"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
...****************...
Arsen masih fokus memberikan susu pada Nathan, memastikan bayi itu tetap nyaman di pelukannya. Namun, dari sudut matanya, dia menyadari sesuatu.
Sienna masih membeku di tempatnya.
Matanya kosong, seperti masih berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Kemejanya masih terbuka, memperlihatkan sebelah dadanya yang tadi menjadi ‘korban’ hisapan Nathan.
Arsen menghela napas, lalu berkata dengan nada datar, “Tutup bajumu.”
Suara beratnya membuyarkan lamunanku.
Aku langsung tersadar, dan begitu melihat ke bawah—
Astaga!
Dengan cepat, aku menarik kemejaku kembali, menutup tubuhku dengan wajah panas menahan malu.
Sial! Aku sampai lupa!
Aku melirik Arsen yang masih terlihat tenang, seolah semua ini bukan masalah besar baginya.
Tapi bagiku? Ini gila.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, lalu menatap pria itu serius. “Kau harus menepati janji.”
Arsen menoleh sekilas. “Janji apa?”
Aku mendengus.
“Jadi sponsor tetap untuk mimpiku.”
Arsen diam beberapa detik, lalu mengangguk. “Tentu.”
Jawabannya sederhana, tapi cukup untuk membuatku sedikit lega.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku langsung membuka pintu mobil dan keluar, berjalan cepat menuju mobilku sendiri.
Aku butuh menjauh. Aku butuh napas.
Karena serius…
Baru kali ini dalam hidupku aku mengalami kejadian seabsurd ini.
Begitu duduk di dalam mobil, aku langsung mengacak rambutku sendiri, merasa frustrasi dengan semua yang baru saja terjadi.
Apa-apaan hari ini?
Aku masih bisa merasakan sensasi aneh di dadaku, bayangan tatapan datar Arsen, dan suara tangisan Nathan yang begitu nyaring di telingaku.
Tapi detik berikutnya, aku menarik napas dalam, lalu dengan gerakan centil, merapikan rambutku kembali.
“Oke, anggap aja gak pernah terjadi,” gumamku pelan, berusaha menghapus kejadian absurd ini dari kepalaku.
Tanpa pikir panjang, aku menginjak pedal gas, melajukan mobilku menyusuri jalanan sore yang mulai ramai. Tujuanku hanya satu: pulang ke apartemen, mandi air panas, lalu tidur…
Dan berharap besok pagi semuanya terasa seperti mimpi buruk belaka.
...****************...
Tentang Arsen.
Setelah memastikan Nathan tenang dalam pelukannya, Arsen menghela napas panjang.
“Jalan,” perintahnya singkat pada supirnya.
Mobil mulai melaju meninggalkan tempat parkir, menyusuri jalanan sore yang mulai dipenuhi kendaraan.
Arsen menatap lembut bayi kecil di pelukannya, mengusap kepalanya dengan hati-hati. Nathan hanya berusia tiga bulan, masih sangat kecil dan rapuh. Tatapan matanya polos, tidak mengerti betapa kacaunya hidup mereka sekarang.
Arsen mendesah, lalu menurunkan tangannya. Tapi kemudian matanya tertuju pada jari-jarinya sendiri—jari yang tadi sempat menyentuh kulit Sienna.
Sekilas, ia bisa mengingat sensasi lembut itu.
Ia langsung menggelengkan kepala, menghapus bayangan yang tidak perlu.
Fokus, Arsen.
Sienna hanya alat, seorang atlet yang kebetulan menarik perhatiannya karena ambisinya yang tinggi. Dia butuh sponsor, dan Arsen membutuhkannya untuk sesuatu yang lebih besar. Tidak ada hal lain.
Arsen Ludwig adalah pemilik sebuah agensi ternama, menaungi beberapa model terkenal, serta memiliki perusahaan yang menampung para desainer berbakat. Dalam dunia bisnis, namanya dihormati, disegani, dan bahkan ditakuti.
Di usia 37 tahun, dia memiliki segalanya—uang, kekuasaan, dan status.
Namun, satu hal yang tidak pernah ia miliki adalah ketenangan.
Dan sekarang, setelah kehadiran Nathan, hidupnya berubah sepenuhnya.
...****************...
Keesokan paginya, ponselku bergetar di atas nakas, memaksa mataku terbuka dengan berat. Dengan gerakan malas, aku meraih ponsel tanpa melihat layar dan menempelkannya ke telinga.
“Halo…” gumamku dengan suara serak.
“Sienna, datang sekarang. Latihan pagi ini jangan sampai telat,” suara Coach terdengar tegas seperti biasa.
Aku melirik jam di layar ponsel—baru jam enam pagi.
“Coach… ini masih terlalu pagi,” keluhku, suara masih setengah mengantuk.
“Pagi apa? Atlet profesional gak boleh malas,” balasnya tanpa ampun.
Aku mengembuskan napas pasrah. “Iya, iya, aku datang sebentar lagi.”
“Bagus. Aku tunggu di arena.”
Tanpa menunggu jawabanku, Coach langsung menutup telepon.
Aku mendesah, menatap langit-langit apartemenku. Masih terlalu pagi untuk menghadapi dunia. Tapi aku tahu, kalau aku tidak segera bangun, Coach bisa saja datang dan menyeretku langsung ke arena.
Dengan enggan, aku akhirnya bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi.
Latihan hari ini pasti akan terasa panjang.
Aku menyeret langkah menuju kamar mandi, masih setengah sadar. Begitu melihat wajahku di cermin, aku mengerang pelan.
Rambut berantakan. Mata sedikit bengkak. Dan…
Aku menatap dadaku yang terasa sedikit nyeri. Seketika bayangan kejadian semalam kembali memenuhi kepalaku.
Sial.
Aku buru-buru menggeleng, berusaha mengusir pikiran itu, lalu menyalakan air dan mencuci wajah.
Itu cuma kejadian absurd yang tidak akan terulang lagi. Fokus, Sienna.
Setelah mandi, aku mengenakan pakaian latihan—legging hitam dan kaus lengan panjang—lalu mengikat rambutku tinggi. Kuambil tas olahraga dan jaket tebal, lalu keluar apartemen menuju arena latihan.
Saat aku tiba di arena ice skating, suasana masih sepi. Beberapa staf sedang membersihkan es, dan Coach berdiri di dekat rink dengan tangan terlipat. Begitu melihatku, ia langsung mendengus.
“Kau telat.”
Aku mendengus balik. “Aku hanya lima menit lebih lambat dari biasanya.”
Coach menatapku tajam, lalu mengangguk ke arah rink. “Pemanasan sepuluh menit. Setelah itu, kita latihan kombinasi lompatan.”
Tanpa membantah, aku meluncur masuk ke atas es. Begitu sepatu pisau menyentuh permukaan dingin itu, aku mengembuskan napas lega.
Di sinilah tempatku.
Aku mulai bergerak, tubuhku mengikuti ritme yang sudah tertanam sejak kecil. Meluncur, memutar, melompat kecil—semuanya terasa natural.
Namun, di tengah-tengah latihan, pintu arena terbuka.
Aku tidak terlalu peduli, sampai kudengar suara berat yang sudah mulai kukenal.
“Sienna.”
Aku berhenti mendadak, hampir terpeleset.
Di sana, berdiri dengan jas mahalnya, adalah Arsen Ludwig.
Aku mengerjapkan mata, tak percaya.
Serius? Dia lagi?
.
.
.
Next 👉🏻