"3 tahun! Aku janji 3 tahun! Aku balik lagi ke sini! Kamu mau kan nunggu aku?" Dia yang pergi di semester pertama SMP.
***
Hari ini adalah tahun ke 3 yang Dani janjikan. Bodohnya aku, malah masih tetap menunggu.
"Dani sekolah di SMK UNIVERSAL."
3 tahun yang Dani janjikan, tidak ditepatinya. Dia memintaku untuk menunggu lagi hingga 8 tahun lamanya. Namun, saat pertemuan itu terjadi.
"Geheugenopname."
"Bahasa apa? Aku ga ngerti," tanyaku.
"Bahasa Belanda." Dia pergi setelah mengucapkan dua kata tersebut.
"Artinya apa?!" tanyaku lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Sebuah mobil hitam parkir di depan rumah nenek Arzio. Mencuri perhatian kami yang baru keluar dari ruang rahasia bawah tanah.
"Siapa?" tanyaku.
"Nyokap sama bokap gue," jawab Arzio malas. "Nenek bilang aku di sini?"
"Iya. Mereka udah lama ga ketemu kamu," jawab nenek.
Maksudnya?
"Jiooo!" Teriakan itu membuat kami menoleh pada seorang wanita paruh baya dengan pakaian rapih berjas putih. Rambut hitam lurus tergerai membuat wanita itu tampak sangat muda.
Arzio yang beberapa menit lalu tersenyum dan tertawa bersama kami, tiba-tiba mendadak bermuka masam. Ia tampak tak suka akan kehadiran orang tuanya.
Wanita berjas putih itu berlari dan memeluk Arzio di hadapan kami semua. "Udah besar ternyata anak Mama. Udah jadi anak SMA sekarang," ucapnya sembari menggenggam erat kedua bahu Arzio.
Pria berbaju ala chef keluar dari mobil, aku rasa itu adalah papa Arzio yang dia ceritakan bekerja sebagai chef di sebuah hotel bintang 5. Arzio tidak berbohong mengenai orang tuanya.
"Ini temen sekolahnya Jio ya?" tanya mama Arzio.
"Iya, Tante," jawab kami pelan sambil sedikit membungkuk.
Aku mengawali perkenalan tersebut dengan menyalaminya dan mencium punggung tangan mama Arzio.
"Semoga jadi anak yang baik ya? Ini siapa namanya?" tanya Mama Arzio tanpa melepaskan genggaman tanganku.
"Arlita, Tante," jawabku pelan.
"Arlita? Mirip sama Jio namanya Arlita Arzio," balasnya.
"Jodoh, Tante," celetuk Rina membuat kami menoleh.
"Hah?! Ini pacarnya Jio? Kamu pacar Jio?" tanya Mama Arzio tampak sangat bersemangat.
"Bu—bukan Tante! Kita temen sekelas doang," bantahku.
Kami juga menyalami papa Arzio yang pendiam. Aura tegas terpampang di wajahnya. Ada juga seorang pria dewasa di hadpaan kami. Aku juga menyalaminya.
"Erdio. Panggil aja Dio. Abangnya Jio," ucap pria itu tersenyum ramah padaku.
Arzio memaksa genggaman tangan kami untuk terlepas. Matanya menatap tidak suka pada abangnya itu. Bang Dio malah tertawa melihat tingkah sang adik.
"Udah, Dio! Ingat Loli. Masih aja suka godain pacar adeknya," omel mama Arzio.
"Eh!" bantahku sambil menggeleng.
"Dih, pacaran juga ga apa-apa. Biar Jio semangat sekolahnya. Kalo ga punya pacar, dia ga mau sekolah soalnya," balas Mama Arzio sambil terkekeh.
"Sok tau," celetuk Arzio berlalu ke dalam rumah sang nenek.
Pertemuan itu berlangsung sangat canggung. Aku tidak akan menceritakan bagian ini. Sebab Arzio benar-benar menjadi pendiam dan aku bingung harus mendeskripsikan kejadiannya. Dia melakukan hal yang sama seperti dulu yang Dani lakukan terhadap papa dan mamanya.
Dia selalu menyangkal semua yang mereka katakan. Dia juga selalu bertingkah kasar jika ada yang mengejek atau menggodaku. Padahal itu keluarganya sendiri. Meski respon keluarga Arzio tidak sama seperti keluarga Dani yang langsung menyalahkanku atas semua perbuatan anak mereka. Keluarga Dani juga mencaci maki ibuku di saat itu.
Sangat berbeda dengan keluarga Arzio yang selalu tertawa dan mengajakku untuk berinteraksi, tapi melihat respon Arzio yang bertingkah persis seperti Dani di waktu dulu, hal itu membuatku merasa tidak betah dan tidak nyaman berada di sana.
Jujur saja, aku takut dihina lagi. Aku takut mama Arzio meneriakiku seperti yang mama Dani lakukan ketika anaknya membantah. Aku takut disalahkan atas semua tingkah anak mereka. Aku takut ibuku menangis lagi. Aku takut ibu depresi lagi. Meski begitu, aku masih menunggu Dani hingga ia kembali. Entah apa yang ada di otakku. Aku juga tidak mengerti.
***
Sepulang dari rumah nenek Arzio. Aku dimarahi ibu. Karena aku sampai di rumah pada jam 7 malam. Rasanya lelah sekali. Aku sampai ketiduran.
Saat aku terbangun, aku melihat ponsel yang tergeletak di atas meja, ternyata ponsel Arzio masih aku bawa, dan tertulis di layarnya,
[13 Panggilan tak terjawab dari Ramadhani]
Aku langsung mengirim pesan untuknya. "Aku ketiduran. Capek banget," tulisku pada pesan tersebut.
