Tomo adalah seorang anak yang penuh dengan imajinasi liar dan semangat tinggi. Setiap hari baginya adalah petualangan yang seru, dari sekadar menjalankan tugas sederhana seperti membeli susu hingga bersaing dalam lomba makan yang konyol bersama teman-temannya di sekolah. Tomo sering kali terjebak dalam situasi yang penuh komedi, namun dari setiap kekacauan yang ia alami, selalu ada pelajaran kehidupan yang berharga. Di sekolah, Tomo bersama teman-temannya seperti Sari, Arif, dan Lina, terlibat dalam berbagai aktivitas yang mengundang tawa. Mulai dari pelajaran matematika yang membosankan hingga pelajaran seni yang penuh warna, mereka selalu berhasil membuat suasana kelas menjadi hidup dengan kekonyolan dan kreativitas yang absurd. Meski sering kali terlihat ceroboh dan kekanak-kanakan, Tomo dan teman-temannya selalu menunjukkan bagaimana persahabatan dan kebahagiaan kecil bisa membuat hidup lebih berwarna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Operasi Rahasia: Menangkap Hantu Kelas!!!!
Pagi Hari di Sekolah
Matahari pagi bersinar terang di atas langit biru sekolah SD Harapan Jaya. Burung-burung berkicau riang, sementara beberapa anak-anak berlarian di halaman sekolah, menikmati permainan sebelum bel pertama berbunyi. Suasana sekolah tampak biasa dan penuh semangat, namun di dalam salah satu kelas, suasananya sangat berbeda.
Tomo dan teman-temannya—Sari, Arif, dan Lina—duduk di bangku kelas dengan ekspresi serius, seolah-olah sedang memikirkan strategi besar. Meja mereka dikelilingi oleh kertas-kertas coretan yang penuh dengan sketsa-sketsa aneh. Ada gambar hantu dengan ekor melayang, beberapa diagram peta sekolah, dan tanda panah yang mengarah ke berbagai sudut gelap.
"Aku dengar dari anak kelas sebelah," kata Tomo pelan sambil menatap teman-temannya dengan sorot mata penuh teka-teki, "kalau ada hantu yang berkeliaran di sekolah ini setiap malam."
Sari menatap Tomo dengan mata lebar. "Serius, Tomo? Kamu yakin itu bukan cuma cerita buat nakut-nakutin?"
"Serius, Sari!" jawab Tomo sambil menekankan setiap kata. "Katanya, setiap malam ada suara-suara aneh dari lantai atas gedung ini. Dan yang lebih parah, menurut kabar, ada yang pernah melihat bayangan putih melayang di koridor."
Arif menyandarkan dagunya di tangan, berpura-pura serius. "Hmmm... sepertinya kita harus menjalankan misi penyelidikan. Kalau beneran ada hantu, kita bisa jadi detektif terkenal! Bayangkan, 'Tim Hantu SD Harapan Jaya'! Kita bakal lebih terkenal dari Scooby-Doo!"
Lina yang sedang mendengarkan dari samping mulai berkomentar, "Tapi kita nggak punya anjing seperti Scooby-Doo, Arif. Jadi, mungkin kita butuh sesuatu yang lain. Misalnya... kucing. Ya, kucing bisa mendeteksi hal-hal aneh, kan?"
Tomo tertawa pelan. "Lina, kalau kita bawa kucing ke sekolah, yang ada dia bakal lebih tertarik ngejar cicak daripada nangkap hantu."
Operasi Dimulai
Bel masuk sekolah berbunyi, menandakan dimulainya pelajaran pertama. Meskipun begitu, pikiran Tomo dan teman-temannya tidak sepenuhnya terfokus pada materi pelajaran. Mereka terlalu sibuk merencanakan "Operasi Penangkapan Hantu" yang akan mereka lakukan nanti sore, setelah jam sekolah usai.
