follow IG Othor @ersa_eysresa
Di usia 30, Aruni dicap "perawan tua" di desanya, karena belum menemukan tambatan hati yang tepat. Terjebak dalam tekanan keluarga, ia akhirnya menerima perjodohan dengan Ahmad, seorang petani berusia 35 tahun.
Namun, harapan pernikahan itu kandas di tengah jalan karena penolakan calon ibu mertua Aruni setelah mengetahui usia Aruni. Dia khawatir akan momongan.
Patah hati, Aruni membuatnya menenangkan diri ke rumah tantenya di Jakarta. Di kereta, takdir mempertemukannya dengan seorang pria asing yang sama sekali tidak dia kenal.
Apakah yang terjadi selanjunya?
Baca kisah ini sampai selesai ya untuk tau perjalanan kisah Aruni menemukan jodohnya.
Checkidot.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Pagi pertama setelah pernikahan mereka, udara desa terasa begitu segar, bercampur aroma tanah basah dan dedaunan karena kabut embun turun begitu pekat. Aruni sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan sederhana ditemani Bu Aisyah dan tante Dina yang masih berada disana. Rico, yang terbiasa dengan hiruk pikuk kota, tampak menikmati ketenangan pagi itu. Sangat damai dan menenangkan hati.
"Mas, mau sarapan nasi goreng buatan Ibu?" tanya Aruni, menyodorkan sepiring nasi goreng hangat dengan telur mata sapi diatasnya.
Rico tersenyum. "Wah, tentu saja! Baunya saja sudah bikin lapar. Terima kasih, Bu. "
Bu Aisyah tertawa kecil. "Sama-sama, Nak. Makan yang banyak jangan sungkan, biar kuat jalan-jalan nanti."
Setelah sarapan, Aruni mengajak Rico berkeliling desa. Mereka berjalan santai menyusuri jalan desa yang diapit rumah-rumah penduduk dan kebun-kebun hijau. Rico terlihat sangat antusias, matanya memancarkan rasa ingin tahu. Ini seperti saat dia bertualang untuk membuat video vlog untuk chanelnya. Tapi kali ini di tangannya tidak ada kamera, yang ada adalah tangan Aruni dalam genggamannya.
"Jadi, ini kampung halamanmu, Aruni?" tanya Rico, mengamati sekeliling. "Tenang sekali di sini. Udara juga bersih aku bisa menghirup oksigen banyak-banyak tanpa polusi. "
"Iya, Mas. Di sinilah aku tumbuh besar," jawab Aruni, menggandeng tangan Rico. "Beda sekali kan dengan Jakarta?"
"Sangat beda. Jakarta punya energinya sendiri, tapi desa ini punya kedamaian yang luar biasa," puji Rico. "Ini pengalaman baru bagiku,di desa dengan menggenggam tangan seorang wanita."
Mereka melewati hamparan sawah hijau yang membentang luas. Padi-padi muda melambai-lambai ditiup angin, menciptakan pemandangan yang menyejukkan mata. Rico mengeluarkan ponselnya, mengabadikan momen itu.
"Indah sekali sawahnya, Run. Di Jakarta mana bisa lihat pemandangan seperti ini," kata Rico, terkagum-kagum.
"Makanya, nanti kalau rindu, kita bisa sering-sering pulang ke sini," ujar Aruni.
Saat mereka berjalan, beberapa warga desa yang berpapasan menyapa Aruni dan Rico. Kebanyakan dari mereka tersenyum ramah, mengucapkan selamat atas pernikahan Aruni. Namun, tak jarang pula Aruni dan Rico mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang cukup menguji kesabaran.
"Aruni, kapan balik ke Jakarta? Sudah sah, ya?" tanya seorang ibu-ibu dengan nada ingin tahu yang berlebihan.
"Iya, Bu. Dua hari lagi kami balik ke Jakarta," jawab Aruni sopan, sambil tersenyum tipis.
Ada juga cibiran-cibiran tak sedap dari tetangga yang masih menyimpan rasa tidak suka atau kecurigaan terkait pernikahan dadakan mereka. Bu Yanti, mantan calon mertua Aruni, kebetulan terlihat sedang duduk di teras rumah tetangganya. Saat Aruni dan Rico lewat, ia membuang muka, pura-pura tidak melihat. Namun, bisikan sinisnya masih terdengar.
"Duh, yang baru nikah langsung pamer kemesraan. Enggak malu apa sama omongan orang?" gumam Bu Yanti cukup keras agar Aruni dan Rico mendengarnya.
Aruni sempat ingin menoleh dan membalas, namun Rico menggenggam tangannya lebih erat. "Jangan hiraukan, Sayang. Kita fokus saja pada kebahagiaan kita."