Namun, centangnya cuma satu abu-abu, itu pertanda sudah tidak aktif lagi dan aku kembali tidur.
***
Pagi ini, aku sampai di sekolah dan kami mempresentasikan hasil tugas kelompok tata boga. Rina selalu bisa diandalkan dalam tugas sejenis ini. Dia memang aktif jika dijadikan moderator, ketua kelompok, ide kreatif, desain dan lain-lainnya. Semua orang yang berada di kelas menatap tak percaya akan apa yang kami presentasikan.
Sebagai bukti bahwa resep masakan kami berhasil adalah kami tambahkan rekaman video mulai dari kami memasak dan mengemas masakan tersebut. Kami juga membagikan makanan tersebut di jalanan kepada siapa saja yang mau menerimanya.
Nilai sempurna kami dapatkan. Tentunya nilai itu tidak akan kami dapatkan tanpa anak seorang chef, yakni Arzio.
***
Sungguh di luar dugaan. Sebab nilai 100 di tugas tata boga hari kemarin, Arzio mengajak kami ke rumah neneknya lagi. Tapi kali ini di hari Minggu.
Sayangnya, aku datang terlambat sebab harus membantu ibu untuk berbelanja kebutuhan selama seminggu di pasar tradisional. Aku juga tidak sempat mengecek ponsel. Mungkin Dani sudah mengirimi banyak pesan lagi hari ini.
Sesampainya aku di rumah nenek Arzio, keluarganya kembali berkumpul. Aku tak mengerti, keluarga mereka sangat suka berkumpul, tapi bisa aku pastikan bahwa Arzio tidak suka kegiatan itu.
Aku juga merasa tidak nyaman, ternyata semua orang sudah selesai makan. Papa Arzio yang pendiam, langsung bangkit dari duduknya begitu melihatku. Beliau bersiap memasak untukku.
"Ga usah, Om. Ga apa-apa kok. Ngobrol aja sini!" ucapku menahan pria paruh baya itu menuju dapur.
"Kenapa?" tanya papa Arzio dengan suara yang sangat berat.
Itu cukup mengejutkanku sebab terdengar seperti suara para penculik yang biasa aku tonton di televisi.
"Hm, aku ga enak aja ngerepotin," jawabku.
"Udah, Lita, ngumpul aja bareng yang lain. Udah tradisi di sini, kalo makanan habis dan ada tamu, ya wajib dimasakin lagi dong. Masa tamunya ga dikasih makan. Ga sopan kalo tamu datang ga dikasih makan." Mama Arzio merangkulku untuk menuju meja makan.
"Tapi aku yang ga nyaman kalo diperlakukan kayak gini, Tante. Soalnya aku ga pernah diginiin," balasku.
"Ya udah, kalo lo ga nyaman, mending sini bantuin gue masak bareng bokap gue," ucap Arzio yang muncul entah dari mana.
"Nah iya! Aku bantuin aja ya, Tante? Biar aku ga kepikiran," ucapku.
"Tapi, masa tamu bantuin masak, ga boleh loh!"
"Ga apa-apa, Tante. Emang akunya yang mau." Aku melepas rangkulan Mama Arzio secara perlahan dan membungkuk padanya.
Dengan cepat aku menarik Arzio, namun kini dia yang menarikku dengan alis naik sebelah. "Dapurnya sebelah sini." Aku salah arah.
***
Selama memasak, Papa Arzio sangat sibuk di dapur. Kami malah tidak disuruh melakukan apapun. Katanya kalau Arzio bantuin, malah bikin kacau dapur. Jadi kami hanya duduk di kursi yang tampak seperti bar mini.
"Apa gue bantuin nyuci piring aja ya? Gue ga enak cuma ngeliatin doang," bisikku pada Arzio.
"Duduk aja di sini. Kalo lo nyuci piring, yang ada ntar gue yang dimarahin," bantah Arzio.
"Gue kira bantuin, malah cuma nontonin." Kalimat itu membuat kami menoleh. Rupanya pemilik suara tersebut adalah Bang Dio dan pacarnya.
"Lo ngapain sih ke sini juga? Ganggu!" omel Arzio. Wajahnya tampak benar-benar kesal.
"Loli mau videoin papa masak," jawab Bang Dio.
Mendengar hal itu, aku juga mau mengabadikan momen tersebut. Kapan lagi aku bisa melihat chef hotel bintang lima masak di depan mata kepalaku sendiri? Ini kesempatan langka. Aku harus merekamnya.
"Aku juga mau ah!" ucapku mengeluarkan ponsel dan mendekati papa Arzio. Meski dengan jarak yang agak jauh, aku merekamnya.
Menakjubkan, itu yang bisa mendeskripsikan cara papa Arzio memasak. Di tengah aku sedang asik merekam, tiba-tiba api menyembur di atas wajan.
"Aarghh!" teriakku terkejut dan bersandar pada Arzio yang berdiri di belakangku.
Mata kami bertemu.
Arzio mendekatkan wajahnya ke sampingku. "Lain kali kalo kaget, langsung meluk aja. Jangan cuma teriak," bisiknya.
Kudorong dia menjauh sekuat tenaga. Dia malah tertawa melihat wajah kesalku. Aku beralih pada ponsel yang merekam. Tak kuhiraukan tawa Arzio yang tak berhenti sedari tadi.
Baru aku sadari papa Arzio, Bang Dio dan Kak Loli menatap heran pada pria yang sedang ngakak tersebut. Aku tak tahu apa yang terjadi pada mereka. Kenapa harus seheran itu melihat Arzio yang tertawa?