Saat pelajaran matematika sedang berlangsung, Tomo dan Arif diam-diam menggambar skema rencana mereka di bawah meja. Mereka menggambar denah sekolah dengan hati-hati, menunjukkan letak koridor gelap, tangga yang berderit, dan ruang kelas yang paling sering dikabarkan sebagai sarang hantu.
"Lina," bisik Arif dengan pelan. "Kamu bawa senter, kan? Kita nggak bisa ngandalkan cahaya dari HP Tomo, baterainya selalu habis setengah jalan."
Lina mengangguk dengan yakin. "Tentu! Aku bawa senter dari rumah yang super terang. Kita bisa nyorot hantu dari jauh biar nggak kaget kalau tiba-tiba dia muncul."
Sari yang duduk di samping mereka menatap dengan cemas. "Tapi... gimana kalau hantunya beneran muncul? Kita nggak tahu apa yang bakal dia lakukan."
Tomo tersenyum percaya diri. "Jangan khawatir, Sari. Kalau hantunya muncul, kita tinggal pura-pura jadi pohon atau patung. Hantu nggak bakal sadar kita ada di situ."
Seluruh teman-temannya tertawa pelan, meski jelas ada sedikit rasa takut yang tersembunyi di balik lelucon itu.
Sore Hari - Penyelidikan Dimulai
Setelah sekolah usai, Tim Hantu SD Harapan Jaya berkumpul di belakang gedung sekolah. Langit mulai berubah warna menjadi oranye kemerahan, dan bayangan gedung-gedung sekolah terlihat semakin panjang dan menyeramkan. Koridor-koridor yang tadinya dipenuhi suara anak-anak kini sepi dan sunyi.
"Kita harus hati-hati," kata Tomo sambil memimpin kelompoknya menuju tangga yang menuju ke lantai atas. "Menurut rumor, hantu itu sering muncul di sekitar lantai dua, dekat gudang sekolah."
Lina memegang senter dengan tangan gemetar, sementara Sari terus melihat ke kiri dan ke kanan dengan waspada. Arif, di sisi lain, memegang "peralatan darurat" yang mereka buat—tali, pita kuning seperti yang dipakai polisi, dan sebuah tas berisi keripik untuk berjaga-jaga kalau mereka lapar di tengah jalan.
Saat mereka berjalan menaiki tangga, suara berderit dari lantai kayu tua membuat mereka semua berhenti sejenak. Tomo mengangkat tangannya memberi isyarat agar mereka tetap tenang.
"Jangan khawatir," bisik Tomo dengan nada penuh kepastian. "Itu cuma suara kayu tua. Nggak ada hantu di sini. Atau... mungkin kayunya dihantui?"
Mereka semua tertawa kecil, meski tawa itu terdengar gugup.
Saat tiba di lantai dua, koridor di depan mereka terlihat panjang dan gelap. Hanya ada satu jendela kecil yang membiarkan sedikit cahaya matahari sore masuk, memberikan bayangan aneh di lantai.
"Sari, Lina, kalian maju dulu," kata Tomo sambil mendorong mereka ke depan dengan lembut. "Aku bakal menutup bagian belakang. Kalau ada hantu yang datang, aku yang bakal melindungi kalian!"
"Ya ampun, Tomo," jawab Lina sambil tertawa. "Kalau kamu takut, bilang aja. Nggak usah pake alasan jadi pahlawan."
Tomo pura-pura memasang wajah pahlawan super, berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang. "Hei, aku cuma berusaha melindungi kalian dari bahaya yang tidak terduga. Ini tugas berat, tahu!"
Pertemuan dengan "Hantu"
Saat mereka melangkah lebih jauh ke dalam koridor, tiba-tiba terdengar suara aneh dari gudang di ujung koridor. Suara itu terdengar seperti gesekan benda logam, dan semua anak berhenti berjalan dengan tiba-tiba. Lina segera menyalakan senternya dan mengarahkan cahayanya ke arah gudang.
