanpa sadar melempar parutan kelapa begitu saja.
"Aduh, San! Biasa aja napa?!"
"Gak bisa biasa kalau udah nyangkut pria nyebelin itu. Aku masih kesal karena sikapnya yang sok cool itu. Tapi ... dia emang cool,sih. Ganteng juga." Santi mengulum senyum.
"Dih!"
"He he he. Ayo, cerita! Emang kamu diem- diem ketemuan sama pria itu ya, Nin?
"Enggak lah! Ngapain juga?Aku gak sengaja liat dia ada didepan toko Ko Yusuf lagi ngopi.Terus dia kebetulan juga liat aku.Tiba- tiba aja dia nyamperin dan ngasih hansaplast ini buat aku, San.Katanya aku disuruh bawa ke manapun aku pergi," papar Hanin.
"Pria itu emang aneh, San. Aku sendiri ngerasa begitu," tambahnya Santi melongo. Namun,
tangannya masih bergerak memarut kelapa.
"Jangan jangan ... dia suka sama kamu, Nin,"
celetuknya.
"Hah? Mana mungkin? Ngawur!"
Santi mencebik. "Tapi, kalau emang iya gimana? Lumayan juga kan kalau dia suka kamu, Nin. Ganteng dan gagah loh dia. Arya calon suami Lisna aja kalah!"
"Kamu ini ngomong apa, sih? Udah gak usah ngomong aneh-aneh. Lagian aku gak kenal sama pria itu. Aku juga gak suka sama pria secuek dia, San."
"Dia cuek tapi perasa dan perhatian loh, Nin."
"Maksudnya?"
"Dia pasti merasa kalau kamu akan terluka lagi. Makanya dia kasih kamu hansaplas. Bukankah itu salah satu tanda perhatian?"
Hanin berdecih. "Kebanyakan nonton drama kamu! Udah, lanjutin aja ini. Keburu ketannya mateng duluan," sahutnya.
Pagi ini, Hanin bangun lebih awal dari biasanya. Meski tubuhnya masih lelah, ia tahu hari ini adalah hari besar bagi keluarga Pak Faisal, tetangga yang sudah seperti keluarga sendiri. Ada acara hajatan besar dirumah mereka, dan Hanin diminta untuk membantu lebih awal, bersama dengan beberapa tetangga lainnya.
Di dapur yang luas milik Pak Faisal, Hanin sudah sibuk dari pagi. Tangannya lincah memotong
sayur, mencuci piring, dan sesekali mencicipi masakan yang dimasak oleh ibu -ibu lainnya. Biarpun usianya masih muda, Hanin dikenal sebagai salah satu yang paling rajin jika disuruh memasak. Keahliannya membuat sambal goreng ati atau sayur lodeh selalu menuai pujian.
"Kamu ini hebat, Hanin. Masih muda, tapi rasanya seperti masakan emak- emak senior!" goda Bu Tuti,salah satu tetangga.
Hanin hanya tersenyum kecil. la memang lebih senang berada didapur dari pada terlibat dalam percakapan panjang di ruang tamu. Dapur adalah tempat ia merasa tenang, jauh dari masalah rumah atau sindiran Lisna.
Di meja makan besar, Santi sudah menunggu. "Nin, sini bantu aku!" seru Santi sambil menata jajanan pasar di atas piring- piring kecil. Ada klepon, pastel, dan kue lapis yang harus ditata rapi di atas meja tamu. Hanin mendekat dan mulai bekerja bersama Santi. Keduanya bekerja dalam diam, tetapi saling mengerti ritme satu sama lain.
Dalam waktu singkat, meja tamu sudah penuh dengan piring- piring berisi jajanan yang tampak
menggugah selera.
"Eh, Nin!" Santi memulai obrolan, "kamu nggak keberatan kan bantu -bantu di sini dari pagi?Katanya kamu baru libur dari Ko Yusuf beberapa hari yang lalu."
"Enggak, kok. Aku senang malah dan Ko Yusuf ngasih izin,"jawab Hanin sambil tersenyum tipis. "Dirumah juga nggak adayang perlu dikerjakan."
