100% fiktif belaka, tidak ada kaitan dengan siapapun di dunia nyata atau di mana pun!!
"Gue nggak mau tau, kita menikah pokoknya. Lo, suami gue!"
Aria, gadis tengil 20 tahun, asal nyelonong masuk ke kamar hotel setelah mabuk di pesta temannya. Dengan penuh percaya diri, ia menodong pria di dalam kamar untuk menikah dengannya. Masalahnya? Pria itu adalah Jenderal Teddy Wilson, duda tampan 35 tahun yang dikenal dingin dan tak tersentuh. Yang lebih mengejutkan? Teddy tidak menolak.
Gimana kelanjutan ceritanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Senjata Makan Tuan
...****************...
Gue duduk di depan cermin, menyisir rambut dengan santai, sambil memikirkan rencana licik gue.
Harus ada pembalasan.
Tadi pagi, Teddy udah bikin gue menderita dengan merampas es krim kesayangan gue. Sekarang, giliran gue yang bikin dia menderita—secara mental.
Mata gue berkilat penuh ide setan.
Dengan hati-hati, gue memilih outfit paling seksi yang gue punya. Gue ambil gaun tidur sutra hitam yang transparan, dengan tali tipis dan belahan paha yang super tinggi. Nyaris lingerie.
Oh, ini bakal jadi perang mental yang seru.
Setelah selesai, gue berdiri di depan cermin, memeriksa tampilan gue.
Sempurna.
Sekarang, mari kita bikin suami gila.
...****************...
Begitu gue keluar dari kamar mandi, Teddy yang sedang duduk di tepi ranjang langsung menoleh.
Matanya langsung membesar.
Gue bisa lihat otot rahangnya mengeras.
"Mau ke mana lo?" tanyanya dengan nada tajam.
Gue nyengir santai. "Berkebun."
"..."
Senyap.
Teddy mengucek matanya, seolah memastikan dia nggak salah lihat.
"Lo serius?"
"Iya, dong." Gue berjalan melewatinya dengan santai, tapi dengan sengaja melangkah pelan-pelan supaya dia makin jelas melihat ‘keindahan’ ini.
"Berkebun pakai baju begitu?" Teddy langsung berdiri dan menghadang jalan gue.
"Kenapa? Ada yang salah?" Gue menyeringai lebar.
Matanya berkilat tajam, menelusuri penampilan gue dari atas sampai bawah. Gue bisa lihat otot di lehernya menegang.
Oh, gue suka ekspresi ini. Dia nyaris nggak berkedip. Kayaknya otaknya masih berusaha memproses kenyataan ini.
Gue mendekat, menepuk bahunya pelan, lalu berbisik dengan nada menggoda, "Ya, mana tahu ada yang tergoda. Soalnya... suami sendiri impoten. Sayang banget kan, perawan manis ini dianggurin?"
GUE NYARIS KETAWA LIHAT MUKA TEDDY.
Cowok itu membeku.
Bibirnya sedikit terbuka, kayak orang kehabisan kata-kata. Matanya berkilat dengan bahaya yang gue nggak ngerti.
Dan tiba-tiba...
CEKLEK!!
Pintu kamar langsung dikunci dari dalam.
GUE MELONGO.
"Eh...?"
Teddy memandang gue dengan ekspresi yang nggak bisa gue tebak.
"Lo pikir bisa main-main sama gue?" suaranya rendah, dalam, dan—shit—berbahaya.
Gue mundur satu langkah. "E-Eh, tunggu, ini kan cuma becand—"
Teddy maju.
Gue mundur lagi.
Teddy semakin maju. Gue semakin mundur.
Sampai akhirnya... Punggung gue mentok ke dinding.
OH, SHIT.
Gue langsung membeku. Shit. Di bawah sana, gue bisa merasakan sesuatu yang nggak seharusnya gue rasakan.
MILIK TEDDY BERDIRI. GUE. KAGET. PARAH.
Mata gue membulat, otak gue langsung nge-freeze. INI KENAPA BERDIRI?! Teddy, yang jelas-jelas sadar dengan apa yang terjadi, malah nyengir miring.
"Kenapa, hm?" suaranya rendah, hampir berbisik di telinga gue. Gue buru-buru memundurkan tangan, mencoba kabur dari posisinya.
"A-Aku mau pergi—"
"Oh, mau ke kebun? Pakai lingerie?" Teddy makin menyudutkan gue ke dinding, kedua tangannya menempel di dinding di sisi kepala gue.
Gue berusaha jaga ekspresi, tapi bohong banget kalau gue nggak panik.
"Salah sendiri sih," Teddy berbisik lagi, tapi kali ini lebih dekat, napasnya menyapu kulit leher gue.
Gue berusaha tetap cool.
"E-Eh, bentar... Bukannya lo impoten?" suara gue mulai gemetar.
Dan saat itu juga, Teddy menundukkan kepala, bibirnya nyaris menyentuh telinga gue.
"Siapa yang bilang gue impoten?"
DUNIA GUE RASANYA MAU MELEDAK. Gue langsung mendorong dadanya keras-keras.
