Di tengah hiruk pikuk dunia persilatan. Sekte aliran hitam semakin gencar ingin menaklukkan berbagai sekte aliran putih guna menguasai dunia persilatan. Setiap yang dilakukan pasti ada tujuan.
Ada warisan kitab dari nenek moyang mereka yang sekarang diperebutkan oleh semua para pendekar demi meningkatkan kekuatan.
Di sebuah desa kecil, hiduplah seorang anak yang masih berusia 7 tahun. Dia menjadi saksi bisu kejahatan para pemberontak dari sekte aliran hitam yang membantai habis semua penduduk desa termasuk kedua orang tuannya.
Anak kecil yang sama sekali tidak tau apa apa, harus jadi yatim piatu sejak dini. Belum lagi sepanjang hidupnya mengalami banyak penindasan dari orang-orang.
Jika hanya menggantungkan diri dengan nasib, dia mungkin akan menjadi sosok yang dianggap sampah oleh orang lain.
Demi mengangkat harkat dan martabatnya serta menuntut balas atas kematian orang tuanya, apakah dia harus tetap menunggu sebuah keajaiban? atau menjemput keajaiban itu sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aleta. shy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bai Feng
Yuan terpaku dengan cara berlari orang yang menggendongnya ini. Anak kecil itu merasa takjub.
Tidak pernah menyangka jika dunia ini dipenuhi hal-hal yang diluar nalar nya.
Padahal kekaguman terhadap Tetua Chow belum sepenuhnya hilang. Bagaimana melihat pamannya itu mampu mengimbangi para pemberontak walaupun di keroyok.
"Ini luar biasa"
"Apakah semua orang bisa begini"
"Ah tidak"
"Tapi ayah dan ibu tidak pernah menunjukkan hal yang luar biasa seperti ini kepadaku"
Yuan bergelut dengan pikirannya sendiri. Pohon demi pohon telah di lewati. Tidak seperti orang biasa pada umumnya. Orang yang menggendongnya ini malah memanfaatkan pohon sebagai pijakan untuk menuju pohon lainnya.
Hampir seperti terbang
"Orang ini lebih hebat daripada monyet" Batinnya. Yuan berkelana dengan pikirannya sendiri.
Setelah cukup lama menempuh perjalanan, Yuan heran karena dia tidak melihat tanda jika orang yang menggendongnya ini kelelahan.
Hampir 30 menit sudah ditempuh. Mungkin ribuan pohon sudah terlewati.
"Apakah dia ini bukan manusia" batinnya.
"Paman, bukankah kita sudah sangat lama mengudara dari pohon ke pohon. Tidakkah paman merasa capek?" Tanya Yuan.
Stamina tubuh seorang pendekar memang seperti ini. Karena Yuan tidak pernah mengetahui hal tersebut makanya dia bertanya.
Selain itu, Yuan sebenarnya hanya berdalih saja memberikan pertanyaan seperti itu. Jujur saja saat ini pinggang anak kecil itu mulai terasa agak sakit.
Orang yang ditanya hanya melirik sekilas, namun terus melanjutkan perjalanan tanpa menghiraukannya.
Yuan sebenarnya dalam kondisi yang terluka. Kepalanya terasa begitu pusing. Belum lagi luka luar maupun luka dalam bekas hantaman serangan Liu Sheng tadi mulai berefek. Dia butuh istirahat demi menstabilkan kondisinya.
Darah segar sudah mengering ditubuh anak kecil tersebut. Yuan bahkan hanya menggunakan celana saja tanpa menggunakan baju.
Seperti yang kita ketahui, bajunya tadi sudah digunakan untuk membersihkan kotoran dan darah di tubuh Tetua Chow, tidak mungkin dia menggunakan baju yang penuh dengan najis itu. Makanya sekarang Yuan sama sekali tidak memakai baju.
Yuan mulai kecapean. Mulutnya sudah menguap beberapa kali.
"Benar benar gila. Bahkan aku tidak tau sudah berapa lama aku di atas tubuh orang ini" Yuan membatin.
...
Matahari mulai agak condong kedepan pertanda jika siang akan berganti ke malam sebentar lagi.
Selama perjalanan, orang itu sesekali memeriksa keadaan tetua Chow memastikan dalam keadaan baik-baik saja. Kebetulan perjalanan mereka untuk menuju ke pemukiman warga atau desa lumayan agak jauh.