"A-ada sesuatu di sana," kata Sari dengan suara bergetar.
Arif menelan ludah dengan keras. "Apa kita... apa kita beneran harus mendekat?"
Tomo mengangkat alis. "Tentu saja! Kita ini detektif! Hantu nggak bisa kabur begitu saja dari kita."
Mereka melangkah lebih dekat, jantung mereka berdetak semakin kencang. Semakin dekat mereka ke pintu gudang, semakin keras suara gesekan itu terdengar. Tomo menoleh ke teman-temannya dan mengangguk, memberi tanda untuk bersiap-siap.
"Hitungan ketiga," bisik Tomo. "Kita buka pintunya. Satu... dua... tiga!"
Pintu gudang terbuka dengan keras, dan cahaya senter Lina langsung menyinari sesuatu yang besar di dalamnya. Tapi alih-alih hantu, yang mereka lihat adalah...
Seekor kucing besar sedang bermain dengan sebuah kaleng kosong, mendorongnya ke sana kemari dengan cakarnya.
Semua anak langsung terdiam, saling memandang satu sama lain, sebelum akhirnya meledak dalam tawa.
"S-selama ini, hantu yang kita cari... ternyata cuma kucing!" kata Lina sambil terjatuh ke lantai, tertawa terpingkal-pingkal.
Tomo mengusap wajahnya sambil tertawa. "Lihat! Kucing memang bisa jadi detektif hantu. Kita seharusnya bawa dia dari awal!"
Arif yang masih tertawa sambil memegang perutnya berkata, "Jadi selama ini, kita udah ketakutan cuma karena kucing main kaleng?!"
Mereka tertawa bersama-sama, lega karena ternyata "hantu" yang mereka cari hanyalah seekor kucing yang bosan. Mereka merasa konyol, tetapi pada saat yang sama bangga karena telah menjalankan operasi mereka hingga tuntas.
"Yah, setidaknya kita punya cerita seru buat dibagi besok," kata Sari sambil berdiri. "Tapi tolong, jangan bilang kita ditakut-takuti sama kucing!"
Tomo mengangkat tangan. "Rahasia detektif! Apa yang terjadi di sini, tetap di sini!"
Mereka semua tertawa sekali lagi dan memutuskan untuk meninggalkan lantai dua, sementara kucing besar itu terus bermain dengan kalengnya di dalam gudang, tidak terganggu oleh apa pun.
Setelah Bertemu Kucing
Setelah mereka menemukan bahwa hantu yang mereka takuti ternyata hanyalah seekor kucing besar yang bermain dengan kaleng kosong, tawa mereka belum juga mereda. Tetapi suasana masih sedikit tegang—bagaimana pun, mereka masih di lantai dua gedung sekolah yang terkenal angker.
Tomo menepuk bahu Arif sambil berbisik, “Lain kali kita bawa kucing aja ke mana-mana. Mereka kayak radar hantu. Kalau kucingnya nggak takut, berarti nggak ada hantu.”
Arif tertawa, “Kalau begitu, kita bawa tiga kucing. Satu buat di depan, satu buat di belakang, dan satu buat tengah-tengah.”
Sari tertawa kecil, tetapi kemudian dia terdiam sejenak, matanya menyipit, memperhatikan sesuatu di sudut ruangan gudang. “Eh… teman-teman, kalian lihat itu nggak?” Suaranya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit cemas.
Lina menyalakan senter lagi dan mengarahkannya ke arah yang ditunjuk oleh Sari. Di sana, di sudut ruangan yang gelap dan berdebu, tampak ada sebuah lemari kayu tua yang terlihat sangat tidak terurus. Pintu lemari itu sedikit terbuka, dan dari celahnya, ada sesuatu yang sepertinya mengintip keluar.
“K-kalian lihat itu?” Lina bertanya sambil bergidik. “Apa itu?”
