Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Renaya menunduk sejenak, matanya menatap tas baru yang tergeletak di pangkuannya, berusaha memilih kata-kata yang tepat. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa lama, ia berkata dengan suara pelan, "Selama ada tante Bella, aku nggak akan pernah bisa tinggal di rumah lagi, Pi. Aku harap Papi ngerti."
Arnold terdiam, menatap putrinya yang sekarang lebih dewasa dari sebelumnya. Dia tahu bahwa hubungan Renaya dan Bella tidak pernah berjalan mulus sejak pernikahan Arnold dengan Bella dua tahun lalu. Meskipun Bella berusaha bersikap baik, Renaya selalu merasa tersisih, merasa ada yang hilang sejak ibunya meninggal. Kehadiran Bella seolah mengubah segalanya, dan Renaya merasa sulit untuk menerima kehadiran wanita itu dalam hidupnya.
Arnold menghela napas panjang, rasa cemas dan frustrasi menyatu di dadanya. Bagaimana aku bisa membuat mereka berdua merasa bahagia? pikirnya. Sebagai seorang ayah, dia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Renaya, tetapi kenyataannya, dia tidak bisa memaksa putrinya untuk menerima Bella sebagai ibu tirinya.
"Aku mengerti, sayang," kata Arnold akhirnya, meskipun suara hatinya terasa berat. "Tapi kamu tahu, Papi ingin kamu merasa nyaman di rumah. Aku ingin kita tetap seperti dulu, seperti keluarga."
Renaya tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak sepenuhnya bisa menutupi kesedihan di matanya. "Aku tahu, Pi. Aku cuma... nggak bisa," jawabnya, lalu diam sejenak. "Aku... aku hanya butuh waktu."
Arnold mengangguk pelan, meskipun hatinya merasa berat. Dia tahu ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan cepat. Konflik batin putrinya bukan hanya soal rumah, tapi lebih dalam lagi, soal perasaan kehilangan dan ketidakmampuannya untuk menerima kenyataan bahwa hidupnya telah berubah.
"Aku harap suatu hari nanti kamu bisa menerima semuanya, sayang," Arnold berkata dengan suara lembut, berusaha meyakinkan dirinya sendiri juga. "Papi cuma ingin kamu bahagia."
Renaya menatap ayahnya, dan meskipun ada rasa sayang di matanya, dia tahu bahwa dia masih butuh waktu untuk bisa menerima Bella. Keputusan untuk tinggal di apartemen bukan hanya tentang kenyamanan, tetapi tentang menjaga jarak dari kenyataan yang tak bisa dia terima.
"Terima kasih, Pi," jawab Renaya akhirnya, suaranya sedikit lebih lembut, meski hatinya masih ragu. "Aku cuma butuh ruang."
Arnold menatap putrinya dengan rasa kasih sayang yang dalam, merasa berat melihatnya menjauh, tapi dia tahu ini adalah bagian dari proses yang harus dijalani oleh Renaya. "Papi selalu ada untuk kamu, Renaya. Kapan saja kamu butuh Papi, aku di sini."
Renaya melangkah keluar dari kantor Arnold dengan perasaan campur aduk. Sebelumnya, percakapannya dengan ayahnya terasa berat. Meski Arnold berusaha memahami dan menyayangi, Renaya tahu bahwa hubungan mereka tak akan pernah sama sejak kehadiran Bella. Dengan langkah cepat, dia menuju mobil, bertekad untuk pulang dan menenangkan diri sejenak di apartemennya. Sesampainya di sana, ia tidak menyangka bahwa Mario, yang biasa menunggu di apartemen, sudah ada di sana lebih dulu.
"Daddy sudah pulang?" Renaya bertanya sambil membuka pintu apartemen, suaranya sedikit ragu, tapi ada senyum di bibirnya begitu melihat Mario berdiri di ruang tengah, tampak seperti menunggu kedatangannya.
Mario, yang sedang duduk di sofa, bangkit dan segera mendekat, menyambut Renaya dengan ciuman singkat di bibirnya. "Dari mana kamu, sayang?" tanyanya, suaranya penuh perhatian, seakan ingin tahu apa yang terjadi sepanjang hari Renaya.
"Habis dari kantor Papi, ambil oleh-oleh dari Paris," jawab Renaya sambil menutup pintu, sedikit menghela napas. Dia merasa senang bisa pulang dan bertemu Mario, satu-satunya orang yang selama ini membuatnya merasa lebih baik. Tidak seperti di rumah yang penuh ketegangan, bersama Mario, Renaya merasa nyaman dan dihargai.