"Uhuk...uhuk" Tetua Chow tiba-tiba batuk disertai dengan semburan darah keluar dari mulut, hidung serta telinganya.
Orang yang menggendong Yuan sangat terkejut. Seketika dia menghentikan langkah kakinya di sebuah pohon besar seraya membaringkan Tetua Chow. Wajah itu terlihat begitu panik bahkan Yuan pun menyadarinya.
Rintik hujan mulai turun disertai dengan awan hitam yang menggumpal. Angin bertiup kencang membuat semua pohon mengugurkan dedaunan yang sudah kering.
"Kakak, bertahanlah....." Orang itu berkata kepada tetua Chow. Tangannya juga memeriksakan suhu tubuh yang sudah mulai tidak stabil itu.
"Sebentar lagi kita akan sampai ke Bunga teratai biru." Sambungnya.
Bunga teratai biru adalah sebuah desa dengan wilayah yang cukup besar di daerah kekuasaan Kerajaan Hua.
Orang ini tak lain adalah saudara seperguruan dari Tetua Chow. Banyak rahasia yang belum terungkap. Termasuk identitas Tetua Chow itu sendiri.
Siapakah Tetua Chow sebenarnya?
Dari manakah orang tua itu berasal?
Yuan yang tak tau harus berbuat apa, hanya bisa tertegun dengan jemarinya disatukannya dengan jemari tetua Chow.
"Pa...man" lirihnya terbata.
Racun sudah menjalar sepenuhnya di seluruh tubuh orang tua itu. Dari tadi dirinya berusaha bertahan dari rasa sakit yang di alaminya.
Namun kali ini tetua Chow tidak mampu untuk menekan rasa sakit itu. Dia merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakannya, dan dia yakin ini adalah hari perpisahannya dengan dunia.
Tetua Chow meraih tangan saudara seperguruan itu. "Racun ini sudah bersarang di tubuhku. Aku bahkan tidak mampu untuk melawan rasa sakit ini." ucap tetua Chow sendu.
"Kakak, apa yang Kakak katakan. Bertahanlah, aku pasti mengeluarkan semua tenagaku agar kita cepat sampai didesa." sambungnya.
Bai Feng menyalurkan tenaga dalamnya kearah tubuh Tetua Chow namun semua itu percuma saja.
Bai Feng, salah seorang saudara seperguruannya tetua Chow. Mereka berasal dari desa yang sama dan juga bersaudara dari jalur orang tuanya yang merupakan saudara kandung. Berarti mereka berdua adalah sepupu.
Umur mereka hanya terpaut 6 tahunan saja. Bai Feng, pria itu sekarang berusia 49 tahun, yang berarti usia Tetua Chow adalah sekitar 55 tahun.
Tetua Chow sebenarnya berasal dari Desa yang sama dengan Bai Feng, saudara seperguruannya itu.
Ada rahasia yang belum terungkapkan. Penyebab dan akibatnya, hanya merekalah yang tau. Sampai pada akhirnya dua bersaudara itu harus berpisah dalam waktu yang lumayan lama.
Jujur saja Bai Feng sama sekali tidak mengetahui bagaimana cara mengeluarkan racun atau bahkan meminimalisir nya, karena memang dia bukan tipe pendekar penyembuh.
"Seharusnya kakak pasti bisa menetralisir setiap racun walaupun sedikit." ucap Bai Feng dalam hatinya. Secara tetua Chow adalah tipe pendekar pembasmi dan mempunyai energi penyembuh walaupun bukan tipe pendekar penyembuh pada umumnya.
Bai Feng tau karena memang mereka satu perguruan. Tetua Chow lebih unggul darinya dalam segala hal sehingga kakak seperguruannya itu memiliki sedikit energi penyembuh yang tidak dimiliki oleh dirinya.
Jika tetua Chow tidak bisa menetralisir racun ini, berarti jenis racun tersebut bukanlah racun biasa dan harus membawanya kepada pendekar dengan spesialis penyembuh atau spesialis racun itu sendiri.
Makanya sedari tadi dia berusaha untuk cepat sampai ke desanya guna ingin mencari pertolongan dari para pendekar tipe penyembuh di desanya itu sehingga kakak seperguruannya ini bisa tertolong.
Dari awal terlihat dari gerak gerik tetua Chow yang berusaha terlihat tenang namun tidak bisa membohongi naluri Bai Feng sebagai seorang pendekar. Jika memang tetua Chow mampu menetralisir racun didalam tubuhnya, pasti orang tua itu mampu menunjukkan kesadaran dirinya. Namun sedari tadi, selama perjalanan Bai Feng tidak mendapati jika kakaknya itu berbicara sepatah kata apapun.
