Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 34
Alex menatap laut di malam hari, udara dingin tidak mampu meredakan panasnya api cemburu. Suara desahan Livia kepada Juan terdengar jelas, tidak ada bukti mereka melakukan apa pun.
Seorang wanita mendekati Alex, dengan perasaan tidak suka melihat Alex memikirkan istrinya. "Mungkin istrimu sengaja melakukan itu, mau balas dendam kepadamu karena kemarin. Di mana istrimu melihat aku dan kamu berduaan di dalam mobil. Apa kamu sudah menjelaskan semuanya?"
Alex melirik wanita di sampingnya. "Livia sudah berubah total kepadaku, Hasya. Dia tidak peduli sama sekali, bahkan memblokir semua kontakku. Tidak seperti itu, menghubungiku beberapa kali dan meminta penjelasan. Sekarang Livia tidak peduli dengan semua itu."
Hasya tersenyum tipis. "Jangan-jangan Livia sudah bosan denganmu, lalu mencari pria lain dan seperti wanita murahan."
Alex langsung mencekik leher Hasya mendengar istrinya direndahkan seperti itu. "Apa yang kamu katakan tadi, Hasya? Aku yang mengetahui siapa istriku sebenarnya, mengerti? Livia wanita yang harga dirinya tinggi!"
"Akhh .... Aaaa .... uhuk ... uhuk ..." Hasya terbatuk-batuk di lantai, tubuhnya gemeteran karena melihat Alex marah kepadanya.
"Jangan coba-coba merendahkan harga diri istriku, Hasya. Kamu tahu, siapa aku sebenarnya?" kata Alex melangkahkan kakinya meninggalkan Hasya seorang diri.
"Aaaarrrgghhh .... gara-gara Livia, aku dibenci Alex dan diperlakukan seperti ini. Lihat saja, bagaimana caraku balas dendam kepada wanita itu? Jelas tidak terima dengan semua!" gerutu Hasya, merasa lehernya masih sakit sekali.
"Jangan dekat-dekat dengan istrinya Alex, Hasya. Wanita itu, aku melihat sifatnya sangat licik sekali. Buktinya saja, aku sampai dipukul Alex karena ulah istrinya itu. Jauh lebih baik kamu hati-hati," kata Juan tiba-tiba muncul di belakang. "Takutnya kamu mendapatkan masalah besar."
Hasya memutar bola matanya, lalu perlahan bangkit dan memberikan senyum tipis ke arah Juan. "Kamu dan aku jelas berbeda, Juan. Aku bukan orang bodoh yang mudah terpancing oleh Livia. Kalau kamu sudah tergoda matanya, itu urusanmu," ucapnya sinis sambil menahan rasa kesal yang mendesak di dada.
Juan menarik napas panjang, seolah menahan amarah yang mulai membara. "Aku tidak tergoda, Hasya. Tapi aku tahu cara dia bermain. Livia itu licin. Dia punya cara untuk membelokkan pikiran orang. Kalau kamu gegabah, kamu akan kehilangan segalanya dan hanya berakhir menyesal."
Hasya tertawa kecil, meski jelas itu penuh sindiran. "Menyesal? Aku sudah melangkah sejauh ini, Juan. Aku dan Alex, kami hanya selangkah lagi dari akhir yang kuinginkan. Kalau bukan karena istrinya Alex yang mendadak mengubah permainan, semuanya akan berjalan lancar. Livia adalah biang keroknya!"
Juan menggeleng pelan, menatap Hasya seolah ini makhluk yang tak bisa dimengerti. "Percayalah, Hasya. Semua yang kuucapkan itu untuk kebaikanmu. Aku sudah melihat siapa istrinya Alex sebenarnya. Dan kalau kamu nekat, kamu hanya akan melukai dirimu sendiri. Aku tidak akan ikut campur lagi."
Tanpa menunggu jawaban Hasya, Juan berbalik dan meninggalkannya sendirian. Ia memperhatikan punggungnya yang menjauh, bibirnya melengkung membentuk senyum mengejek. Tapi jauh di dalam hati, ada suara kecil yang berbisik. "Apakah aku sudah terlalu jauh? Tidak."
Hasya menepis keraguan itu. Pilihan ini sudah diambil, dan ia tidak akan berhenti sampai Alex benar-benar menjadi miliknya.
*********
Pagi yang cerah menyambut Livia dengan suasana pedesaan yang dingin dan begitu damai. Udara segar menyeruak hingga menembus pori-pori kulitnya, membawa rasa tenang yang sulit dijelaskan.