Mario tersenyum lebar, seolah puas dengan jawaban Renaya. "Kamu suka?" tanyanya dengan mata yang penuh perhatian, seolah ingin memastikan bahwa Renaya senang dengan tas yang diberikan ayahnya.
"Suka dong, Dad!" Renaya menjawab dengan antusias, senyum cerah menghiasi wajahnya. "Tas ini keren banget! Aku nggak nyangka Papi beliin aku tas seharga ini."
Mario menyentuh dagu Renaya dengan lembut, memperhatikan ekspresi putrinya yang bahagia. "Kalau begitu, bagaimana kalau besok kita ke Paris, kamu belanja sepuasnya?" tawarnya, suaranya terdengar menggoda, seolah memberikan tawaran yang tak bisa ditolak.
Renaya terkejut. Wajahnya langsung berubah dari yang semula ceria menjadi lebih serius. "Mana bisa semendadak itu, Dad," jawabnya sambil menggelengkan kepala. "Aku kuliah besok, banyak tugas dan kegiatan kampus. Nggak bisa ninggalin semua begitu aja."
Mario mendekat, meletakkan tangan di bahu Renaya, mencoba menenangkan putrinya. "Jangan khawatir soal itu, sayang. Semua bisa diatur. Lagipula, siapa tahu kamu bisa lebih fokus dan lebih bahagia setelah mendapatkan sesuatu yang kamu inginkan."
“Gimana ya, Dad?” Renaya malah seperti orang bingung.
Mario memandang Renaya dengan tatapan penuh pengertian, namun ada sedikit godaan di matanya. "Renaya, kamu sudah dewasa. Kamu tahu apa yang terbaik untuk dirimu sendiri," jawabnya, memberi kebebasan untuk putrinya memilih. "Tapi ingat, hidup ini juga tentang kesenangan. Kamu nggak perlu merasa tertekan. Kalau kamu butuh waktu untuk dirimu sendiri, aku akan selalu ada."
Renaya menatap Mario sejenak, merenung. Meskipun dia sangat menginginkan liburan mewah itu, hatinya berkata lain. Dia tahu betul, meskipun Mario sangat memanjakan dan memberinya semua yang dia inginkan, ada harga yang harus dibayar. Keputusan untuk semakin dekat dengan Mario bukan tanpa konsekuensi.
Setelah beberapa saat terdiam, Renaya akhirnya berbicara, "Aku tahu, Dad. Tapi aku... aku nggak bisa begitu saja meninggalkan tanggung jawabku. Apalagi Papi sudah berharap banyak padaku."
Mario menghela napas, tampaknya memahami keputusan Renaya. "Baiklah, sayang," katanya dengan suara lebih lembut. "Aku cuma ingin kamu bahagia. Kalau kamu butuh waktu untuk diri sendiri, kamu tahu aku selalu siap memberikannya."
Renaya menyandarkan kepalanya di dada Mario, merasakan kenyamanan yang hanya bisa diberikan oleh orang yang benar-benar mengerti dirinya. Meskipun Mario memiliki cara hidup yang berbeda dan terkadang kontroversial, dia selalu ada untuknya, mendukungnya dalam segala hal. Kadang, dunia di luar terasa berat, tetapi di sini, di samping Mario, dia merasa bisa bernapas lega.
"Aku tahu, Dad," Renaya berkata pelan. "Terima kasih, karena selalu ada untuk aku."
"Selalu, sayang," jawab Mario dengan lembut, menepuk punggung Renaya. "Aku nggak akan pergi ke mana-mana."
Renaya lalu mencium bibir Mario dengan lembut, “Daddy kenapa bau?” tanya Renaya,
“Daddy baru pulang, sayang, belum sempat mandi,” jawab Mario, “Mandi bareng?”
“Ayo, Dad!” seru Renaya bersemangat.
“Tunggu disini! Daddy siapkan dulu tempatnya!” perintah Mario.
Mario menyiapkan bathup dengan air hangat, menambahkan sedikit aroma lavender yang menenangkan. Udara di sekitar kamar mandi menjadi lebih segar, berbau lembut dan menenangkan. Suasana di ruangan itu terasa lebih nyaman dan relaks, seperti sebuah tempat untuk melepaskan penat setelah hari yang panjang. Keduanya lalu bermadu kasih di dalam sana.
“Sayang, kalau Daddy punya satu permintaan, apa kamu mau menurutinya?” tanya Mario sambil mengusap lembut pipi Renaya yang tengah duduk diatas tubuhnya, merasakan miliknya tengah terasa hangat di dalam sarangnya.
“Apa itu, Dad?”
“Jangan temui keluargamu lagi, termasuk papi kamu juga Bella.”
jadi wajib baca dan masuk rak.