Berarti dapat diambil kesimpulan kalau kondisi tetua Chow dalam keadaan tidak sadar dan kritis. Makanya dia berusaha semaksimal mungkin untuk membawanya ke desa.
Nafas tetua Chow makin tidak beraturan. Keringat dingin mulai membasahi dahi orang tua itu.
"Hidupku mungkin sudah tak lama lagi" Ucap Tetua Chow disertai dengan air matanya mengalir karena rasa sakit yang teramatkan.
"Tidak tidak!! Ayo kita lanjutkan perjalanan lagi. Kakak harus kuat!" Ucap Bai Feng sedikit membentak. Dirinya bahkan bersiap menggendong Tetua Chow untuk melanjutkan perjalanan.
Namun tetua Chow melarangnya. Ditahannya tangan Bai Feng sambil mengatupkan kedua tangannya memohon. Wajahnya memelas membuat Bai Feng luluh seketika.
"Bai Feng, kau adalah saudaraku. Kau juga sudah ku anggap seperti adik kandungku. Aku sangat menyayangimu." ucapnya lirih.
"Keluargaku semuanya sudah terbunuh." Tetua Chow memberi jeda sambil menatap dalam wajah saudara seperguruannya itu.
"Aku bahkan sudah kehilangan keluargaku. Semua penduduk di desa kakakmu ini juga mungkin telah maut tanpa tersisa." Memberi jeda lagi.
"Kecuali, kami berdua" Sambung Tetua Chow beralih menatap Yuan.
Bai Feng mengusap-usap rambut kakaknya itu dengan kasih sayang. Tubuh yang biasanya penuh dengan enerjik, sekarang lemah tak berdaya menunggu maut.
Sedih, itu yang dirasakan Bai Feng
"Lihatlah anak di sampingmu ini." Ucap Tetua Chow menyuruh Bai Feng melihat Yuan.
"Tolong jaga dia"
Bai Feng hanya melihat sekilas dan matanya kembali fokus lagi menatap tetua Chow.
"Tidak tidak. Kakak pasti akan sembuh, percayalah padaku. Aku akan segera membawa kakak ke desa supaya cepat ditangani." Balas Bai Feng menguatkan Tetua Chow.
"Bertahanlah sebentar" sambung Bai Feng.
Tetua Chow hanya menggelengkan kepalanya pelan.
"Aku mohon" Tetua Chow memelas. Dia masih kekeh dengan ucapan sebelumnya.
Setelah mengucapkan kalimat demi kalimat tersebut, tiba-tiba saja Tetua Chow membusungkan dadanya kedepan yang lumayan agak tinggi.
"Kakak!"
"Paman!"
Bersamaan Bai Feng dan Yuan berteriak panik.
"Kumohon jangan" Bai Feng langsung memeluk tetua Chow dengan eratnya. Dirinya tau ini adalah fase dimana seseorang akan menghembuskan nafas terakhirnya.
Tetua Chow dalam keadaan sekarat.
Mulut Tetua Chow seperti ingin mengatakan sesuatu. Bai Feng yang paham akan hal itu langsung mendekatkan telinganya di mulut tetua Chow.
"Dia sebatang kara, tolong jaga dia untukku" Melirik sedikit kearah Yuan.
"Dan, tolong juga sampaikan salamku kepadanya. Aku menyayanginya" ucap tetua Chow ditujukan kepada seseorang. Bai Feng tau siapa yang dimaksud kakaknya tersebut.
Setelah mengucapkan dan menyelesaikan kata kata itu, Bai Feng dapat merasakan hembusan terakhir dari nafas kakaknya itu. Begitu juga Yuan yang mengetahuinya setelah melihat perut pamannya itu tidak bergerak lagi.
Tetua Chow wafat.
Bersamaan dengan kejadian itu, hujan mulai turun dengan derasnya.
Dua makhluk bernyawa hanya berdiam diri memandangi jasad orang yang disayanginya itu. Tak ada kata yang keluar, tak ada suara tangis yang menderu. Namun air mata keduanya tidak hentinya terus menetes bersatu dengan air hujan yang membasahi wajah mereka.
Alam pun seakan ikut bersedih dengan kepergian sosok pemimpin yang dicintai oleh masyarakatnya.
...