"GUE KAGAK JADI BERKEBUN! LO SANA CEPET GANTI CELANA!"
Teddy malah ngakak. Sialan. Gue buru-buru melipir kabur dari kamar, tapi bisa gue denger suara tawa rendahnya yang jelas-jelas penuh kemenangan.
DASAR JENDERAL JAHANAM!
Gue masih gelisah. Tadi... itu beneran kejadian, kan? MILIKNYA BERDIRI.
Gue menggigit bibir, tatapan gue nyaris kosong saat duduk di sofa. Bukannya selama ini dia Impoten? Kalau nggak impoten lagi… Gawat. Nyawa dan perawanan gue bisa melayang sekejap mata! Gue mencuri pandang ke arah ranjang.
Teddy masih santai aja di sana. Dengan kaos oblong putih dan celana pendek, dia tiduran dengan satu tangan di belakang kepala.
Santai banget kayak nggak ada kejadian besar barusan. Sementara gue? Dada gue masih deg-degan! Kenapa lo kalem banget sih, Jenderal?!
Gue menyilangkan tangan di dada, berusaha berpikir jernih. Oke, mungkin tadi cuma kesalahan teknis. Mungkin... itu cuma reflek biasa? Nggak ada artinya?
Ya, ya, ya… Bodo amat. Gue bakal nganggep nggak ada yang terjadi!
Tapi, pas gue ngedip, Teddy malah menoleh ke gue dengan tatapan penuh arti.
"Kenapa, hm?"
Gue langsung tegak.
"Apaan?" Gue pura-pura bego.
"Dari tadi lo diem aja, tatapan lo kosong."
Gue langsung mengalihkan pandangan.
"Nggak ada. Gue cuma... kaget aja."
"Kaget kenapa?"
"Ya… ya karena lo bukan impoten lagi!"
Hening. Terus, Teddy ketawa. Sial, ketawanya bikin emosi!
"Hahaha… Jadi lo takut sekarang?"
Gue langsung mendelik.
"TAKUT PALA LO PEANG!"
Teddy masih ngakak. Sialan, gue nggak bisa tinggal diam.
"Denger ya, Jenderal," gue menunjuk dia dengan ekspresi waspada. "Kalau lo punya niat aneh-aneh, gue bakal lawan! Jangan main-main sama gue!"
Teddy menyeringai tajam.
"Hmm, lawan? Gue tunggu, Aira."
SIAL. KENAPA GUE MALAH NGASIH TANTANGAN KE DIA?!
Gue masih duduk di ujung sofa, bersikeras nggak mau naik ke ranjang.
Udah jam sebelas malam. Gue ngantuk banget. Tapi, waspada gue masih tinggi. Gue nggak berani sekasur sama pria yang baru aja mengkhianati status ‘impoten’-nya!
Teddy, yang sudah tiduran santai di ranjang, melirik gue dengan bosan.
"Aira, tidur."
Gue mendengus. "Tidur di sini juga bisa."
"Gue bilang, tidur di kasur."
"Lo pikir gue bego? Baru seminggu nikah, eh lo malah bikin kejutan serem gitu. Gue nggak percaya lo!" Gue berdecak kesal.
"Gue capek, oke? Gue nggak akan ngapa-ngapain lo," Teddy memijat pelipisnya.
"Janji?" Gue melipat tangan di dada, menatapnya curiga.
"Janji."
"Lo bakal jaga jarak?"
Teddy melirik gue santai. "Nggak janji."
GUE LANGSUNG MEMBANTING BANTAL KE DIA.
"ANJIR! DASAR MESUM!"
Teddy ketawa pelan sambil nangkis bantal yang gue lempar.
"Aira, tidur. Gue nggak bakal makanin lo, oke?"
"Lo pikir gue percaya?" Gue mendesis tajam.
"Mau lo percaya atau nggak, gue tetep bakal tidur. Terserah lo mau ikut tidur di sini atau mau pegal-pegal besok pagi." Teddy mengangkat bahu santai, lalu merebahkan diri tanpa dosa.
Gue mengumpat dalam hati. Sial, dilemanya gede banget!
Kalau gue tidur di sofa, besok badan gue bisa remuk. Tapi kalau gue tidur di kasur, gue takut kenapa-kenapa. Gue menatap ranjang itu penuh pertimbangan. Teddy sudah membalikkan badan, membelakangi gue, kayak nggak peduli.
Huft. Ya udahlah. Perlahan, gue bangkit dan naik ke kasur, tapi gue sengaja ngambil posisi di ujung banget, jauh dari Teddy.
Jaga jarak adalah kunci keselamatan. Gue menghela napas dan mencoba merilekskan diri. Nggak akan terjadi apa-apa.
Gue yakin. Tapi... pas gue hampir tidur, suara berat Teddy bikin mata gue melek lagi.
"Jangan mimpi aneh-aneh, Aira."
Gue langsung mencibir. "Nggak bakal, bego."
Gue pun memejamkan mata, mencoba tidur.
Tapi tetap, gue nggak lupa buat waspada.
.
.
.
Next 👉🏻
suka banget bahkan
ayo lanjut lagi.....
biar semakin seru.......