Arif mendekatkan wajahnya ke lemari itu, lalu berkata dengan nada sok berani, “Mungkin cuma debu. Atau mungkin… itu mata hantu!”
Tiba-tiba, terdengar suara keras dari dalam lemari. Semua anak terlonjak mundur, wajah mereka pucat seketika. Tomo segera mengambil posisi di belakang yang lain sambil berkata, “Oke, oke… mungkin kita udah ketemu hantu beneran kali ini.”
“Siapa yang mau buka lemari itu?” tanya Lina dengan suara gemetar.
Sari menggelengkan kepala dengan cepat. “Jangan lihat aku! Aku nggak berani!”
Arif menelan ludah. “Oke… aku bakal buka. Tapi kalian siap-siap buat lari kalau tiba-tiba keluar sesuatu, ya?”
Dengan perlahan, Arif mengulurkan tangan dan meraih gagang lemari. Semua anak-anak menahan napas saat dia menarik pintu lemari sedikit lebih lebar. Suara berderit yang keras terdengar, menambah ketegangan yang sudah memuncak. Dan ketika pintu lemari terbuka sepenuhnya...
“JEGERRR!!!” Tomo tiba-tiba berteriak kencang sambil melompat dari belakang, membuat semua anak terlonjak kaget dan berteriak keras.
“WAAA!!!” Lina hampir menjatuhkan senternya, Sari jatuh terduduk di lantai, dan Arif memegang dadanya sambil menatap Tomo dengan marah.
“TOMOOO!!!” mereka semua berseru serentak, “Kamu bikin kita hampir kena serangan jantung!!”
Tomo tertawa terbahak-bahak hingga menitikkan air mata. “Kalian lihat wajah kalian barusan! Kalian kayak liat kuntilanak muncul di depan muka!”
Sari berdiri dan menepuk debu dari roknya dengan wajah masih kesal. “Tomo, kalau kamu bikin kita ketakutan lagi, kita bakal biarin kamu sendiri di sini buat nangkep hantunya.”
“Setuju!” kata Lina sambil melipat tangan di depan dada.
Arif masih memegangi dadanya, wajahnya masih sedikit pucat. “Tomo, sumpah, aku kira beneran ada hantu keluar tadi. Jangan bikin aku tua sebelum waktunya, dong.”
Tomo mengangkat tangan, pura-pura minta ampun. “Oke, oke, maaf! Tapi serius, kalian bener-bener kocak kalau lagi ketakutan. Aku harus bawa kamera lain kali.”
Sari memelototi Tomo, tapi akhirnya dia ikut tertawa kecil. “Baiklah, kamu menang kali ini. Tapi ingat, kita masih punya misi buat diselesaikan.”
Menyusuri Lantai Dua
Setelah ketegangan dan tawa reda, mereka memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan. Koridor di lantai dua masih terasa mencekam, meski mereka sudah lebih tenang setelah "penemuan" kucing tadi. Mereka terus berjalan, kali ini lebih hati-hati. Setiap suara kecil, seperti lantai berderit atau angin yang berhembus melalui celah-celah jendela, membuat mereka berhenti sejenak.
“Lina, kamu tahu nggak?” kata Tomo tiba-tiba, “Aku rasa kita bisa bikin tim detektif beneran. Bayangin aja, kita selidiki tempat-tempat angker dan misterius tiap hari. Kita bakal jadi legenda sekolah!”
“Legendaris,” kata Lina sambil tersenyum, “kecuali kalau kita ketemu hantu beneran, terus kabur kayak kucing tadi.”
Arif menambahkan sambil tertawa kecil, “Atau malah kita yang dikejar sama hantu-hantu itu. Lari-larian di koridor sekolah tiap malam.”
Sari tertawa tapi lalu menyikut Arif pelan, “Eh, jangan ngomong gitu. Ntar beneran ada yang datang, loh.”