Santi mengangguk pelan,mengerti. Ia tahu betul bagaimana Hanin lebih sering memilih sibuk di
luar rumah daripada harus menghadapi suasana tegang dengan Lisna.
Acara di rumah Pak Faisal berlangsung meriah. Para tamu undangan mulai berdatangan sejak pagi, membawa hadiah atau sekadar amplop berisi uang. Pak Faisal dan istrinya menyambut
mereka di depan pintu dengan senyum lebar.
Di dapur, Hanin dan Santi terus sibuk memastikan semua hidangan tersedia. Santi sesekali keluar keruang depan untuk memastikan meja tetap penuh dengan jajanan, sementara Hanin lebih memilih tinggal di dapur.
"Eh, Hanin, tadi aku lihat ibumu di ruang tamu," bisik Santi saat kembali dari luar. Hanin menoleh, agak terkejut.
"Ibu ke sini juga? Padahal, tadi Ibu bilang lagi capek dan gak enak badan."
"Iya, sama Lisna. Dan mereka kelihatan banget duduk di tempat strategis, kayak biar semua orang lihat" kata Santi sambil terkikik.
Hanin hanya tersenyum kecil.la tidak terlalu heran. Ibunya memang suka menonjolkan diri, apalagi jika ada acara besar seperti ini. la tidak ingin terlalu memikirkan kehadiran mereka.
Namun, suasana mendadak berubah ketika Hanin mendengar salah satu tamu membicarakan sesuatu yang menggelitik.
"Itu kan Lisna, ya? Yang calon menantunya Pak Herman?" tanya seorang wanita.
"Iya, dia. Cantik, ya? Tapi, kok dengar- dengar, hubungan mereka sempat bermasalah, ya?" sahut yang lain.
Hanin berusaha mengabaikan percakapan itu, tetapi hatinya sedikit tergelitik. Ia tahu pembicaraan semacam ini bisa berujung pada fitnah.
Setelah acara selesai, Hanin dan Santi duduk di belakang rumah Pak Faisal, menikmati udara sore. Pekerjaan mereka akhirnya selesai,dan mereka bisa sedikit beristirahat sebelum pulang.
"Nin, tadi kamu dengar pembicaraan orang- orang itu,nggak?" tanya Santi tiba- tiba.
Hanin mengangguk pelan. "Aku dengar. Tapi aku nggak mau ikut campur. Kalau mereka mau ngomongin Lisna, itu urusan mereka."
"Tapi, Nin... kamu nggak penasaran? Maksudku, mereka bilang hubungan Lisna sama calon suaminya itu sempat bermasalah," desak Santi.
Hanin menghela napas panjang. la tidak ingin menambah drama yang sudah cukup banyak dirumahnya. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa pembicaraan semacam ini bisamenjadi besar jika dibiarkan.
Saat itu, suara panggilan dari Bu Tuti memecah keheningan."Hanin, Santi! Sini dulu, bantuin bawain piring ke depan!"
Mereka berdua segera berdiri dan kembali ke dalam rumah. Namun, di benak Hanin, percakapan tentang Lisna dan Arya
terus terngiang -ngiang. la tidak tahu apakah harus mengabaikannya atau menyelidikinya lebih jauh.
Dalam perjalanan pulang, Hanin memutuskan satu hal. Jika rumor itu benar, ia tidak ingin jadi bagian dari fitnah yang memperkeruh keadaan. Tapi jika tidak, ia tahu waktunya akan tiba untuk mengungkap kebenaran, meskipun itu mungkin
menyakitkan.
Baru saja akan merebahkan tubuh yang lelah, pintu kamar Hanin diketuk keras. Hanin gegas turun dari ranjang dan berjalan membuka pintu.
"oh, kamu. Ada apa, Lis?"
Lisna memutar bola matanya. "Besok Arya mau ngenalin kamu sama OB di kantor papanya. Pria itu mau datang ke sini besok sore. Temuin dia dan jangan buat Arya malu!"
"Hah? Tapi...."
Belum sempat Hanin memprotes, Lisna pergi bergitu saja.