"Aaahh ... udaranya benar-benar menyegarkan," gumam Livia sambil merentangkan kedua tangan, membiarkan angin menyapa tubuhnya. Ia tersenyum tipis, mata tertuju pada mobil yang diparkir di depan, kendaraan yang akan membawanya menuju pertemuan penting hari ini.
Hanya beberapa menit perjalanan, Livia tiba di kediaman Mr. Donal, pria yang belakangan ini menjadi mitra bisnis barunya. Sambutan hangat dari para pelayan rumah menambah kesan ramah tempat ini, membuat rasa canggung sedikit mereda.
Namun, jantung Livia tetap berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia diarahkan untuk duduk di ruang tamu, menunggu kehadiran sang tuan rumah. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi tetap saja perasaan gugup itu mengintip dari sudut hati.
Ketika Livia mendengar suara langkah kaki menuruni tangga, matanya tanpa sadar terangkat. Sosok Mr. Donal muncul, dan seketika Livia merasakan udara di sekitar menjadi berbeda.
Mr. Donal menyapa Livia dari kejauhan, matanya tertuju pada tamunya dengan tatapan tenang namun tegas. "Maaf, telah membuatmu menunggu beberapa menit. Ada telepon mendadak yang harus aku tangani," ucapnya santai, seperti tidak ada sedikit pun rasa tergesa-gesa dalam dirinya.
"Ah, tidak masalah, Mr. Donal. Hmm... selamat pagi, Mr." Jawaban Livia terdengar sedikit terbata, bahkan di telinganya sendiri. "Oh Tuhan, kenapa aku jadi gugup begini? Apa karena caranya berbicara yang begitu santai dan percaya diri, atau karena aku merasa kecil dibandingkan sosok berwibawa itu?" batinnya.
Livia menarik napas dalam-dalam, berusaha keras menyembunyikan kegelisahan di balik senyum ramah yang dipaksakan. Ia harus tenang. Ini hanya pertemuan bisnis, katanya dalam hati, meski rasa gugup ini sulit sekali dihapus begitu saja.
Mr. Donal mengamati Livia dengan senyum halus di wajahnya, mungkin karena terpesona oleh kecantikan dan keanggunan wanita muda itu. "Dulu, ibumu sering bekerja sama denganku, bahkan sering berbagi cerita tentang bisnis. Sekarang usaha itu sudah beralih ke tanganmu, putrinya. Bagaimana kabar beliau?" tanyanya dengan nada ramah, namun pandangan matanya menyiratkan rasa hormat yang mendalam.
Livia mengangguk pelan sambil tersenyum sopan. "Beliau dalam keadaan sangat baik, Mr. Donal," jawabnya sambil menyerahkan dokumen yang sudah dipersiapkan sebelumnya. "Ini beberapa berkas kerja sama, termasuk penjelasan mengenai keuntungan proyek ini. Silakan dibaca dulu."
Mr. Donal mengambil dokumen itu, membalik halaman demi halaman dengan perhatian penuh, lalu menawarkan sesuatu yang tak terduga. "Bagaimana kalau kita berkeliling kebun apel dulu?" katanya.
Di tengah-tengah langkah mereka, Livia merasa seperti masuk ke dunia lain. Udara segar memenuhi paru-paru, aroma manis apel menguar di sekitar.
Livia meraih sebuah apel merah langsung dari pohonnya, mencucinya cepat sebelum menggigit buah itu. Rasa manisnya langsung menyerbu lidahnya, membuat berseru kagum. "Hmm ... buahnya benar-benar manis!"
Melihat reaksi Livia, Mr. Donal tersenyum kecil. "Aku akan meminta seseorang memetikkan beberapa buah untukmu. Kamu suka selai apel?"
Tanpa ragu Livia mengangguk dengan antusias. "Aku sangat suka! Bahkan, aku pernah membeli selai apel buatan Anda. Rasanya luar biasa sekali, Mr. Donal."
Sambil berbicara, mata Livia melirik sekeliling kebun yang luas ini, rasa penasaran sedikit muncul. "Ngomong-ngomong, istri Anda ada di mana?"
Ada jeda singkat dalam percakapan mereka setelah bertanya. Tatapan Mr. Donal sekilas tampak suram, tetapi dia segera menguasai dirinya, menjawab dengan senyum kecil yang tak sepenuhnya menyembunyikan sesuatu di balik matanya.