Saat mereka mendekati ujung koridor, sesuatu menarik perhatian mereka. Di pintu ruangan kosong di sebelah kanan, ada tanda "Dilarang Masuk" yang tampak baru dipasang. Pintu itu terlihat berbeda dari yang lain, sedikit terbuka, dan dari celah pintunya keluar bau aneh seperti... campuran antara karat dan minyak mesin.
“Apa itu?” tanya Sari dengan suara pelan. “Kok baunya aneh banget.”
“Aku tahu bau ini,” kata Arif sambil mengendus udara, “Kayak bau bengkel motor. Tapi kenapa di sekolah ada bau kayak gitu?”
Tomo mendekat ke pintu dan mengintip ke dalam. “Mungkin... mungkin ini ruang penyimpanan alat-alat sekolah. Bisa aja ada barang-barang yang rusak.”
Lina menyinari celah pintu itu dengan senternya. “Harusnya kita cek. Siapa tahu ada sesuatu yang menarik.”
Dengan hati-hati, mereka membuka pintu itu lebih lebar dan melangkah masuk ke dalam. Ruangannya gelap, dengan hanya sedikit cahaya dari senter Lina yang membuat bayangan panjang di dinding. Rak-rak penuh dengan benda-benda tua dan berkarat. Di salah satu sudut, mereka melihat mesin besar yang sudah lama tak terpakai, ditutupi debu dan jaring laba-laba.
“Wow, tempat ini kayak gudang rahasia,” gumam Tomo sambil melangkah lebih dalam ke ruangan.
Tiba-tiba, terdengar suara gemerisik dari arah mesin tua itu. Semuanya langsung berhenti bergerak, tubuh mereka menegang.
“Dengar itu?” bisik Sari dengan suara hampir tidak terdengar. “Itu pasti bukan kucing lagi, kan?”
Lina menyalakan senternya lebih terang dan mengarahkannya ke arah mesin itu. Perlahan-lahan, dari balik mesin besar yang berkarat, sesuatu bergerak keluar. Mereka semua mundur dengan cepat, jantung mereka berdetak kencang.
Dan kemudian, muncul... seekor tikus besar yang tampak sangat gemuk, berjalan perlahan di antara benda-benda tua.
Tomo menatap tikus itu dengan ekspresi bingung. “Hah... ternyata ini tikus. Kukira kita bakal ketemu mumi sekolah atau semacamnya.”
Arif tertawa terbahak-bahak. “Tikus gemuk! Lihat itu, dia lebih besar dari bola sepak kita!”
Lina menggeleng-geleng sambil tertawa kecil. “Jadi... hantu, kucing, dan sekarang tikus? Apa lagi selanjutnya, dinosaurus yang hilang?”
Tikus itu perlahan berjalan keluar ruangan tanpa menggubris kehadiran mereka. Mereka hanya bisa menatap kepergian tikus itu sambil tertawa geli, merasa konyol karena sudah begitu tegang sebelumnya.
Kesimpulan Penyelidikan
Setelah beberapa menit berkeliling di lantai dua, mereka memutuskan bahwa tidak ada lagi yang menarik untuk ditemukan. Dengan lega, mereka berjalan menuruni tangga menuju lantai pertama.
“Ternyata rumor soal hantu di sekolah ini cuma cerita kosong,” kata Tomo sambil tersenyum lebar. “Cuma kucing, tikus, dan mesin tua yang berkarat.”
Arif mengangguk setuju. “Tapi tetap aja, seru banget. Kita bisa cerita ini ke teman-teman, dan mungkin mereka bakal ikut kita buat nyelidikin tempat angker lainnya.”
Sari tersenyum sambil menghela napas lega. “Aku nggak nyangka kita bisa ketakutan cuma karena hal-hal sepele kayak tadi.”
Lina menambahkan sambil tertawa kecil. “Yah, setidaknya kita udah berani buat nyelidikin. Itu udah cukup keren