Mereka melanjutkan perjalanan, berhenti di warung kecil di pinggir jalan yang menjual jajanan tradisional.
"Wah, ini apa, sayang? Kelihatannya enak," tanya Rico, menunjuk sepiring rujak buah yang disajikan di mangkuk.
"Ini rujak buah, Mas. Khas daerah sini. Mau coba?" tawar Aruni.
Rico mengangguk antusias. Mereka berdua juga mencicipi nasi campur dengan lauk sederhana namun nikmat, serta menyegarkan diri dengan semangkuk es cendol yang manis dan dingin. Rico terlihat menikmati setiap suapan, memuji kelezatan masakan desa yang otentik.
"Enak sekali, ya! Rasanya beda dengan yang di Jakarta," kata Rico sambil menyeruput es cendolnya. "Ibu-ibu di sini jago masak semua ya."
Hari itu, mereka menghabiskan waktu dengan menjelajahi setiap sudut desa, dari sawah hingga sungai kecil tempat anak-anak bermain. Aruni bercerita tentang masa kecilnya, kenangan-kenangan lucu, dan mimpi-mimpinya saat itu. Rico mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tertawa mendengar cerita Aruni.
Hari kedua di desa juga diisi dengan kebersamaan. Mereka mengunjungi rumah Tante Dina dan Om Amar, bercengkerama santai. Rico sempat membantu Pak Burhan memperbaiki pagar yang rusak, menunjukkan sisi lain dari dirinya yang tak terduga bagi keluarga Aruni. Sikap rendah hati dan kepedulian Rico membuat Pak Burhan dan Bu Aisyah semakin yakin bahwa putri mereka telah memilih pasangan yang tepat.
"Nak Rico, kamu tidak perlu repot-repot," kata Pak Burhan, melihat Rico yang cekatan memegang palu.
"Tidak apa-apa, ayah. Ini adalah sesuatu yang baru yabg ingin saya coba" jawab Rico sambil tersenyum. "Lagipula, saya senang bisa membantu."
Pada malam harinya, keluarga Aruni mengadakan makan malam perpisahan sederhana. Suasana haru mulai menyelimuti, terutama Bu Aisyah yang tak ingin berpisah dengan putri kesayangannya.
"Jaga diri baik-baik ya, Nak, "pesan Bu Aisyah, matanya berkaca-kaca. "Jangan lupa sering-sering telepon Ibu dan ayah. "
"Pasti, Bu. Aruni tidak akan melupakan ayah dan Ibu," kata Aruni, memeluk ibunya erat. "Ibu dan ayah juga jaga kesehatan ya."
Bu Aisyah mengangguk dengan menahan air matanya
Pak Burhan menepuk bahu Rico. "Nak Rico, ayah titip putri kami. Jaga dia baik-baik di sana."
"Pasti, ayah. Itu sudah menjadi tanggung jawab saya sekarang," jawab Rico mantap.
Rico dan Aruni juga sudah membereskan barang-barang Aruni. Mereka telah memilah apa saja yang akan dibawa ke Jakarta dan apa yang akan ditinggalkan di sini. Aruni membawa beberapa pakaian, buku-buku favoritnya, dan tentu saja, semua kenangan indah yang ia miliki di kampung halamannya.
Keesokan paginya, setelah sarapan dan berpamitan dengan air mata haru, Rico memasukkan barang-barang Aruni dan barangnya ke dalam mobil. Kali ini, hanya Pak Burhan, Bu Aisyah, yang mengantar spai depan rumah. Perpisahan kali ini terasa lebih berat, namun juga diiringi harapan besar untuk masa depan anak mereka
Saat mobil mereka sudah bergerak, Aruni menatap ke luar jendela. Wajah kedua orang tuanya terlihat sendu dengan lambaian tangan, semakin mengecil di kejauhan. Ada sedikit rasa sedih, namun juga semangat yang membuncah. Ia tahu, babak baru dalam kehidupannya telah dimulai.
Rico menggenggam tangan Aruni erat. "Siap memulai kehidupan baru denganku, Sayang?" tanyanya lembut.
Aruni menoleh pada Rico, senyumnya mengembang. "Siap, mas. Aku siap."
Mereka berdua kini menatap ke depan, menuju Jakarta, menuju rumah baru, dan menuju babak baru dalam perjalanan rumah tangga mereka. Masa lalu telah terkubur, cibiran-cibiran telah diabaikan. Yang ada hanyalah masa depan cerah yang menanti untuk mereka ukir bersama.
Apa kesan pertama Aruni saat tiba di rumah baru mereka di Jakarta, dan bagaimana ia beradaptasi dengan lingkungan serta kehidupan barunya sebagai istri Rico?!